Wajah ayah berubah menjadi pucat setelah membuka mejikom. Dilepaskannya centong hingga jatuh ke lantai. Kemudian menutup mejikom kembali. Aku penasaran kenapa ayah sampai shock? Aku berdiri dan hendak membukanya, tetapi dilarang ayah. “Jangan dibuka, kamu bisa pingsan!”Tanganku urung membukanya meskipun penasaran. “Memangnya kenapa, Yah?”“Astaghfirullah, Faiha!” Ayah meletakkan piringnya kembali dan duduk memegangi dadanya.“Kenapa, Yah?” Faiha datang membawa setoples kerupuk.“Nasinya masih mentah, Fai. Kamu lupa colokin, ya?”Aku memegang mejikom di depanku, anget. Berarti sudah dicolokkan. Tapi kenapa nasinya masih mentah? Apa sudah rusak, ya?“Udah, Yah. Tadi panas, kok,” jawab Faiha.“Coba kamu lihat!” perintah ayah.“Sepertinya aku lupa tekan cook, Yah. Apa aku belikan nasi saja di warung?” tanya Faiha.“Ayah belum laper. Ya sudah, kamu taruh di belakang lagi. Ayah mau ngopi dulu.”Aku mengambilkan secangkir kopi untuk ayah. Byur! Ibra terkena semburan kopi dari mulut ayah.
Ilham membagikan 2 lembar uang kertas warna hijau kepada Faiha. Sedangkan dia mendapatkan 3 lembar. “Kalian dapat uang dari mana?” Mereka terdiam mendengar pertanyaanku. Mereka saling pandang kemudian tersenyum. Aku semakin curiga dibuatnya.Ayah tidak akan memberikan uang cuma-cuma kepada anaknya, kecuali untuk membayar SPP. Faiha sendiri tidak pernah membayar SPP karena ada program pemerintah wajib belajar hingga 9 tahun. “Kakak mau?” tanya Faiha. “Mau ...!” Aku segera mendekati mereka. Tentu saja aku tidak menolaknya. Lumayan buat beli paket data, dapat unlimited satu minggu, tetapi sayang, gak bisa buka pf online warna hijau. Apalagi beli koin emas, aku harus menabung lebih dulu. “Enak saja, minta sendiri sama orangnya!” Ilham memasukkan uangnya ke dalam saku celana kemudian pergi. “Eh, awas kamu, ya! Ntar nggak aku masakin.”“Masih ada ayam dan ikan bakar dari Mas Arfan, Kak. Mubazir kalau kakak masak lagi, kita habisin aja yang ada,” ucap Faiha sambil membereskan kertas min
Aku benar-benar merasa terbuang. Sakit sekali mengetahui fakta jika ayah tidak menginginkanku menjadi anaknya lagi. Dia bahkan membiarkanku dibawa babang ojol, si dosen mesum. “Beneran, saya boleh bawa Syifa?” tanya Pak Arfan girang.“Boleh, tetapi kamu harus menikahinya terlebih dahulu. Enak saja main bawa anak orang. Menikah itu harus dipertimbangkan matang-matang, minimal istikhoroh. Sudah berapa lama kamu kenal anak saya?” tanya Ayah. Terkadang aku sangat bosan jika ayah sudah mengeluarkan tausiyahnya, tetapi kali ini aku merasa speechless. “Baru kemarin pagi,” ucapnya sambil tersenyum. Kemarin adalah kali pertama aku bertemu dengannya. Si babang ojol yang sudah membantuku, dan ternyata dia adalah dosen. Diciptakan dari apakah manusia di depanku ini? Kenapa dia selalu tersenyum manis, aku takut diabetes. “Baru kenal sehari?” Ayah nampak berpikir.“Ya sudah, ayah tinggal dulu. Lanjutkan pedekate–nya. Nanti ayah panggilkan Faiha biar datang ke sini.”Aku menepuk jidatku, kukira
Aku sudah terlampau malu. Aku tidak mungkin menunjukkan mukaku ke hadapannya. Lebih baik aku sembunyi di kamar hingga dia pergi. Setelah beberapa saat kudengar suara motor pergi menjauh. Sepertinya dia sudah pulang. Aku bernapas lega. Kubuka pintu kamar dan keluar, benar ternyata dia sudah tidak ada. Malam harinya aku sudah bisa membantu ayah berjualan bubur seperti biasanya. Malam ini nampak sepi, sudah hampir jam sembilan, tetapi bubur masih sisa setengah kuali. “Pak, bungkus buburnya 5!” Seorang lelaki paruh baya turun dari mobil bersama istrinya. Ayah tersenyum semringah, “Iya, Pak. Silakan duduk dulu. Tunggu sebentar.”Aku segera membantu ayah menyiapkan bubur dan memasukkannya ke dalam plastik. Akhirnya ada juga pembeli di detik-detik terakhir. Aku sudah mengantuk, Ilham dan Faiha sudah kuminta istirahat karena esok mereka berangkat sekolah.“Semuanya 15 ribu, Pak.” Ayah menyerahkan buburnya kepada pembeli tersebut. “Menerima pesanan atau tidak, Pak? Saya mau ada acara haja
