Kami masih menunggu dan berlarut dengan pikiran masing-masing, tidak ada pembicaraan yang terlontar apalagi senyuman, rasanya hambar dan pahit, Atha pun yang bukan siapa-siapanya Anna, bermuram durja lebih dari aku, wajahnya ditekuk dan tidak bisa ditanya, kaya abg baru datang bulan, apa saja yang aku bicarakan selalu salah, apa saja yang aku lakukan tidak pernah benar.Hampir jam 09.00 malam, dokter akhirnya keluar juga dari ruangan, “Bagaimana dokter?” Atha menghambur paling depan dan langsung bertanya.“Pasien masih dalam keadaan kritis, autoimun yang dimilikinya mempersulit keadaan, sekarang pasien koma, harus di rapat di ICU.”“Tolong lakukan yang terbaik dokter, jangan sangsi dengan biayanya, berapa pun akan saya bayar,” jawab Atha.Mas Haidar yang melihat hal itu hanya melongo tanpa kata, “Tha …,” aku menyikutnya, “Anna istri Mas Haidar,” ucapku sedikit berbisik.“Iya, aku tahu Anna istri Pak Haidar, karena ia istrinya, Anna harus bangun dan sembuh, benar kan?” wajahnya meminta
Tubuhku terjatuh di kursi dengan sendirinya, sudah seperti daging tanpa tulang, lemas tak berdaya, belum lagi rasa sakit yang menyembul dalam dada, rasanya engap dan sulit untuk menarik napas, serasa ada batu besar yang menghalangi pernapasan, ini lebih sakit dari pada menerima kenyataan Mas Irawan bermain gila dengan Renata.‘Dug …, dug …, dug ….'Berkali-kali aku memukul dada, berharap rasa sakitnya sedikit berkurang.“Ini sakit sekali,” ucapku lirih, mencoba menguatkan kaki untuk mengambil air minum di pantry, mungkin saja dengan minum bisa mengurangi sedikit rasa sesak ini yang tak hilang meski sudah dipukul berkali-kali.Sampai di sana aku meleguk banyak air putih, nampak seperti orang mabuk dan hilang kewarasan, salah seorang pegawai datang dan menghampiriku, “Kamu tidak apa-apa?” suaranya jelas kukenali.Aku menoleh dengan mata yang sudah memerah, menahan air mata yang ingin menjebol pertahanan, 'Mas Irawan,' "Aku baik-baik saja,” jawabku seraya melangkah pergi.“Maaf,” ucapnya
Atha~Jutaan air hujan yang menjatuhi tubuhku saat ini, tidak bisa sedikit pun menyakiti, tapi satu kali diabaikan oleh mu sudah meruntuhkan dinding kehidupanku.Aku masih di sini Kiran, menunggu mu kembali, menyapa dan membawaku pergi, tapi meski air mataku sudah luruh bersama air hujan ke bumi, kamu tak kunjung datang, hingga pakaianku kembali kering kamu masih tidak kembali.Petang ini aku pulang, bukan untuk menyerah dengan keadaan tapi untuk memastikan kamu tidak menunggu di sana.Hatiku berdesir hebat saat ada sebuah mobil di depan pintu gerbang namun bukan milikmu, sebuah mobil mewah yang kutahu pemiliknya bukan orang biasa.Aku turun untuk membuka gerbang, tanpa menoleh siapa yang datang, mobil itu ikut masuk ke halaman meski tanpa kupersilahkan.Aku tidak peduli, siapa pun yang datang, jelas bukan Kirana, aku tidak membutuhkan orang lain untuk menghibur apalagi menggantikan posisinya.“Atha,” panggilnya dengan suara lembut dan mendayu.Aku sungguh tidak ingin berbalik apalagi
Atha~“Kirana, ada apa denganmu?” aku meraba wajah Kirana yang dingin seperti es, bibirnya yang pucat bergerak pelan.“Jangan tinggalkan aku,” samar-sama suara itu terdengar seperti hebusan angin yang menyapa, kemudian tubuhnya terkulai, aku segera membopong dan mebawanya ke dalam mobil.“Aku tidak pernah meninggalkanmu Kiran, meski kamu pernah menikah dengan orang lain, aku selalu datang dalam diam untuk memastikan kamu bahagia,” jawabku pelan di balik telinganya.Kirana menatap wajahku dengan sayu, matanya perlahan tertutup, sepertinya ia pingsan karena kedinginan, aku membaringkan tubuhnya di kursi tengah, dan segera menancap gas untuk pulang.‘Aku tidak bisa pulang ke rumah, mungkin saja Auristela masih di sana, sebaiknya aku membawa Kirana pulang ke rumahnya,’ bisikku dalam hati.Hatiku semakin terluka, memperhatikan tubuh Kirana dari kaca spion, ‘Hari ini pasti berat untuknya, kamu pasti merasa ditinggalkan oleh dua sahabat sekaligus,’ batinku.Laju mobil aku perlambat saat meli
