All Chapters of APA KABAR MANTAN ISTRIKU?: Chapter 21 - Chapter 30
42 Chapters
Bab 21
Pertemuan hari ini menyisakkan haru. Meskipun Hanum masih bungkam dan tetap dengan pendirian pertamanya yang menolak ajakanku untuk rujuk. Namun, setidaknya rasa rindu ini sedikit terobati. Meskipun aku hanya sesekali bisa berinteraksi dengan Mahe dan Daffa. Namun bisa melihat mereka bermain riang dengan Ibu dan Hanum di teras rumah megah Bu Pramesti, ada yang terasa hangat di dalam sini. Menjelang sore, kami berpamitan pulang. Aku melirik Hanum yang berdiri di samping Rega. Lelaki yang seharian ini seolah menjadi satpam yang tak henti mengawasi kami. “Mahe, Daffa … Papa pulang dulu, ya ….” Aku mencium pipi mereka satu per satu. Hal yang jarang sekali kulakukan ketika kami masih tinggal seatap dulu. “Papapapapa ….” Kedua anakku yang tengah duduk di atas karpet dan memainkan mainannya mengoceh. Tawanya sesekali berderai ketika Ibu yang masih anteng duduk dengan mereka menggodanya. “Bu, ayo … sudah sore.” Aku menatap Ibu. Perempuan itu tampak enggan dan menoleh ke arahku. “Sebentar
Read more
Bab 22
"Oke, mari kita buktikan ke dokter kandungan! Kita lihat, berapa usia kandunganmu sekarang! Dan kapan hari naas yang kamu jadikan alasan jika aku berbuat hal itu padamu!” Aku menarik tangan Meli dan setengah menyeretnya keluar. Risna yang berada di belakangku mengejar. Aku sangat yakin, jika mereka hanya tengah menjebakku. Meli tak tahu jika aku sudah tahu isi percakapannya dengan Risna malam itu. Bahkan yang begitu mengejutkanku, ternyata semua ide gila memberiku obat tidur dan menelanjangiku adalah dari Risna dan Meli hanya mengikuti arahannya. “Mas Ramdan!” Tarikan tangan Risna terasa keras di bahuku. Dia memaksa agar tarikan tanganku lepas dari tangan Meli. Aku menolah padanya yang bahkan memaksa melepaskan cekalan tanganku dari pergelangan tangan Meli. Namun, tak seucapun kalimat terlontar dari mulutku. Tak habis pikir, kenapa Risna selalu mendukung Meli sampai tak memikirkan nasib rumah tangga kakaknya sendiri. Apakah ada yang mereka sembunyikan dariku ataukah memang persahab
Read more
Bab 23
Kusobek sembarang amplop cokelat itu. Di dalam bungkusan tersebut rupanya sebuah kartu undangan berwarna gold. Kubolak-balik untuk mencari tahu siapa pengirimnya. Seketika debum jantung bertalu lebih cepat melihat nama yang tertera di sana. Dunia rasanya berhenti berputar dan semua asa yang kupupuk biar subur menguap begitu saja. Secepat inikah aku harus mengubur semuanya? Kulempar kertas undangan dengan kualitas premium itu sembarang. Ada yang terbakar di dalam sini dan rasanya mau meledak. Bercampur antara harapan yang patah, kecewa dan penyesalan yang menggunung tiada tara. Aku segera mengambil gawai dan menelpon Ibu. Rasanya selera kerjaku sudah hancur. “Hallo! Assalamu’alaikum, Bu!” “Wa’alaikumsalam, Dan!”Aku menarik napas panjang, rasanya tenggorokan tercekat dan sulit sekali untuk mengucap kalimat berikutnya. “Bu!” tukasku setelah beberapa detik menekan pedih. Lalu, tak ada kalimat lagi, bersambung dengan sedu yang tak bisa lagi kukendalikan. Rasa sesak memenuhi rongga d
Read more
Bab 24
Sudah hampir tengah malam, akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Kutitipkan satu tas besar itu pada security. Aku pulang dengan hati kosong. Bayangan memeluk dan menciumi Mahe dan Daffa hilang sudah. Malam ini adalah malam terakhirku di sini. Satu tahun aku akan menjauhkan diri dari semua, mengobati luka yang kuciptakan sendiri. Rumah besar, mobil nyaman dan karir cemerlang mendadak terasa bukan apa-apa. Asaku kini bahkan seperti selembar kapas yang terkena hujan. Andai aku punya nomor Hanum, ingin sekali kutelpon dia, kutanyakan keadaannya, memberikan perhatian padanya agar dia tahu kalau aku memang sungguh-sungguh menyesal. Setibanya di rumah, aku langsung membersihkan diri, lalu bermunajat lagi dan memanjatkan doa pada sang pemilik kehidupan. Meminta ampun padanya karena aku telah salah melangkah dan menyia-nyiakan keluarga, hal yang ternyata kini kusadari sangat berharga.Memang benar ketika orang bilang, jika titik terberat dari mencintai adalah merelakan. Perasaan yang datan
Read more
Bab 25
Aku turun tergesa dari mobil Avanza berwarna silver metalik milik kantor yang baru saja berhenti di depan rumah. Kuucapkan terima kasih dan mengepalkan satu lembar berwarna merah ke dalam genggaman tangan Pak Bowo yang sudah setia menemani perjalanan kami. “Makasih, ya, Pak.” “Sama-sama, Pak Ramdan! Pamit dulu, ya, Pak. Mau antar Pak Rozak.” Aku mengangguk dan melambaikan tangan pada Rozak dan Pak Bowo, lantas membuka pintu gerbang dan masuk ke dalam rumah. Kunyalakan lampu dan bergegas membersihkan diri. Hanya menumpang mandi dan ganti baju sebentar. Lalu aku segera mengambil kunci mobil dan melajukannya menuju ke rumah Ibu. Hanya saja, niatan awal sejenak berubah. Rasa rindu pada kampung halaman membuatku melajukan mobil menyusuri jalanan tanpa tujuan. Lelah, memang terasa padahal. Hanya saja naluri menuntunku menyusuri ruas-ruas jalan yang dipadati keramaian. “Ah, rindu … semua yang ada di sini kurindukan ….” Tiba-tiba bayangan wajah Hanum melintas. Senyumnya yang dulu malu-ma
Read more
Bab 26
Pov MeliSelamat membaca! Selamat weekend semuanya. Yang mau tegur sapa sama othor boleh follow IG/FB aku ya, Evie Yuzuma. Harapan yang kembali kandas membuatku benar-benar meradang. Mas Ramdan bahkan benar-benar tak lagi peduli padaku. Dia tak memandang meski sebelah mata. “Ris, ayo dong bantuin! Ada ide lagi gak?” Aku menatap Risna malam itu. Biasanya dari otak Risna lah ide ide itu bermunculan. “Bentar dong, Mel. Buntu, nih! Mas Ramdan otaknya lagi lurus keknya. Kalau dulu pas masih ada Mbak Hanum di rumahnya, dia malah cepet banget geser otaknya. Sekarang giliran udah pisah, malah lempeng, aneh!"Risna tampak menggaruk-garuk kepala. “Ck! Ide lo semuanya nol! Sebel, lah!” Aku mendelik. Ya, aku tak bisa berpikir lagi. Rasa cinta yang sudah sekian lama kusimpan dalam kesendirian, rupanya tak juga bermuara pada seseorang. Setiap kali aku mencoba menjalin hubungan, hanya Mas Ramdan yang ada di dalam otakku. Ah, dagu belahnya, rambut curlynya, dan kedua mata yang dulu pernah memand
Read more
Bab 27
Melihat Ibu yang terus-menerus bersedih. Akhirnya aku berjanji akan mencari tahu keberadaan Risna. Waktu cuti yang diambil dan tak banyak ini, mau tak mau harus kupecah. Namun, aku akan menemui dulu Mahendra dan Daffa. Aku sudah membelikan banyak mainan dan juga baju-baju lagi untuk mereka. “Ibu sudah, gak usah cemas. Aku akan mencari keberadaan Risna.” Aku menatap pada Ibu. “Dan, nikahkan saja Risna. Ibu ingin, dia ada yang membimbing.” Suara Ibu masih terdengar melengis, menahan sedih. “Masalahnya dengan siapa, Bu? Bahkan dalam foto-foto ini jelas sekali apa yang sudah Risna perbuat dengan lelaki itu. Lalu, apa ada lelaki lain yang mau?” Aku menatap Ibu. Ragu, jika harus menikahkan Risna dengan lelaki lain. “Nikahkan saja mereka. Setidaknya, Risna tidak terus-menerus melakukan zina.” Tanpa kusangka, Ibu mengambil keputusan yang sebetulnya tak ada sisi baiknya juga. Melainkan, hanya memberikan solusi sesaat yaitu agar Risna tak lagi berzina. “Lelaki rusak seperti itu, tak mungk
Read more
Bab 28
Aku menautkan alis ketika melihat Rega memapah perempuan itu. Bukankah itu Bu Hana? Namun, kenapa mereka tampak sedekat itu? Apakah Rega tak meraba perasaan Hanum---istrinya? Aku berdiri dan membuat Rega dan Bu Hana yang melihatku tampak terkejut. Keduanya langsung saling menjauh. Aku melirik ke arah Hanum, takut-takut ada gelayut sedih karena suami barunya sebegitu perhatiannya pada iparnya. Namun, yang kulihat hanyalah wajah gugup dan salah tingkah. Hmmm, ada apa sebenarnya? “Selamat malam, Pak Rega! Selamat malam, Bu Hana!” Aku menghampiri Rega dan Bu Hana. “Malam, Pak Ramdan! Lama gak bertemu. Kabarnya sedang mengembangkan bisnis yang di kendal, ya?” Bu Hana menangkup tangan di depan dadanya, aku pun melakukan hal yang sama. Sementara itu, Rega mengulurkan tangan dan menjabatku.“Malam, Pak Ramdan!” “Saya pamit masuk duluan, ya! Lagi gak bersahabat dengan udara malam.” Bu Hana tersenyum dan mengangguk. Lantas Hanum menghampiri dan memapahnya. Aku menatap dua perempuan yang
Read more
Bab 29
Pov Hanum“Mahe, awasss!!!” Aku menjerit sekuat tenaga, tetapi tak bisa berlari cepat karena tengah memangku Daffa yang baru saja menumpahkan kuah sop ke pakaiannya. Mobil itu melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Aku sudah melepas sandal dan berlari tanpa alas berharap lebih cepat dari gerakan mobil itu. Di depan mataku, tubuh itu hampir saja terlindas kendaraan roda empat yang melaju dengan menggila, hanya saja pada detik-detik terakhir dan tanpa bisa kucerna lagi, tubuh mungil putraku terdorong ke trotoar dan tangisnya pecah. Lututnya berdarah. Hanya saja di tengah jalan sana terkapar seseorang yang tampak mengerang kesakitan. “Mas Ramdaannn! Tolong! Tolong! Tolong suami saya!” Aku menjerit-jerit kalap. Sementara itu, aku tak bisa memburu tubuhnya yang tampak bersimbah darah. Ada Mahe yang menangis dan ketakutan. “Astaghfirulloh, Ramdaaan!” Kudengar teriakan Ibu yang tadi pamit ke toilet. Aku duduk bersimpuh memeluk kedua anak-anakku. Daffa yang kugendong ikut nangis juga walau
Read more
Bab 30
Pov Ibu Ramdan“Ramdan, koma, Num. Kata dokter, Ramdan koma.” Aku memberitahukan hal yang terasa pahit ini pada mantan menantuku. Hanum---gadis sholeha yang dulu kuharap bisa menemani Ramdan hingga menua bersama. “Astaghfirulloh … Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.” Kudengar kalimat itu keluar dari mulut Hanum. Ya, aku tahu. Dia pasti sama shocknya denganku. Ramdan---putraku harus melewati fase antara hidup dan mati yang cukup berat ini. Padahal kemarin dia tengah semangat-semangatnya membicarakan tentang kenaikan jabatan yang tengah diincarnya. Bu Pramesti dan lelaki yang setahuku bernama Rega itu pun sama-sama terkejutnya. Perempuan yang didorong di kursi roda itu bangkit dan berpindah pada kursi kosong yang diduduki Hanum, diikuti Rega. Dari wajahnya mereka pun tampak prihatin pada nasib putraku. “Kita bantu doa saja, Num. Semoga Ramdan bisa segera pulih.” Kudengar perempuan paruh baya itu berucap lirih pada mantan menantuku. Hanum hanya mengangguk, tetapi air matanya terus ber
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status