Langkahku terhenti kala mendengar lantunan ayat suci dari seseorang yang tidak asing lagi. “Bukankah itu suara Nak Arfan?” tanya ayah. Bahkan ayahku sudah hafal suara calon menantunya. Ups, aku keceplosan. Untung ayah tidak mendengar. “Benar, Pak. Itu suara Mas Arfan. Mari saya antar ke luar,” ujar Pak satpam.“Ayo pulang, Yah! Ini bukan tempat yang layak untuk kita.” Aku menggandeng tangan ayah. Secara tidak langsung, kedua satpam itu mengusir kami.“Tunggu sebentar, ayah mau lihat calon mantu dulu.”Sekarang malah ayah yang kepo. Dia tidak jadi mau pulang. Ya Allah, semoga tidak ada yang mendengar ucapan ayah.Kedua satpam itu saling pandang, “Nanti setelah lihat calon mantu mohon segera keluar, ya, Pak. Karena acara sedang berlangsung, kami yang bertanggung jawab jika terjadi kerusuhan.”Aku paham dengan ucapan mereka. Sakit, tapi tidak berdarah. Supir angkutan tadi sudah keluar. Semoga dia masih mau menunggu kami. Uangnya saja masih kubawa. Dia tidak akan pulang tanpa uang, bisa
Benar juga, mana ada ustaz pandai merayu? Heh, dia pasti ustaz gadungan. Penampilannya saja yang menipu, nyatanya dia dosen mesum dan pandai merayu. “Tunggu dulu!”Aku menoleh ke belakang, Pak Arfan meminta pelayan membungkus makanan.“Tolong bawa ini, Pak. Cacing di perut Syifa sudah berdemo,” ucapnya sambil melirik ke arah perutku. Peka sekali telinganya, bahkan dia bisa mendengar suara cacing di perut. Aku memang belum sarapan ketika datang ke sini. Dia tersenyum ke arahku, jangan-jangan dia tahu isi hatiku. Aku menyilangkan kedua tangan di dada. “Makasih, Nak Arfan.” Kami segera keluar sebelum dia membuka semua aibku. Aku dan ayah sudah sampai di luar, tetapi mobil angkutan umum yang tadi kami sewa sudah tiada. “Ayah coba cari dulu, ya! Mungkin dia memarkirkan mobilnya di luar.”Aku menghentak-hentakkan kaki kesal. Sepertinya supir angkutan itu tidak mau dibayar. Belum dikasih uang sudah kabur begitu saja. Dasar supir gak ada akhlak!“Fa, mobilnya sudah tidak ada. Gimana kita
Aku keluar dengan perasaan bahagia. Kututup pintu dan betapa terkejutnya aku kala melihat pemandangan di depan pintu kamar. Aku seperti sedang mimpi. Mana mungkin tamu tidur di lantai atas? Aku melihat sekeliling, ada beberapa kamar yang tertutup rapat. Nampak indah sebuah pemandangan di samping rumah. Aku mengintip dari jendela kaca yang besar. Ada taman bunga kecil dan gazebo. Tidak ada kolam renang, hanya ada kolam ikan. Aku menoleh saat mendengar seseorang membuka pintu ruangan di sebelah kamar yang kutempati. Seorang wanita berjilbab menghampiriku. Dia cantik sekali, kulit putih, hidung mancung, dan giginya gingsul. “Mbak Syifa, sudah ditunggu Mas Arfan di bawah.”“Mas Arfan?” Mengapa semua orang memanggilnya ‘Mas’?Wanita itu tersenyum kemudian memegang tanganku. Tangannya halus dan putih, tidak mungkin dia pembantu di rumah ini. “Iya, kami semua yang ada di sini memanggilnya ‘Mas’ karena dia laki-laki. Kalau wanita pasti dipanggil Mbak.”Mengapa aku lega mendengar jawabanny
Aku baru saja pulang dari Yogyakarta satu minggu yang lalu karena diminta untuk menjadi dosen selama satu bulan ke depan. Ayah sibuk dengan bisnisnya di luar kota, sehingga dia memintaku untuk sementara menggantikannya. Aku sudah lulus S2 tiga bulan yang lalu, tetapi aku tidak lantas pulang karena ayah akan memintaku untuk segera menikah. Namun, aku selalu menolaknya dengan alasan pekerjaan. Mencari pekerjaan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, apalagi mencari jodoh. Aku sudah berusaha kesana-kemari, tetapi tidak satupun perusahaan menerimaku. Ayah selalu memaksaku menjadi dosen, sungguh hal yang membosankan bagiku. “Gaji dosen itu sedikit, bagaimana Aku menghidupi anak dan istriku?” Selalu itu yang kukatakan jika ayah memaksaku menikah. Akhirnya dia diam dan membiarkanku menempuh jalan sendiri. Sebagai seorang rektor, ayah dengan mudah dia bisa saja memberikan gaji yang banyak untuk anak kesayangannya. Tetapi aku menolak, aku lebih suka menjadi ojol, bisa cuci mata setia