All Chapters of Lelaki Pilihan Surga: Chapter 21 - Chapter 30

36 Chapters

Bab 21

Setelah salat. “Bang, kami mau ngobrol, bisa?” tanya Fajar. “Boleh,” jawab Hari, mempersilahkan Kei dan Fajar, duduk tepat di hadapannya. “Ada apa ini?” tanya Hari, tersenyum. “Kei, sehat-sehat saja kan? Wajahnya pucat sekali.” “Alhamdulillah baik kok, Bang.” “Begini Bang, kami mau konsultasi sedikit nih. Tentang masalah Kei.” Fajar melanjutkan kalimatnya. “Masih masalah yang tempo hari?” tanya Hari. “Iya Bang,” jawab Fajar. “Memang ada apa?” “Ini Bang. Kei gelisah, galau. Dia bingung harus memulai dari mana.” “Galaunya kenapa? Bukannya sudah yakin, akan melanjutkan ikhtiarnya?” “Iya Bang. Aku bingung. Dan aku merasa enggak mampu, enggak sanggup,” ungkap Kei, dengan suara pelan. Hari tersenyum. “Sudah salat istikharah, kan?” “Iya, Bang.” “Petunjuk dari Allah, sudah ditemukan?” “Iya!” “Terus, kenapa masih ragu?”
Read more

Bab 22

Es kopi yang dihidangkan Fajar, tampak habis tak bersisa di gelas Haikal.“Oke! Kamu sudah duduk, es kopi pun sudah selesai kamu nikmati. Sekarang, jawab pertanyaan aku tadi!”Haikal tergelak. “Kei, Kei. Keenan Ramadhan. Kamu selalu bermasalah dengan kesabaran ya?”Kei tidak merespons.“Oke! Kemarin aku ke rumah, bertemu tante Mirna dan om Musa.”“Kamu mau apa lagi?” tanya Kei, dongkol. “Santai dong! Kamu jangan selalu emosi. Ini salah satu kelemahan kamu, Kei. Emosional, terlalu egois, sombong!”Fajar menatap Kei. Dia khawatir, emosi Kei akan terpancing dengan semua ucapan Haikal.Astagfirullah, batin Kei.Kei menghela napas. “Oke! Silahkan, kamu sampaikan apa kepentinganmu, datang ke sini?”Fajar tersenyum. Dia lega. Kei bisa mengendalikan emosi.Emosi yang bertahun-tahun, kadang tidak bisa dia kontrol. Emosi yang selalu siap menampar, siapapun.“Kei. Aku saudaramu. Belajarlah sediki
Read more

Bab 23

“Saat aku meninggalkan rumah, aku meninggalkan kamarku dalam keadaan berantakan. Aku masih ingat pesan ibu. Kamu belajarlah bertindak lebih dewasa, Nak. Belajar merapikan kamarmu sendiri. Karena suatu saat nanti, kamu akan hidup sendiri, tanpa ibu. Dan ternyata kalimat ibu, benar-benar terjadi. “Ya Allah, semoga Engkau mengampuni segala dosa-dosaku,” ujar Fajar, dengan air mata yang menetes di pipinya. “Saat kamu kehilangan segalanya, barulah semua akan terasa. Bahwa kamu tidak punya apa-apa. Kamu hanya seorang manusia bodoh, yang selama ini terus menyombongkan diri, dengan semua harta titipan Tuhan. “Kei, kamu masih punya ibu dan ayah. Berbaktilah pada mereka. Karena mereka adalah hartamu yang paling berharga. Jangan biarkan, dirimu tumbuh dengan penyesalan sepertiku. Sungguh, itu berat dan sangat menyesakkan, Kei. “Tidak ada sesak yang begitu melebihi, penyesalanmu akan dosa di masa lalu. Penyesalan, mengabaikan mereka yang selalu ada untukm
Read more

