"Jangankan kamu, Mas. Aku pun kehilangan diriku yang dulu. Itu semua semenjak jadi ibu. Aku sadar, ini semua akan terjadi pada setiap wanita. Tapi, lihatlah suami orang lain, Mas. Mereka siap siaga membantu istrinya mengurus rumah, atau minimal menjaga bayi saat malam tiba. Jika menurut kamu itu hal sepele, kalau gitu kita gantian saja. Biar aku yabg kerja dan kamu urus mereka," paparki panjang lebar. Aku tak bisa menahan ini terus-menerus. Sebelum aku menjadi gila, lebih baik kuutarakan saja.
"Berhenti membandingkan kehidupan sendiri dengan kehidupan orang lain, Zara. Apalagi perihal suami. Aku itu bekerja. Butuh istirahat saat malam. Kalau di rumah aku capek, bisa-bisa kerjaanku kacau. Soal merawat bayi, wajar, dong, kalau kamu habiskan waktu dengan merawat bayi. Kamu itu ibunya.""Dan kamu ayahnya. Wajar bila berbagi waktu bersama anak-anakmu. Saat libur pun, apa yang kamu lakukan? Memilih berkumpul bersama teman, kan? Ingat kemarin malam ngapain? Kamu malah noSudah kuduga, saat menghadapi masalah seperti ini Mas Haidar pasti angkat kaki dari rumah. Tak peduli langit sudah gelap, bahkan gerimis mulai menghujam tanah. Sedari tadi, air mataku enggan berhenti mengalir. Ada kepedihan yang teramat besar, tak berdarah dan tak kasat mata. Berkali, kucoba hubungi nomor Mas Haidar. Ia tak kunjung mengangkat. Malahan, kini nomornya tidak aktif.Aku semakin yakin bahwa aku salah memilih suami. Harusnya, dulu kuperjuangkan Bama. Bukan menerima Mas Haidar yang datang dengan segenap harta yang ia punya pada Mama. Lintasan masa lalu itu hadir lagi. Berdosakah aku jika merindukan dia yang ternyata bukan jodoh? Di saat kondisi terpuruk seperti ini, suami sendiri malah tak peduli.Permintaanku untuk diantar pulang ke rumah orangtua tak digubris sama sekali."Sampai kapan mau mengeluh, Zara? Mandirilah. Coba perluas sabar dan ikhlas. Dengan pulang tanpa sebab seperti ini, martabatku sebagai suami akan sangat buruk. Kamu
Saat pulang bekerja petang, Mas Haidar akan fokus pada ponselnya. Malah, akhir-akhir ini dia sering pulang malam. Alasannya lembur, buat tambah-tambah pemasukan karena pengeluaran kian membengkak. Lelaki itu sering tertidur di ruang tengah, terpisah denganku dan anak-anak. Entah enggan terganggu dengan tangisan mereka atau malas bertemu denganku, yang akan berujung debat.Aku merasa pernikahanku semakin tak berarti. Tak ada makna keluarga di dalamnya. Mas Haidar mungkin bisa dikatakan bertanggungjawab soal materi, tetapi kalau dia terus bersikap dingin dan cuek pada keluarga, mana nafkah batin yang harusnya didapatkan?Saat Mas Haidar pulang larut, aku tak pernah bertanya lagi dia darimana. Bangun pagi, ia urus diri sendiri lalu berangkat ke kantor lagi. Sesekali menyapa Haura dan Hanum saat aku tertidur atau di kamar mandi.Di lain hari, kuhubungi Mama. Kurasa, aku sudah tak mampu menjalani semua ini sendirian. Kukatakan, Mas Haidar sangat sibuk di kantor
PoV Haidar (Baca bagian ini sebagai Haidar)Memiliki anak adalah dambaan setiap orang yang sudah menikah. Bersatu dengan Zara, adalah pilihanku. Sewaktu remaja, aku sudah menggilai wanita itu. Perempuan salehah-menurutku-yang istiqamah dalam menutup hijab dan menjaga diri. Perangainya yang ramah dan lemah lembut, menjadikanku semakin bergelora padanya.Masa penjajakan kami hanya berlangsung tiga bulan saja. Sebelum mendatangi Zara, orangtuanya sudah kukunjungi terlebih dahulu untuk meminta restu. Datang rombongan dengan keluarga besar, membawa satu ekor sapi dalam acara khitbah kami, keluarga Zara sangat menerima baik kedatanganku.Singkat cerita, Zara terpaksa memupus harapannya untuk menikah dengan Bama-teman satu kerjanya-untuk memilih hidup denganku.Selang tiga bulan, Zara langsung mendapat kepercayaan Tuhan dengan dititipkan dua janin dalam rahimnya. Tentu saja, kami sangat bahagia. Di bagian bumi sana, saat seseorang mati-matian melaksanaka
