All Chapters of BABY BLUES: Chapter 21 - Chapter 30
44 Chapters
21. Kucel Kusut I
Saat pintu terbuka, tradisi wanita antara kami terjadi. Jeni memelukku erat sekali. Perempuan itu paling dekat denganku semasa kerja. Disusul yang lain, mereka mengucapkan selamat dan cipika-cipiki.Kupersilakan mereka masuk ke dalam. Tampak seorang pria berdiri paling ujung, memandangku datar, lalu tertunduk. Saat pandangan kami beradu, seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan."Haura dan Hanum sedang tidur. Kalian masuk ke kamar aja, ya. Tapi, jangan terlalu berisik, mereka baru saja terlelap," ujarku sembari merayap ke dalam.Karena langkahku sangat pelan, alhasil teman-teman mengikuti gerakku dari belakang. Jeni mendampingiku berjalan ke dalam."Wah, kamu tau aja kita suka berisik," timpal Nova, temanku paling ceriwis. Kami menahan tawa bersama. Langkah sudah masuk ke dalam kamar dan tampaklah dua malaikat kecilku tengah terpejam dengan wajah imutnya.Mereka seperti terpesona melihat wajah ayu kedua bayiku. Beberapa di ant
Read more
22. Kucel Kusut II
"Boro-boro ngurus diri, Nova. Yang ada setelah punya bayi, apalagi kembar waktu kita sebagai ibu akan tersita, lho. Gak ada waktu buat diri sendiri," bela Jeni, seperti bisa menangkap perasaan yang menimpa hatiku."Dari mana kamu tahu, Jeni? Kayak udah nikah aja," celah Nova. Meski tujuannya bercanda, tetapi ucapannya terkesan meremehkan."Yey, aku kan punya adik banyak. Tahu lah seluk-beluk gimana ribetnya jadi ibu. Makanya, sampai sekarang belum nikah. Ya, walaupun mau, tapi mentalku belum siap.""Gak laku kali. Ha ha ha."Pluk. Jeni melempar teman lelaki yang mencoba menjahilinya. Sejenak, tawa mereka membahana. Hal itu membuat Haura dan Hanum kaget hingga bangun.Meski perhatian telah beralih pada kedua bayiku, pikiranku masih saja berisi tentang ucapan Nova. Apa seburuk itu penampilanku? Apa aku terlihat seperti orang gila?Untung saja Jeni langsung membela. Dia paham bagaimana susahnya menjadi seorang ibu, meskipun belum me
Read more
23. Sepele I
"Dari mana aja, Mas?"Kemunculan Mas Haidar di ambang pintu kamar langsung kuserang dengan pertanyaan dan unek-unek yang mengganjal. Aku tak bisa lebih sabar. Terlebih, mengingat perkataan Nova tadi, bagaimana kalau Mas Haidar benar-benar mencari perempuan lain di luar untuk memuaskan?"Dari rumah Tio. Maaf, ya, temenku baru balik lagi ke kota barusan. Wajar, udah lama gak ketemu. Hampir satu tahun. Eh, di saat pulang malah denger kabar dia cerai sama istrinya."Aku memicingkan mata. Giliran temannya, selalu mendapat posisi istimewa."Oh, gitu. Udah temen kamu, apa kamu mau cerita hal sama pada mereka?""Maksud kamu?" Saat Mas Haidar menggantungkan jaket di paku, ia berbalik menatapku."Kenapa kamu pulang, Mas? Kenapa gak sekalian aja nemenin Tio atau siapalah teman kamu itu?""Aku baru pulang, lho, Zara. Gak sepantasnya sikap kamu seperti itu.""Aku baru melahirkan, lho, Mas. Gak sepantasnya kami bersikap seper
Read more
24. Sepele II