Aku sedang duduk di sofa untuk mencari tahu tentang Auristela melalui laptop milik Ishan yang tergeletak di meja, Atha melarangku keluar dari apartemen ini karena aku sedang dibuntuti. Entah kenapa kecurigaanku jatuh pada Auristela, bagaimana pun dia pasti marah ketika Atha mengejarku dan meninggalkannya.Auristela adalah anak tunggal dari keluarga Ariesta group, dia adalah satu-satunya pewaris dari keluarga itu. Kalau akhirnya Atha memilihku dari pada Auristela maka akan banyak orang yang marah dan kecewa.Memutuskan untuk bersama Atha adalah keputusan sulit yang membutuhkan pengorbanan, aku tidak mau Atha melakukan semua itu sendiri, setidaknya aku harus bisa melindungi diri agar tidak merepotkannya.Sebelum berangkat Atha mengembalikan ponselku yang di rapihkan oleh Ishan saat di kantor, tapi Atha berpesan agar tidak menghidupkannya dulu, ditakutkan ada orang yang melacak lokasiku.Aku terus berpikir, kalau bukan Auristela makan orang-orang itu kemungkinan suruhan Pak Wijaya atau
Ihsan~[Aku memintamu untuk menjaga, bukan berarti bisa menyentuhnya!][Sekarang Kirana pacarku Pak.][Semprul!][Hahahaha]“Apa yang sedang kamu tertawakan?”tanya Kirana yang masih menekuk wajahnya sejak kejadian tadi.Jujur, pertama kalinya aku berhadapan sedekat itu dengan perempuan, tidak kusangka ia adalah Kirana, seorang perempuan yang diminta hanya untuk dijaga bukan untuk dicintai.“Bukan apa-apa,” ucapku sembari menyimpan ponsel itu.“Kenapa kamu bersikap nonformal?” tanyanya masih dengan nada kesal.“Karena peranku saat ini adalah pacarmu, bukan bawahan dari Ibu Kirana,” jelasku dengan sedikit tawa kecil.“Ini semua hanya pura-pura Ihsan,” perempuan itu masih menunjukkan ketidaksukaannya.“Karena ini hanya pura-pura aku harus bersikap senatural mungkin Kiran,” godaku lagi.“Ish!” wajah Kirana semakin cemberut, lalu membuang pandangannya ke samping.‘Lucu juga sikapnya,’ batinku.Kedip ponsel membuat layarnya kembali bercahaya, aku melihat nama Mami yang muncul di posisi pal
Mamah Tantri~Anak lelaki itu kini sudah tumbuh besar dan mimpi burukku akhirnya menjadi kenyataan, kutatap lekat bola mata tak berdosa itu, dia menatapku penuh kebencian dengan berjuta pertanyaan dibenaknya.Aku tahu bota matanya berbicara, ia menyimpan banyak duka dalam tatapan itu, bukan aku yang menghadirkan luka, tapi ibunya sendiri yang terjun dalam jurang nestapa. Pemuda itu nampak lelah, darah lemah yang mengalir dari tubuh ibunya membuat ia sulit untuk melawanku, aku masih menunggu sampai ia benar-benar berada pada titik kelemahan yang terdalam.Aku berjalan ragu menuju ruangan yang sebenarnya tidak perlu kaku untuk dimasuki, tapi lelaki yang telah 35 tahun menjadi suamiku itu membuat benteng pembatas yang sangat tinggi. Jauh sebelum hari ini, yaitu 30 tahun yang lalu ia memutuskan untuk menganggapku hanya sebagai patnernya dalam berbisnis.“Aku sudah tahu semua rencanamu,” ucapku, mengambil posisi duduk yang nyaman.Mas Wijaya masih berdiri memandang ke luar kaca, tubuhnya y
Atha masih diam tanpa kata, sepertinya ia kebingungan untuk menjawab pertanyaan Ayah.“Iya Ayah, ini Atha sahabat Kirana, ia adalah anak kedua dari pemilik Wijaya group,” jelasku pada Ayah.“Wah, hebat kamu Nak, jadi salah satu anak terkaya di Indonesia,” tepuk Ayah pada Pundak Atha berkali-kali. Atha hanya mengulas senyum tanpa menambahkan satu kata pun dari penjelasanku.“Ayo Bu, Ayah, kita masuk, ngobrolnya di dalam,” pintaku segera, sebelum Atha benar-benar membeku, wajahnya sudah terlihat lesu dan pucat.“Ayo Nak,” ajak ayah pada Atha.“Maaf Ayah, hari ini saya ada urusan yang harus segera diselesaikan, jadi mau pamit,” ucap Atha perlahan.“Oh ya sudah,” jawab Ayah.Atha mengambil punggung tangan Ayah dan Ibu serta menciumnya takdim. Aku antarkan keduanya untuk berjalan lebih dulu menaiki tangga, sedang aku kembali menghampiri Atha yang masih belum pergi. Kupegang tangannya yang sangat dingin, dan membisikkan sebuah kata, “Terimakasih untuk kebahagiaan hari ini.”Tangan Atha men