Hal yang tak semua wanita dapat mengalaminya. Tetapi, kenapa Zara sering bergumam demikian? Apa benar yang pernah Ibu katakan padaku, bahwa Zara belum siap menjadi ibu.Suatu sore, aku pulang ke rumah dengan membawa gajiku untuk Zara. Sungguh lelah sekali karena ada beberapa kejadian tak terduga di kantor. Hal itu membuatku ingin cepat merebahkan tubuh di atas kasur.Ingin melupakan pekerjaanku yang menumpuk, karena dipercaya untuk mengemban banyak tugas oleh atasan. Itu semua, karena aku sangat loyalitas dalam bekerja. Tak pernah perhitungan dengan waktu ataupun menolak saat mendapat tugas baru.Teringat pepatah ibu yang tak pernah hilang dari ingatan bahwa harga diri lelaki itu adalah saat dia bekerja dan menafkahi keluarganya dengan baik. Kuterapkan nasihat itu dengan selalu memberikan lebih dari setengah gajiku untuk Zara. Sebagian dipakai kredit rumah dan kebutuhan bensin serta rokok. Zara pun tak pernah berkata kurang, dia sangat leluasa menerim
PoV ZaraAku sudah tak tahan menjani semuanya sendirian. Kurasa, Mas Haidar sudah tak peduli lagi terhadap kebahagiaanku. Kuputuskan sore ini untuk menitipkan Haura dan Hanum ke panti asuhan agar kelak, seseorang mau mengadopsi mereka. Seseorang yang datang ke panti dengan kesiapan menjadi ibu yang sebenarnya. Bukan sepertiku, menangis seharian merasakan penderitaan.Ya, harapanku, setidaknya mereka akan mendapat kehidupan yang lebih menyenangkan dengan banyak teman. Kasih sayang seorang pengasuh dan pengurus panti. Itu yang kulihat dalam film dan sinetron televisi. Anak panti selalu banyak yang menyayangi.Haura dan Hanum tak pantas mendapatkan ibu sepertiku. Yang bisanya hanya marah dan menangis ketika mereka menjerit dan mencuri seluruh waktuku. Jika memang benar aku tipis iman, biarkan Haura dan Hanum dididik oleh orang lain yang jelas imannya lebih baik. Biar mereka tumbuh tanpa sentuhan ibu kandung yang sangat buruk sepertiku.Sembari mengge
"Haura, Hanum. Di sini kalian akan bahagia. Lihatlah, itu teman-teman kalian nantinya." Kutundukkan netra menatap kedua bayiku yang terlelap."Di sini, kalian gak akan kena bentakan Bunda lagi. Bunda juga gak akan marah-marah terus sama kalian.""Maafkan Bunda, ya. Ini adalah bukti cinta kasih Bunda pada kalian. Di sini, kalian akan mendapat kasih sayang yang begitu besar."Benarkah perkataan yang kuucap barusan? Adakah kasih sayang yang lebih agung selain dari ibu dan ayah kandung sendiri? Entah mengapa, sesuatu mengalir dari mataku. Tiba-tiba saja hatiku memberontak. Tapi, ini solusi terbaik. Jika terus bersamaku, bukan aku saja yang akan menderita tetapi Haura dan Hanum akan tumbuh menjadi anak yang penuh tekanan.Kueratkan dekapan Haura dan Hanum. Sebagai perpisahan terakhir untuknya. Suatu saat, aku akan sering ke sini untuk melihat mereka.Akhirnya, kutegarkan jiwa untuk melepas kedua malaikat kecilku ke dalam pangkuan orang lain. D
Aku sudah memutuskan untuk pulang saja ke rumah. Jika memilih kabur, tentu akan disalahkan dan Mas Haidar akan curiga bahwa aku membuang kedua bayiku. Biar kuhadapi semuanya dengan kebohongan yang akan kulakukan.Maaf, Mas Haidar. Aku melakukan semua ini demi bayi kita. Aku tak mau mereka dirawat oleh ibu yang buruk sepertiku. Aku juga ingin bahagia kembali, tak tersiksa dan terikat oleh kehadiran mereka. Seolah dua puluh empat jamku hanya untuk meredakan tangisnya, mengganti celananya yang basah dan membersihkan tubuh mereka.Langit mulai kelabu. Bukan karena matahari mulai turun ke peraduan dan warna oranye muncul di singgasana semesta. Melainkan, gumpalan awan tebal datang dari arah timur. Membawa rintik hujan yang perlahan mulai membesar.Pendar cahaya lampu jalan menerangi tempat dudukku. Aku terjebak di teras toko orang, di bawah kemelut kepedihan langit yang mungkin murka atas perlakuanku pada Haura dan Hanum. Aku sangat menyadari hal itu. Biarkan s
"Mbak, jangan bilang...""Tio, jangan bilang sesuatu sama Mas Haidar. Aku mohon," pintaku memelas tiba-tiba. Kedua tangan kutelungkupkan depan dada. Dengan mata terpejam dan wajah mengiba, padahal Tio belum tahu detail apa yang terjadi.Lelaki itu terdiam. Mencerna setiap kalimat yang terlontar dari mulutku. Entah paham atau tidak dengan maksudku. Tiba-tiba, takut dan panik menyerang di waktu bersamaan."Mbak, aku diminta Haidar untuk membantu mencari keberadaan istri dan anaknya yang menghilang. Aku tak mungkin berbohong pada sahabatku," sahutnya, sedikit berteriak karena irama hujan semakin keras. "Dia sangat cemas. Bahkan, meminta tolong seluruh temannya untuk mencarimu, Mbak. Dengan sebuah kebetulan, aku bertemu dengan seseorang yang Haidar cari di tempat ini. Apa iya aku harus berkata tidak benar padanya?"Kini, di depan Tio tangisku membuncah. Tak peduli wajahku sudah tak berbentuk karena sembap dan berjejak air mata, aku tak sanggup lagi. S