Bab 24

“Maaf ya Mbak, Aara masih seperti itu,” ujar Sinta. “Iya Mbak, aku sangat mengerti keadaan Aara,” jawab Sofia. Citra masih di tempatnya. Dia merasa perlu mengetahui banyak hal. Dia ingin memahami perasaan Aara yang sebenarnya. Karena Aara tidak pernah banyak cerita tentang kehidupan masa lalu orang tuanya. “Begini Mbak, sebenarnya aku datang ke sini, ingin memohon Mbak Sinta dan Aara, bisa memaafkan mas Candra.” Ibunda Aara tersenyum. “Mbak, sejak lama, sejak dahulu, saya sudah memaafkan mas Candra. Apa yang sudah terjadi, sudah menjadi bagian dari kehidupanku bersama Aara. Saya bahkan selalu mendoakan mas Candra, supaya bahagia bersama keluarganya.” “Mas Candra sekarang, dalam kondisi tidak baik, Mbak.” “Ada apa dengan beliau?” “Enam bulan yang lalu, mas Candra kecelakaan dan kakinya harus diamputasi.” “Astagfirullah,” ucap ibunda Aara, terkesiap. Citra pun merasakan keterkejutan yang sama.
Read more

Bab 25

“Ini bukan tentang masa lalu Ra! Ini tentang seseorang, yang darahnya mengalir dalam darahmu!” “Cit, jawabanku masih sama! Kamu hanya membuang-buang tenaga, membahasnya berulang kali!” “Kamu, selalu mengatakan tentang ibadah. Bahkan ibadah sunnah-mu pun sudah luar biasa sempurnanya. Tapi, ibadah wajib-mu, justru kau abaikan!” “Maksud kamu?” “Kamu lupa? Bakti kepada orang tua, adalah kewajiban mutlak bagi seorang anak!” Aara kembali menyeringai. Dia cukup kaget, dengan ucapan Citra. “Ha, sebenarnya aku sangat lelah membahas ini. Cukup ya Cit. Biarlah semua berjalan seperti adanya.” Citra menggeleng. Dia selalu sulit, menaklukkan hati Aara. “Ra, aku saja, sahabatmu, merasa sedih mendengar cerita tante Sofia. Kasihan, ayahmu sekarang sendiri. Tidak ada yang mengurus beliau,” ujar Citra, lembut. Berusaha mengetuk kerasnya hati Aara. Aara tidak merespons. “Ra, tolonglah, jangan kamu selalu
Read more

Bab 26

Ustad Hari tersenyum. “Assalamu’alaykum, Aara Malaika.” “Wa’alaykumussalam waromatullahi wabarokatuh,” jawab Aara. “Silakan duduk,” pinta Hari. Aara dan Citra, duduk dihadapan Kei, Fajar dan Hari. Aara masih terkejut bertemu dengan Hari. “Kak Hari di sini?” “Iya. Kok kamu terkejut seperti itu?” “Kita sudah lama banget enggak ketemu, Kak. Makanya saya kaget, bisa bertemu dengan Kak Hari, di sini.” “Inilah dunia Ra. Sempit banget. Aku pun kaget, saat mendengar cerita Keenan tentang kamu.” Aara terpaku. Ekspresinya berubah. Citra tampak memperhatikan hal lain. Pandangannya tersita oleh penampilan Kei yang sangat berubah. Wajah bersihnya, telah terhias dengan janggut tipis, yang rapi. Wajahnya semakin teduh. Tapi, badannya jauh lebih kurus. “Oke, jadi di sini, tugas saya, sebagai penengah untuk komunikasi antara Kei dan Aara. Aara enggak masalah kan?” “Iya Kak,” jawab Aara, pela
Read more

Bab 27

Beberapa menit berlalu, Aara dan Citra telah kembali. Mereka lantas duduk kembali di tempat semula. “Kita bisa lanjutkan?” tanya Hari, pada Aara. “Iya. Kak,” jawab Aara. “Saya mewakili Keenan, ingin memperjelas pertimbangan apa yang Aara maksud tadi. Adakah hal lain, yang perlu dilakukan atau dipersiapkan Keenan?” “Di pertemuan kami sebelumnya Kak, Aara membahas tentang pentingnya kesiapan menjadi seorang imam, kepala keluarga. Saya tidak ingin merendahkan suami Aara kelak, jika Aara harus membimbingnya dalam hal agama. Aara tidak ingin mempermalukannya di hadapan Allah.” Hari mengangguk. Kei dan Fajar terlihat fokus. Sedangkan Citra, sibuk dengan ponselnya. Dia mulai mengalihkan perhatiannya, dari kondisi yang terus tanpa kepastian ini. Membuat dadanya sesak, khawatir. “Ketika kesiapan menjadi seorang imam sudah terpenuhi, Aara sangat bahagia Kak. Tapi, ada satu sisi yang juga, sangat penting untuk diperhatikan.
Read more

