All Chapters of SALAH MEMILIH SUAMI: Chapter 11 - Chapter 20
41 Chapters
Part 11 A (Sebelas A)
Aku masih memandanginya, lelaki yang kini duduk di sampingku dan fokus pada kemudi, tidak ada yang berubah pada dirinya. Dua tahun lalu terakhir aku melihatnya ataupun 8 tahun lalu saat pertama melihatnya, hanya saja dia memang terlihat lebih dewasa dan egois, apa mungkin perjalanan hidupnya membuat dia seperti itu? aku tidak tahu, Atha tidak pernah menceritakan detail kehidupannya meski pertemuan kami di awali dengan hal yang sangat ekstrem.Hari itu …Langit nampak gelap dan mungkin akan segera turun hujan, aku baru saja lulus kuliah dan diterima bekerja di perusahaan Pengolahan Bahan Mentah sebagai staf gudang, salah satu perusahaan adikuasa di Indonesia yaitu Wijaya Group.Banyaknya pekerjaan hari itu membuatku sangat penat, hingga aku memutuskan untuk mencari udara segar berbekal cemilan menuju lantai atas, di sana aku akan merasa begitu dekat dengan Tuhan dan menjadi orang yang paling tinggi di antara yang lainnya. Saat kaki melangkah keluar hati sedikit syok karena ada seorang
Read more
Part 11 B
Pov IrawanIrawan~Tubuhku mematung, kaku dan kering, apa semua ini, mimpikah? kenapa orang-orang berbalik mencibirku sekarang?“Irawan, kamu sudah melakukan hal yang memalukan, di mana sopan santunmu kepada atasan, Pak Atha adalah anak kedua dari pemilik perusahaan ini!” sentak Pak Haidar membangunkanku dari mimpi buruk pada kenyataan yang lebih buruk, “sebagai hukumannya kamu dan teman-teman tidak beretikamu ini saya hukum menjadi petugas cleaning selama sebulan!” mataku melotot bagai di sambar petir, “kalau kalian masih berbuat ulah setelah ini, saya tidak segan memecat kalian dan menandainya sebagai karyawan yang dipecat secara tidak hormat, agar tidak ada perusahaan besar yang akan mempekerjakan kalian lagi!” ucapnya dengan lantang hingga memenuhi semua ruangan, “lakukan hukumanmu dari sekarang!” sentaknya lagi, lalu berlalu dengan wajah muram.Ini benar-benar kenyataan yang lebih buruk dari mimpi, bagaimana mungkin anak berandal itu adalah anak kedua dari salah satu pengusaha t
Read more
Part 12
"Aku harus pulang dan balik ke kantor lagi, ada sesuatu yang belum selesai,” ucap Atha ketika sampai di halaman rumahku.“Ok,” aku pun turun dan melambaikan tangan, Atha terlihat tersenyum dari balik cermin spion.Kunci pintu rumah sudah diganti menggunakan kunci digital, “Yaelah kapan ni bocah ganti kuncinya? pinnya apa lagi?” aku berpikir sebentar sebelum menghubungi Atha, mencoba memasukkan nomer pin rumah miliknya dan ternyata terbuka, “Apa-apaan ni anak, kode pinnya pake di samai segala,” gerutuku sambil geleng-geleng kepala, melenggang masuk.Aku menyandarkan tubuh di sofa dan menyimpan belanjaan kosmetik di atas meja, "Bisa-bisanya anak itu diam-diam orang kaya, haduuuh! tau gitu aku nggak mau dibeliin make up, sekalian minta mobil mewah," sesalku, berdiri dan berjalan menuju meja makan untuk mengambil air minum.Kedua alisku mengerut saat melihat amplop surat yang aku sobek kemarin, ternyata sudah rapih kembali, sedikit terkejut dapat melihatnya lagi, aku meraihnya pelan.Ampl
Read more
Part 13