"Jangankan kamu, Mas. Aku pun kehilangan diriku yang dulu. Itu semua semenjak jadi ibu. Aku sadar, ini semua akan terjadi pada setiap wanita. Tapi, lihatlah suami orang lain, Mas. Mereka siap siaga membantu istrinya mengurus rumah, atau minimal menjaga bayi saat malam tiba. Jika menurut kamu itu hal sepele, kalau gitu kita gantian saja. Biar aku yabg kerja dan kamu urus mereka," paparki panjang lebar. Aku tak bisa menahan ini terus-menerus. Sebelum aku menjadi gila, lebih baik kuutarakan saja. "Berhenti membandingkan kehidupan sendiri dengan kehidupan orang lain, Zara. Apalagi perihal suami. Aku itu bekerja. Butuh istirahat saat malam. Kalau di rumah aku capek, bisa-bisa kerjaanku kacau. Soal merawat bayi, wajar, dong, kalau kamu habiskan waktu dengan merawat bayi. Kamu itu ibunya.""Dan kamu ayahnya. Wajar bila berbagi waktu bersama anak-anakmu. Saat libur pun, apa yang kamu lakukan? Memilih berkumpul bersama teman, kan? Ingat kemarin malam ngapain? Kamu malah no
Read more
25. Semua Pasti Berlalu I
Sudah kuduga, saat menghadapi masalah seperti ini Mas Haidar pasti angkat kaki dari rumah. Tak peduli langit sudah gelap, bahkan gerimis mulai menghujam tanah. Sedari tadi, air mataku enggan berhenti mengalir. Ada kepedihan yang teramat besar, tak berdarah dan tak kasat mata. Berkali, kucoba hubungi nomor Mas Haidar. Ia tak kunjung mengangkat. Malahan, kini nomornya tidak aktif.Aku semakin yakin bahwa aku salah memilih suami. Harusnya, dulu kuperjuangkan Bama. Bukan menerima Mas Haidar yang datang dengan segenap harta yang ia punya pada Mama. Lintasan masa lalu itu hadir lagi. Berdosakah aku jika merindukan dia yang ternyata bukan jodoh? Di saat kondisi terpuruk seperti ini, suami sendiri malah tak peduli.Permintaanku untuk diantar pulang ke rumah orangtua tak digubris sama sekali."Sampai kapan mau mengeluh, Zara? Mandirilah. Coba perluas sabar dan ikhlas. Dengan pulang tanpa sebab seperti ini, martabatku sebagai suami akan sangat buruk. Kamu
Read more
26. Semua Pasti Berlalu II
Saat pulang bekerja petang, Mas Haidar akan fokus pada ponselnya. Malah, akhir-akhir ini dia sering pulang malam. Alasannya lembur, buat tambah-tambah pemasukan karena pengeluaran kian membengkak. Lelaki itu sering tertidur di ruang tengah, terpisah denganku dan anak-anak. Entah enggan terganggu dengan tangisan mereka atau malas bertemu denganku, yang akan berujung debat.Aku merasa pernikahanku semakin tak berarti. Tak ada makna keluarga di dalamnya. Mas Haidar mungkin bisa dikatakan bertanggungjawab soal materi, tetapi kalau dia terus bersikap dingin dan cuek pada keluarga, mana nafkah batin yang harusnya didapatkan?Saat Mas Haidar pulang larut, aku tak pernah bertanya lagi dia darimana. Bangun pagi, ia urus diri sendiri lalu berangkat ke kantor lagi. Sesekali menyapa Haura dan Hanum saat aku tertidur atau di kamar mandi.Di lain hari, kuhubungi Mama. Kurasa, aku sudah tak mampu menjalani semua ini sendirian. Kukatakan, Mas Haidar sangat sibuk di kantor
Read more
27. Istriku Berubah I
PoV Haidar (Baca bagian ini sebagai Haidar)Memiliki anak adalah dambaan setiap orang yang sudah menikah. Bersatu dengan Zara, adalah pilihanku. Sewaktu remaja, aku sudah menggilai wanita itu. Perempuan salehah-menurutku-yang istiqamah dalam menutup hijab dan menjaga diri. Perangainya yang ramah dan lemah lembut, menjadikanku semakin bergelora padanya.Masa penjajakan kami hanya berlangsung tiga bulan saja. Sebelum mendatangi Zara, orangtuanya sudah kukunjungi terlebih dahulu untuk meminta restu. Datang rombongan dengan keluarga besar, membawa satu ekor sapi dalam acara khitbah kami, keluarga Zara sangat menerima baik kedatanganku.Singkat cerita, Zara terpaksa memupus harapannya untuk menikah dengan Bama-teman satu kerjanya-untuk memilih hidup denganku.Selang tiga bulan, Zara langsung mendapat kepercayaan Tuhan dengan dititipkan dua janin dalam rahimnya. Tentu saja, kami sangat bahagia. Di bagian bumi sana, saat seseorang mati-matian melaksanaka
