Aku dan Ihsan masih memandangi mereka di balik pintu kaca, samar-samar saja suara itu terdengar, hanya terlihat ekspresi wajah meledak-ledak saat Renata memperlihatkan kemarahannya.“San ….”“Iya Bu ….”“Pura-pura lewat sana yuk …,” ajakku antusias. Ihsan yang sepertinya sudah tahu masalahku sebelumnya bersama mereka, mengangguk setuju.Kami berjalan keluar dan pura-pura membincangkan sesuatu, sampai aku mendengar Renata berkata cukup keras, dan kami memutuskan untuk berhenti dan melihat.“Mana mungkin lelaki ini tunanganku, apalagi sampai menikah, ih najis!” Renata membuang wajahnya ke arah lain, sedangkan Mas Irawan hanya menunduk, taring yang biasanya ia gunakan, kini sudah tumpul dan tak mampu lagi menggigit, walaupun hanya sekedar menggigit kerupuk model Renata.“Nggak usah gitu kali Ren, kalau beneran tunanganmu ya akui saja,” timpal salah satu temannya.“Hih! mana mungkin sih, kalian halu dech, tunangan aku memang ada di kantor ini, tapi manager pemasaran bukan tukang cleanin
Wajah itu kulihat begitu dingin dan kaku, tak sedikit pun ia menengok, matanya fokus pada kemudi, tapi aku yakin perasaannya sangat gelisah.Atha menyetir mobilnya dengan cepat, melesat memecah padatnya jalanan, tanganku berpegangan kuat pada gagang atas pintu."Tha ..., suaraku bergetar melihat ia mengemudi seperti hilang kendali, seolah jiwanya tak ada di sini, tak sedikit pun Atha melihat ataupun mendengar getar ketakutanku."Awww!" aku menjerit histeris saat mobil kami menyelip truk besar yang sama-sama melaju kencang.'Ssssrrrrttt'Atha membanting mobilnya di tanah luas, hingga wajahku mengeduk ke depan.Jantungku berdegup tak karuan, napas Atha pun terdengar berhembus kasar, keringat terlihat merembes di dahinya, tangannya mencengkram keras stir mobil."Tha ...," aku mencoba menggapai pundaknya.Tak kusangka Atha berbalik dengan cepat hingga membuatku terkesiap."Jauhi dia!" bentaknya kasar.Aku menelan ludah, mataku membulat, mencoba tetap tenang, meski sebenarnya hati kalang k
Kami masih menunggu dan berlarut dengan pikiran masing-masing, tidak ada pembicaraan yang terlontar apalagi senyuman, rasanya hambar dan pahit, Atha pun yang bukan siapa-siapanya Anna, bermuram durja lebih dari aku, wajahnya ditekuk dan tidak bisa ditanya, kaya abg baru datang bulan, apa saja yang aku bicarakan selalu salah, apa saja yang aku lakukan tidak pernah benar.Hampir jam 09.00 malam, dokter akhirnya keluar juga dari ruangan, “Bagaimana dokter?” Atha menghambur paling depan dan langsung bertanya.“Pasien masih dalam keadaan kritis, autoimun yang dimilikinya mempersulit keadaan, sekarang pasien koma, harus di rapat di ICU.”“Tolong lakukan yang terbaik dokter, jangan sangsi dengan biayanya, berapa pun akan saya bayar,” jawab Atha.Mas Haidar yang melihat hal itu hanya melongo tanpa kata, “Tha …,” aku menyikutnya, “Anna istri Mas Haidar,” ucapku sedikit berbisik.“Iya, aku tahu Anna istri Pak Haidar, karena ia istrinya, Anna harus bangun dan sembuh, benar kan?” wajahnya meminta
Tubuhku terjatuh di kursi dengan sendirinya, sudah seperti daging tanpa tulang, lemas tak berdaya, belum lagi rasa sakit yang menyembul dalam dada, rasanya engap dan sulit untuk menarik napas, serasa ada batu besar yang menghalangi pernapasan, ini lebih sakit dari pada menerima kenyataan Mas Irawan bermain gila dengan Renata.‘Dug …, dug …, dug ….'Berkali-kali aku memukul dada, berharap rasa sakitnya sedikit berkurang.“Ini sakit sekali,” ucapku lirih, mencoba menguatkan kaki untuk mengambil air minum di pantry, mungkin saja dengan minum bisa mengurangi sedikit rasa sesak ini yang tak hilang meski sudah dipukul berkali-kali.Sampai di sana aku meleguk banyak air putih, nampak seperti orang mabuk dan hilang kewarasan, salah seorang pegawai datang dan menghampiriku, “Kamu tidak apa-apa?” suaranya jelas kukenali.Aku menoleh dengan mata yang sudah memerah, menahan air mata yang ingin menjebol pertahanan, 'Mas Irawan,' "Aku baik-baik saja,” jawabku seraya melangkah pergi.“Maaf,” ucapnya