Sepanjang perjalanan aku gelisah, sosok wajah Atha terbayang-bayang, ada apa dengannya hingga ia tidak bisa lagi mengangkat panggilanku?Sampai di depan rumah aku langsung berlari, mobil Atha sudah terparkir di halaman, “Mbak, ongkosnya belum?” teriak sopir taksi.“Astagfirullah, maaf Pak,” aku segera kembali dan mengeluarkan beberapa lembar uang, “kembaliannya Mbak?” teriaknya lagi, “Ambil saja Pak.”Di dalam rumah aku celingukan, dimana anak itu, berlari ke ruang tamu tidak ada, ruang makan sampai kamar pun tidak ada, apakah mungkin dia ada di lantai atas? aku pun segera menaiki tangga ke atas tapi tetap saja tidak ada.“Di mana kamu Tha?” aku meronggoh ponsel dan memanggil nomornya, ponselnya berdering nyaring di ruangan tengah, “tadi sudah kucek tidak ada Atha?” tanyaku dalam hati.Aku mengendap-endap mendengar bunyi ponsel itu, sebuah kaki menjulur di balik kursi, “Astagfirulllah Atha!” aku segera menghambur, dan membalikkan tubuhnya yang telungkup.Wajah Atha pucat dengan luka l
Read more
Part 14
'Kriiiing …, kriiiiing …, kriiiing ….’‘Slup’Tanganku meraba jam beker yang terus berbunyi di atas nakas kecil di samping tempat tidur.“Kiran …,” lamat-lamat aku mendengar suara seperti mimpi memanggil.“Lima menit lagi,” jawabku malas.“Kiran, kamu nggak shalat subuh? ini sudah mau pukul 06.00,” suara itu lebih jelas terdengar, tapi tetap seperti sayup-sayup mimpi, suaranya lembut dan hangat.“Ah, mana mungkin jam beker baru saja berbunyi, aku menyetelnya jam 04.30, kamu jangan berbohong,” jawabku nyengir dengan mata masih sulit terbuka.“Iya, kamu nyetelnya jam segitu, tapi tiap 5 menit kamu tunda,” sekarang sudah jam 06.00," ucapnya lagi.“Mana mungkin?” aku meraba jam yang sudah dimasukkan ke dalam bawah bantal. Sekuat tenaga membuka mata yang berat agar terbuka, mungkin karena semalam aku sulit tidur dan kepikiran Atha terus.Mata terbuka perlahan, remang-remang kulihat jam sudah menunjukkan pukul 06.05, “Astagfirullah,” sontak aku mendorong lelaki yang sedang duduk di samping
Read more
Part 15
Aku dan Ihsan masih memandangi mereka di balik pintu kaca, samar-samar saja suara itu terdengar, hanya terlihat ekspresi wajah meledak-ledak saat Renata memperlihatkan kemarahannya.“San ….”“Iya Bu ….”“Pura-pura lewat sana yuk …,” ajakku antusias. Ihsan yang sepertinya sudah tahu masalahku sebelumnya bersama mereka, mengangguk setuju.Kami berjalan keluar dan pura-pura membincangkan sesuatu, sampai aku mendengar Renata berkata cukup keras, dan kami memutuskan untuk berhenti dan melihat.“Mana mungkin lelaki ini tunanganku, apalagi sampai menikah, ih najis!” Renata membuang wajahnya ke arah lain, sedangkan Mas Irawan hanya menunduk, taring yang biasanya ia gunakan, kini sudah tumpul dan tak mampu lagi menggigit, walaupun hanya sekedar menggigit kerupuk model Renata.“Nggak usah gitu kali Ren, kalau beneran tunanganmu ya akui saja,” timpal salah satu temannya.“Hih! mana mungkin sih, kalian halu dech, tunangan aku memang ada di kantor ini, tapi manager pemasaran bukan tukang cleanin
Read more
Part 16
Wajah itu kulihat begitu dingin dan kaku, tak sedikit pun ia menengok, matanya fokus pada kemudi, tapi aku yakin perasaannya sangat gelisah.Atha menyetir mobilnya dengan cepat, melesat memecah padatnya jalanan, tanganku berpegangan kuat pada gagang atas pintu."Tha ..., suaraku bergetar melihat ia mengemudi seperti hilang kendali, seolah jiwanya tak ada di sini, tak sedikit pun Atha melihat ataupun mendengar getar ketakutanku."Awww!" aku menjerit histeris saat mobil kami menyelip truk besar yang sama-sama melaju kencang.'Ssssrrrrttt'Atha membanting mobilnya di tanah luas, hingga wajahku mengeduk ke depan.Jantungku berdegup tak karuan, napas Atha pun terdengar berhembus kasar, keringat terlihat merembes di dahinya, tangannya mencengkram keras stir mobil."Tha ...," aku mencoba menggapai pundaknya.Tak kusangka Atha berbalik dengan cepat hingga membuatku terkesiap."Jauhi dia!" bentaknya kasar.Aku menelan ludah, mataku membulat, mencoba tetap tenang, meski sebenarnya hati kalang k