Read more
28. Istriku Berubah II
Hal yang tak semua wanita dapat mengalaminya. Tetapi, kenapa Zara sering bergumam demikian? Apa benar yang pernah Ibu katakan padaku, bahwa Zara belum siap menjadi ibu.Suatu sore, aku pulang ke rumah dengan membawa gajiku untuk Zara. Sungguh lelah sekali karena ada beberapa kejadian tak terduga di kantor. Hal itu membuatku ingin cepat merebahkan tubuh di atas kasur.Ingin melupakan pekerjaanku yang menumpuk, karena dipercaya untuk mengemban banyak tugas oleh atasan. Itu semua, karena aku sangat loyalitas dalam bekerja. Tak pernah perhitungan dengan waktu ataupun menolak saat mendapat tugas baru.Teringat pepatah ibu yang tak pernah hilang dari ingatan bahwa harga diri lelaki itu adalah saat dia bekerja dan menafkahi keluarganya dengan baik. Kuterapkan nasihat itu dengan selalu memberikan lebih dari setengah gajiku untuk Zara. Sebagian dipakai kredit rumah dan kebutuhan bensin serta rokok. Zara pun tak pernah berkata kurang, dia sangat leluasa menerim
Read more
29. Panti Asuhan I
PoV ZaraAku sudah tak tahan menjani semuanya sendirian. Kurasa, Mas Haidar sudah tak peduli lagi terhadap kebahagiaanku. Kuputuskan sore ini untuk menitipkan Haura dan Hanum ke panti asuhan agar kelak, seseorang mau mengadopsi mereka. Seseorang yang datang ke panti dengan kesiapan menjadi ibu yang sebenarnya. Bukan sepertiku, menangis seharian merasakan penderitaan.Ya, harapanku, setidaknya mereka akan mendapat kehidupan yang lebih menyenangkan dengan banyak teman. Kasih sayang seorang pengasuh dan pengurus panti. Itu yang kulihat dalam film dan sinetron televisi. Anak panti selalu banyak yang menyayangi.Haura dan Hanum tak pantas mendapatkan ibu sepertiku. Yang bisanya hanya marah dan menangis ketika mereka menjerit dan mencuri seluruh waktuku. Jika memang benar aku tipis iman, biarkan Haura dan Hanum dididik oleh orang lain yang jelas imannya lebih baik. Biar mereka tumbuh tanpa sentuhan ibu kandung yang sangat buruk sepertiku.Sembari mengge
Read more
30. Panti Asuhan II
"Haura, Hanum. Di sini kalian akan bahagia. Lihatlah, itu teman-teman kalian nantinya." Kutundukkan netra menatap kedua bayiku yang terlelap."Di sini, kalian gak akan kena bentakan Bunda lagi. Bunda juga gak akan marah-marah terus sama kalian.""Maafkan Bunda, ya. Ini adalah bukti cinta kasih Bunda pada kalian. Di sini, kalian akan mendapat kasih sayang yang begitu besar."Benarkah perkataan yang kuucap barusan? Adakah kasih sayang yang lebih agung selain dari ibu dan ayah kandung sendiri? Entah mengapa, sesuatu mengalir dari mataku. Tiba-tiba saja hatiku memberontak. Tapi, ini solusi terbaik. Jika terus bersamaku, bukan aku saja yang akan menderita tetapi Haura dan Hanum akan tumbuh menjadi anak yang penuh tekanan.Kueratkan dekapan Haura dan Hanum. Sebagai perpisahan terakhir untuknya. Suatu saat, aku akan sering ke sini untuk melihat mereka.Akhirnya, kutegarkan jiwa untuk melepas kedua malaikat kecilku ke dalam pangkuan orang lain. D
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status