Bab 28

Aara berdiri, terpaku, di depan pintu. Tangan Citra kembali menariknya, masuk ke dalam kamar. “Aara?” suara pria itu, mengagetkan Aara. “Kamu dipanggil, kamu mendekat ke sana!” bisik Citra. Aara mengangkat alis. Dia bingung. Siapa sebenarnya orang yang sedang di rawat dan sangat mengenalnya. “Ibu? Bisa Ibu jelaskan?” “Ayah kamu, Ra.” “Apa?” Aara terkesiap. Ibundanya mengangguk. Aara menatap Citra. Tanpa menjawab, Aara berdiri dan melangkah menuju pintu. Namun, tangan Citra, dengan sigap menariknya, untuk tetap di tempatnya. Aara tampak menahan emosi. Wajahnya tegang. “Duduk, Ra. Duduk!” pinta Citra. Aara duduk, dengan ekspresi yang sama. Dia tidak menyangka, Citra akan melakukan sesuatu yang sangat dia benci. Dia kecewa, sahabatnya sendiri, menariknya ke dalam pertemuan, yang paling dihindarinya. Aara terpaku dan Citra tetap fokus di sampingnya, menahan tangannya. “Sin, terima kasih kamu sudah
Read more

Bab 29

Malam kian larut. Fajar telah menyusul Fiki dan Hendri beristirahat. Kei masih duduk termenung sendiri, di meja kerjanya. Cinta? Mengapa kamu begitu rumit? Kamu datang begitu saja, tanpa kuminta. Setelah dekat, kamu malah menyiksaku, dalam rindu tak berkesudahan. Menyiksaku dalam jarak, yang tak mampu kutempuh. Beberapa menit dalam keheningan, Kei tertidur di meja kerjanya. Lelah tak berujung, tampak jelas di wajahnya. Sang pencinta yang sedang dilanda badai keraguan dan ketidak-berdayaan. Pukul dua malam, Kei terbangun. Dia baru sadar, dia masih di meja kerjanya. Setelah menenangkan dirinya, dia beranjak menuju kamar mandi. Lantas, dia mengambil sajadah di lantai dua. Tampak, dia akan menunaikan salat. Ketiga rekannya, larut dalam tidur. Ya Allah, ya Tuhanku. Perjalanan ini benar-benar melelahkanku. Apakah memang ini, takdir dari-Mu? Perjalanan yang harus kutempuh, menuju-Mu? Ya Allah, ya
Read more

Bab 30

Citra berdiri dan melangkah setengah hati menemui Aara, di dalam kamar. Dia merasakan suasana pagi ini, sangat tidak mengenakkan. Semua pikiran negatif, sudah berkecamuk dalam kepalanya. Dia terus bertanya, tujuan Haikal menemui Aara. “Citra?” Aara terkejut, melihat kehadiran Citra. “Iya!” “Kamu sudah dari tadi?” “Iya, aku ngobrol di depan, dengan tante Sinta.” “Kamu kenapa? Kok mukanya panik gitu?” “Ra, ayo keluar. Ada tamu untuk kamu?” “Tamu?” “Iya, Haikal anaknya om Harun.” “Yang di rumah sakit itu?” Aara memperjelas. “Iya. Ayo cepat! Dia udah dari tadi lho.” “Ada urusan apa?” “Mana aku tahu? Ayolah! Enggak enak ditungguin!” Masih dengan kebingungannya, Aara mengganti pakaiannya dan menemui Haikal di ruang tamu. Citra tetap bersamanya. “Assalamu’alaykum,” sapa Haikal, ramah. “Wa’alaykumussalam,” jawab Aara, tersenyum. Aara dan Citra, duduk di depan Hai
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status