Atha~Jutaan air hujan yang menjatuhi tubuhku saat ini, tidak bisa sedikit pun menyakiti, tapi satu kali diabaikan oleh mu sudah meruntuhkan dinding kehidupanku.Aku masih di sini Kiran, menunggu mu kembali, menyapa dan membawaku pergi, tapi meski air mataku sudah luruh bersama air hujan ke bumi, kamu tak kunjung datang, hingga pakaianku kembali kering kamu masih tidak kembali.Petang ini aku pulang, bukan untuk menyerah dengan keadaan tapi untuk memastikan kamu tidak menunggu di sana.Hatiku berdesir hebat saat ada sebuah mobil di depan pintu gerbang namun bukan milikmu, sebuah mobil mewah yang kutahu pemiliknya bukan orang biasa.Aku turun untuk membuka gerbang, tanpa menoleh siapa yang datang, mobil itu ikut masuk ke halaman meski tanpa kupersilahkan.Aku tidak peduli, siapa pun yang datang, jelas bukan Kirana, aku tidak membutuhkan orang lain untuk menghibur apalagi menggantikan posisinya.“Atha,” panggilnya dengan suara lembut dan mendayu.Aku sungguh tidak ingin berbalik apalagi
Atha~“Kirana, ada apa denganmu?” aku meraba wajah Kirana yang dingin seperti es, bibirnya yang pucat bergerak pelan.“Jangan tinggalkan aku,” samar-sama suara itu terdengar seperti hebusan angin yang menyapa, kemudian tubuhnya terkulai, aku segera membopong dan mebawanya ke dalam mobil.“Aku tidak pernah meninggalkanmu Kiran, meski kamu pernah menikah dengan orang lain, aku selalu datang dalam diam untuk memastikan kamu bahagia,” jawabku pelan di balik telinganya.Kirana menatap wajahku dengan sayu, matanya perlahan tertutup, sepertinya ia pingsan karena kedinginan, aku membaringkan tubuhnya di kursi tengah, dan segera menancap gas untuk pulang.‘Aku tidak bisa pulang ke rumah, mungkin saja Auristela masih di sana, sebaiknya aku membawa Kirana pulang ke rumahnya,’ bisikku dalam hati.Hatiku semakin terluka, memperhatikan tubuh Kirana dari kaca spion, ‘Hari ini pasti berat untuknya, kamu pasti merasa ditinggalkan oleh dua sahabat sekaligus,’ batinku.Laju mobil aku perlambat saat meli
Aku sedang duduk di sofa untuk mencari tahu tentang Auristela melalui laptop milik Ishan yang tergeletak di meja, Atha melarangku keluar dari apartemen ini karena aku sedang dibuntuti. Entah kenapa kecurigaanku jatuh pada Auristela, bagaimana pun dia pasti marah ketika Atha mengejarku dan meninggalkannya.Auristela adalah anak tunggal dari keluarga Ariesta group, dia adalah satu-satunya pewaris dari keluarga itu. Kalau akhirnya Atha memilihku dari pada Auristela maka akan banyak orang yang marah dan kecewa.Memutuskan untuk bersama Atha adalah keputusan sulit yang membutuhkan pengorbanan, aku tidak mau Atha melakukan semua itu sendiri, setidaknya aku harus bisa melindungi diri agar tidak merepotkannya.Sebelum berangkat Atha mengembalikan ponselku yang di rapihkan oleh Ishan saat di kantor, tapi Atha berpesan agar tidak menghidupkannya dulu, ditakutkan ada orang yang melacak lokasiku.Aku terus berpikir, kalau bukan Auristela makan orang-orang itu kemungkinan suruhan Pak Wijaya atau
Ihsan~[Aku memintamu untuk menjaga, bukan berarti bisa menyentuhnya!][Sekarang Kirana pacarku Pak.][Semprul!][Hahahaha]“Apa yang sedang kamu tertawakan?”tanya Kirana yang masih menekuk wajahnya sejak kejadian tadi.Jujur, pertama kalinya aku berhadapan sedekat itu dengan perempuan, tidak kusangka ia adalah Kirana, seorang perempuan yang diminta hanya untuk dijaga bukan untuk dicintai.“Bukan apa-apa,” ucapku sembari menyimpan ponsel itu.“Kenapa kamu bersikap nonformal?” tanyanya masih dengan nada kesal.“Karena peranku saat ini adalah pacarmu, bukan bawahan dari Ibu Kirana,” jelasku dengan sedikit tawa kecil.“Ini semua hanya pura-pura Ihsan,” perempuan itu masih menunjukkan ketidaksukaannya.“Karena ini hanya pura-pura aku harus bersikap senatural mungkin Kiran,” godaku lagi.“Ish!” wajah Kirana semakin cemberut, lalu membuang pandangannya ke samping.‘Lucu juga sikapnya,’ batinku.Kedip ponsel membuat layarnya kembali bercahaya, aku melihat nama Mami yang muncul di posisi pal