BABY BLUES

BABY BLUES

Oleh:  Widia Dealova  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
1 Peringkat
44Bab
1.0KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Mereka bilang aku belum pantas menjadi seorang ibu. Bahkan, ada yang berkesimpulan aku tak menyayangi sepasang anak kembarku. Sungguh, saat seperti ini aku tak butuh sedikitpun cacian dari mereka. Bukannya mendukung, malah menambah beban pikiran. Tubuhku yang kumal, tak terurus dan mental yang terganggu. Apa itu tak cukup sebagai bukti bahwa aku sedang tidak baik-baik saja? Sungguh, aku butuh dukungan, bukan cacian. Bahkan Mas Haidar-suamiku yang gila kerja-ia sudah mulai cuek dan enggan peduli. Menganggap bahwa..aku tak sabaran dan kurang iman.

Lihat lebih banyak
BABY BLUES Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Widia Dealova
Ceritanya luar biasa. Gak baca nyesel deh.. banyak pelajaran.
2023-06-13 21:15:56
0
44 Bab
1. Lebih Baik Jadi Janda
"Zara, ini Haura nangis. Kayaknya haus. Agak cepat di kamar mandinya, ya," teriak Ibu dari arah dapur.Aku yang tengah menunaikan hajat mendengkus kesal. Bagaimana tidak? Baru saja kususui Hanum, kini Haura sudah meraung-raung lagi. Tak bisakah aku sedikit mengistirahatkan tubuh? Satu atau dua jam saja. Bagaimana pun aku butuh waktu istirahat. Terlebih, puting sebelah kananku lecet karena belum keluar ASI sedikit pun."Zara, cepat, dong!" Sekali lagi, suara Ibu melengking mengetuk gendang telinga. Ingin rasanya kusumpal kedua telingaku agar tangisan kedua bayi itu tak terus menerorku.Haura dan Hanum, anak kembar yang baru saja kulahirkan tiga hari yang lalu. Tangisan mereka silih berganti memenuhi pendengaran. Mengganggu waktu tidurku di malam hari dan mengusik ketenanganku ketika siang. Bahkan saat aku di kamar mandi seperti ini, mereka masih saja mengganggu. Tapi, aku tak bisa kabur dari tanggung jawab ini. Menyadari, statusku saat ini sudah berubah menjadi seorang ibu."Zara! Nga
Baca selengkapnya
2. Bahagia Tanpa Mertua
Maafkan aku, Bu. Bukan maksud hati ini tidak menghargai nasihat Ibu. Tapi aku tak mau pikiranku tambah berat. Maka, kupilih saja menutup telinga untuk menghempaskan semua ocehanmu.Aku membatin sendiri. Terlihat Ibu bolak-balik ke dapur dan kamar mandi untuk menanak nasi. Ini pertama kalinya beliau mengerjakan hal itu di rumahku. Aku paham, yang dia khawatirkan bukanlah aku, tetapi kedua cucunya. Ibu kembali ke kamar setelah selesai menyambung colokan penanak nasi ke stopkontak. Ia duduk terlentang di atas kasur lantai, di samping si kecil Hanum. Meluruskan kakinya, yang mungkin mulai terasa pegal karena rematiknya kambuh. "Maaf, ya, Bu. Aku jadi merepotkan. Ibu kalau pegel, biar aku panggil tukang pijit aja." Aku mulai melepas earphone yang sedari tadi bertaut di kedua telingaku.Musik kumatikan. Bersamaan dengan itu, akhirnya Haura melepas rekatan bibirnya. Segera kuletakan tubuh mungil Haura berdampingan dengan saudara kembarnya. Bersyukur se
Baca selengkapnya
3. Jahitan Terlepas
Tiba-tiba saja perutku mulas kembali saat hendak membuka kemasan bakso. Akhirnya, tamu tak diundang itu datang lagi. Terpaksa, kuseret kakiku ke kamar mandi dengan malas. Kututup kegiatan di kamar mandi, sekalian membersihkan diri. Mumpung dua makhluk kecilku tertidur pulas.Selesai berganti baju, kulihat tumpukan popok di atas ember. Ya, ampun. Ternyata, pekerjaanku sungguh masih banyak. Sementara, kinerjaku saat ini benar-benar lelet. