All Chapters of APA KABAR MANTAN ISTRIKU?: Chapter 11 - Chapter 20
42 Chapters
Bab 11
Aku pun turun menghentikan mobil dan mengatur napas. Rasanya berdebar sekali mau ketemu dengan Mahe dan Daffa. Aku merapikan rambut, lantas menyemprot parfum juga pada badan. Aku tak mau, ketika anak-anak kupeluk, dia menjauh karena bau. Namun, baru saja aku hendak turun. Dari arah berlawanan, sebuah mobil Alphard dengan plat nomor yang kukenal tiba-tiba berhenti di depan gerbang. Seorang security jaga lekas-lekas membukakan pintunya. Aku memperhatikannya dengan seksama. Tak salah lagi itu mobilnya Bu Hana. Putri salah satu pemilik saham perusahaan ternama. Lalu, apa ini artinya jika Hana itu benar-benar Hanum? Ataukah Hanum memang bekerja di rumah Hana? Setelah alphard warna putih itu masuk, aku pun lekas melajukan fortunerku dan berhenti di depan gerbang. Lekas mematikan mesin mobil, berjalan keluar dan berdiri di depan gerbang. Seorang security menghampiri. “Selamat siang, Pak!”“Siang!” Aku mengangguk sopan, sementara itu kedua netraku memindai halaman luas yang tampak asri da
Read more
Bab 12
Pov Hanum Aku benar-benar tak habis pikir pada isi kepala lelaki seperti Mas Ramdan. Selalu saja menyalahkanku yang katanya gak bisa ngatur rumah, ngurus anak dan diri sendiri. Andai dia tahu, mengurus rumah sebesar itu dan harus menjaga dua anak kembar yang tengah aktif-aktifnya bahkan menyita sebagian besar waktuku.Di otaknya yang ada hanyalah yang capek itu dia karena habis kerja, sedangkan aku? Aku di rumah saja. Semua ini sebetulnya sudah sejak lama, hanya saja entah kenapa enam bulan terakhir ini semakin menjadi saja. Dia pun kerap menyendiri di ruang bawah dan bertelepon dengan entah siapa. Senyumannya lebar dan manis, seperti orang yang sedang jatuh cinta. Ah, andai … andai secuil saja dia berikan senyum itu buatku. Mungkin lelah dan capek setelah seharian pontang-panting mengurus rumah dan anak-anak, sedikit terobati. Aku tak minta banyak hal, tak minta juga diberikan ART. Hanya meminta pengertiannya saja ketika tak semua pekerjaan bisa kuselesaikan. Namun, nyatanya tida
Read more
Bab 13
Pov Hanum.Tak terasa aku sudah beberapa hari tinggal di rumah megah ini. Setiap hari dipenuhi rutinitas yang menguras tenaga. Hanya saja, entah kanapa aku terasa ringan menjalanknnya. Selain karena sikap ramah Bu Pramesti, mungkin bisa dikatakan jika pekerjaanku sekarang adalah pelarian diri dari masalah yang menyita energi dan pikiran. Pagi itu, aku baru selesai menyiapkan sarapan ketika kulihat wanita paruh baya itu tengah duduk di ruang tengah dan tengah membersihkan wajahnya. Pantas saja, setua ini mukanya tetap mengkilap dan kulitnya tampak bersih dan kenyal. Rupanya dia memang rutin melakukan perawatan. “Bu, sarapannya sudah siap.” Aku menghampirinya sambil membawa alat pembersih kaca. Hendak kubersihkan kaca yang ada di depan. “Hanum, sini!” Bu Pramesti menepuk sofa yang masih kosong. Aku menatapnya dan menautkan alis. “Iya, Bu? Ada apa?” tanyaku. “Ibu lihat, kamu jarang sekali merawat wajah. Padahal ‘kan kerjaan rumah juga ada beresnya.” Baru saja dia menutup cream skinc
Read more
Bab 14
Pov Hanum “Nah itu Mbak Hana datang!” Mas Rega tampak sumringah. Aku ikut-ikutan menoleh pada pintu mobil bagian depan yang terbuka. Seketika netraku membulat menatap sosok cantik yang turun dari balik kemudi. Bukan karena wajahnya yang glazed, bukan pula karena tas brandednya yang dia tenteng atau karena gamisnya yang terlihat mahal. Namun, aku seolah melihat wajahku dalam versi lainnya. Pantas saja Mas Rega mengira aku Mbak Hana. Kenapa bisa, aku dan dia begitu serupa? Bedanya dia cantik dan aku kumal, itu saja. “Hay, Ga! Dari tadi!” Yang pertama disapanya adalah Rega. “Hay juga, Mbak. Duh makin ngefans saja jadinya gue, ya ampuuun … punya Mbak bening kek gini, dah!” Rega langsung mengusap wajah dan menghela napas. Hana tampak terkekeh dan mendekat. “Biasa aja kali, Ga. Ya kali kita mau branding terkait skincare, terus diri kita gak mewakilinya. Bisa-bisa dihujat pasar, Ga.” Dia ikut duduk dan menemani kami. “Mbak Hanum, ya?” Dia melirik ke arahku. Inilah pertama kalinya kam
Read more
Bab 15
Bab 15 - Pov Hanum Beberapa hari berlalu dari kejadian itu. Namun, tak ada yang berubah. Kenyataan baru itu masih tetap sama. Bu Pramesti menyatakan kalau aku adalah putrinya yang hilang. Bahkan, esok hari, katanya seorang ART baru sudah didatangkan kembali dari yayasan. “Bu, katanya esok mau ada ART baru dari yayasan, ya? Lantas kerjaan saya gimana?” Sore itu, aku membawakan teh kamomil kesukaan Bu Pramesti. Sudah hapal lagi kebiasaannya jika setiap sore dia akan duduk di teras sambil menikmati kudapan ringan dan segelas teh beraroma kamomil. Dia bilang, teh herbal ini menjadi teman yang wajib. Semenjak mendiang suaminya berpulang dalam kecelakaan tragis di mana mobilnya rem blong dan akhirnya jatuh ke tebing. Menanti bayi Hana yang masuk ruang ICU terselamatkan dan mencari bayi Hanum yang tak kunjung ditemukan. Aroma daun teh herbal itulah yang menemaninya menghabiskan hari dalam penantian. Kata Bu Pramesti, aroma daun teh itu bisa mengatasi kecemasan dan sebagai terapi susah ti
Read more
Bab 16
Pov Ramdan Selamat Membaca! “Mahe … Daffa … kalian di mana, Nak?” Tiba-tiba ada yang merembes dari sudut mataku. Kecemasan serupa muncul mendengar penjelasan Ibu. Kenapa kini jadi kusut semrawut seperti ini kehidupanku?Mendengar kabar dari Ibu terkait Mahe dan Daffa yang kemungkinan diculik, aku urung beristirahat. Aku bangkit menuju kamar mandi lalu mencuci wajah. Sejuknya air sedikit mengusir rasa lelah. Kuraih kunci mobil dan melaju menuju rumah Ibu. Sekaligus aku akan membawanya ke dokter agar sakitnya tak tambah parah. Tiba di rumah Ibu, aku disambut Risna yang tampak panik. Ibu muntah-muntah terus dan gak masuk makanan. Aku bergegas menuju ke dalam kamar. Tampak wajahnya pucat dan lemas. “Dan, Cucu Ibu mana, Dan?” Suaranya lirih, lemah dan tampak sekali wajahnya penuh kelelahan. “Aku sudah cari, Bu. Jejak Hanum sudah ditemukan. Dia kerja di rumah orang kaya jadi pembantu, Bu. Aku akan -,” Belum sempat aku menuntaskan kalimat ku, Ibu memotongnya dan tampaknya dia kaget. “
Read more
Bab 17
“Mahe … Daffa … kalian di mana, Nak?” Tiba-tiba ada yang merembes dari sudut mataku. Kecemasan serupa muncul mendengar penjelasan Ibu. Kenapa kini jadi kusut semrawut seperti ini kehidupanku?Mendengar kabar dari Ibu terkait Mahe dan Daffa yang kemungkinan diculik, aku urung beristirahat. Aku bangkit menuju kamar mandi lalu mencuci wajah. Sejuknya air sedikit mengusir rasa lelah. Kuraih kunci mobil dan melaju menuju rumah Ibu. Sekaligus aku akan membawanya ke dokter agar sakitnya tak tambah parah. Tiba di rumah Ibu, aku disambut Risna yang tampak panik. Ibu muntah-muntah terus dan gak masuk makanan. Aku bergegas menuju ke dalam kamar. Tampak wajahnya pucat dan lemas. “Dan, Cucu Ibu mana, Dan?” Suaranya lirih, lemah dan tampak sekali wajahnya penuh kelelahan. “Aku sudah cari, Bu. Jejak Hanum sudah ditemukan. Dia kerja di rumah orang kaya jadi pembantu, Bu. Aku akan -,” Belum sempat aku menuntaskan kalimat ku, Ibu memotongnya dan tampaknya dia kaget. “A--Apa, Dan? Mantu Ibu jadi pe