Read more
Part 17
Kami masih menunggu dan berlarut dengan pikiran masing-masing, tidak ada pembicaraan yang terlontar apalagi senyuman, rasanya hambar dan pahit, Atha pun yang bukan siapa-siapanya Anna, bermuram durja lebih dari aku, wajahnya ditekuk dan tidak bisa ditanya, kaya abg baru datang bulan, apa saja yang aku bicarakan selalu salah, apa saja yang aku lakukan tidak pernah benar.Hampir jam 09.00 malam, dokter akhirnya keluar juga dari ruangan, “Bagaimana dokter?” Atha menghambur paling depan dan langsung bertanya.“Pasien masih dalam keadaan kritis, autoimun yang dimilikinya mempersulit keadaan, sekarang pasien koma, harus di rapat di ICU.”“Tolong lakukan yang terbaik dokter, jangan sangsi dengan biayanya, berapa pun akan saya bayar,” jawab Atha.Mas Haidar yang melihat hal itu hanya melongo tanpa kata, “Tha …,” aku menyikutnya, “Anna istri Mas Haidar,” ucapku sedikit berbisik.“Iya, aku tahu Anna istri Pak Haidar, karena ia istrinya, Anna harus bangun dan sembuh, benar kan?” wajahnya meminta
Read more
Part 18
Tubuhku terjatuh di kursi dengan sendirinya, sudah seperti daging tanpa tulang, lemas tak berdaya, belum lagi rasa sakit yang menyembul dalam dada, rasanya engap dan sulit untuk menarik napas, serasa ada batu besar yang menghalangi pernapasan, ini lebih sakit dari pada menerima kenyataan Mas Irawan bermain gila dengan Renata.‘Dug …, dug …, dug ….'Berkali-kali aku memukul dada, berharap rasa sakitnya sedikit berkurang.“Ini sakit sekali,” ucapku lirih, mencoba menguatkan kaki untuk mengambil air minum di pantry, mungkin saja dengan minum bisa mengurangi sedikit rasa sesak ini yang tak hilang meski sudah dipukul berkali-kali.Sampai di sana aku meleguk banyak air putih, nampak seperti orang mabuk dan hilang kewarasan, salah seorang pegawai datang dan menghampiriku, “Kamu tidak apa-apa?” suaranya jelas kukenali.Aku menoleh dengan mata yang sudah memerah, menahan air mata yang ingin menjebol pertahanan, 'Mas Irawan,' "Aku baik-baik saja,” jawabku seraya melangkah pergi.“Maaf,” ucapnya
Read more
Part 19
Atha~Jutaan air hujan yang menjatuhi tubuhku saat ini, tidak bisa sedikit pun menyakiti, tapi satu kali diabaikan oleh mu sudah meruntuhkan dinding kehidupanku.Aku masih di sini Kiran, menunggu mu kembali, menyapa dan membawaku pergi, tapi meski air mataku sudah luruh bersama air hujan ke bumi, kamu tak kunjung datang, hingga pakaianku kembali kering kamu masih tidak kembali.Petang ini aku pulang, bukan untuk menyerah dengan keadaan tapi untuk memastikan kamu tidak menunggu di sana.Hatiku berdesir hebat saat ada sebuah mobil di depan pintu gerbang namun bukan milikmu, sebuah mobil mewah yang kutahu pemiliknya bukan orang biasa.Aku turun untuk membuka gerbang, tanpa menoleh siapa yang datang, mobil itu ikut masuk ke halaman meski tanpa kupersilahkan.Aku tidak peduli, siapa pun yang datang, jelas bukan Kirana, aku tidak membutuhkan orang lain untuk menghibur apalagi menggantikan posisinya.“Atha,” panggilnya dengan suara lembut dan mendayu.Aku sungguh tidak ingin berbalik apalagi
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status