Read more
Bab 18
“Hanum!” Aku mengejarnya, tetapi dia menepis tanganku yang hendak meraihnya. “Mas, tolong jangan ganggu Hanum lagi. Dia itu calon istriku! Sebaiknya Mas pergi, malu sudah jadi pusat perhatian orang-orang!” Suara bariton seorang lelaki terdengar dari arah belakang bersama satu tepukan pada pundakku. “A--apa c--calon istri?” Aku menoleh ke asal datangnya suara. Sosok lelaki bertubuh tinggi itu tengah memandangku. Sorot matanya tajam, dalam gendongannya Mahendra tampak begitu nyaman. “Gak usah seperti itu lihatinnya. Cuma cukup camkan saja, Hanum sudah bahagia bareng keluarga saya. Kamu bisa lihat itu!” Lelaki itu mengarahkan telunjuknya. Aku seolah terhipnotis dan memutar kepala mengikuti arah yang ditunjukkannya. Ternyata di sana, Hanum sudah duduk di sisi sepasang suami istri paruh baya yang tampak tengah menggendong putraku yang satunya. “Daffa ….” Aku berucap tanpa suara. Tampak Daffa tengah disuapi oleh perempuan itu dan berpindah pada pangkuan Hanum. “Mas sudah lihat ‘kan?
Read more
Bab 19
“Hanum!” Aku mengejarnya, tetapi dia menepis tanganku yang hendak meraihnya. “Mas, tolong jangan ganggu Hanum lagi. Dia itu calon istriku! Sebaiknya Mas pergi, malu sudah jadi pusat perhatian orang-orang!” Suara bariton seorang lelaki terdengar dari arah belakang bersama satu tepukan pada pundakku. “A--apa c--calon istri?” Aku menoleh ke asal datangnya suara. Sosok lelaki bertubuh tinggi itu tengah memandangku. Sorot matanya tajam, dalam gendongannya Mahendra tampak begitu nyaman. “Gak usah seperti itu lihatinnya. Cuma cukup camkan saja, Hanum sudah bahagia bareng keluarga saya. Kamu bisa lihat itu!” Lelaki itu mengarahkan telunjuknya. Aku seolah terhipnotis dan memutar kepala mengikuti arah yang ditunjukkannya. Ternyata di sana, Hanum sudah duduk di sisi sepasang suami istri paruh baya yang tampak tengah menggendong putraku yang satunya. “Daffa ….” Aku berucap tanpa suara. Tampak Daffa tengah disuapi oleh perempuan itu dan berpindah pada pangkuan Hanum. “Mas sudah lihat ‘kan?
Read more
Bab 20
“Num, maafkan Mama gak ngabarin kamu dulu kalau Ibu angkat kamu datang. Namun, kamu senang ‘kan?” ucap perempuan yang duduk di kursi roda itu seraya mengusap punggung Hanum yang baru saja saling melepas pelukan dengan Ibu. Aku menatap hal yang ganjil itu dengan seksama. Apa yang dibilang perempuan paruh baya tadi? Mama? Bukankah mereka hanya ART dan majikan? Kenapa panggilannya bisa sedekat itu? Hanum hanya mengangguk dengan ekspresi wajah yang tak bisa kuartikan. Apakah dia sedih atau senang? Hanya saja, tangannya tampak memegang erat lengan Ibu dan mengajaknya duduk pada sofa. “Duduk, Bu. Hmmm, Kok Ibu bisa tahu aku di sini?” Hanum menatap Ibu dalam. Dia bicara disela isak tangisnya yang sudah mulai reda. Namun, sama sekali tatapan itu tak tertuju ke arahku.“Kamu kenapa pergi dari rumah, Num? Kenapa kamu gak nyari Ibu? Ibu hampir gila mikirin kamu dan cucu-cucu Ibu.” Ibu kembali terisak. Punggungnya tampak bergerak-gerak, sedangkan kedua tangan itu menutup wajahnya yang tampak s
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status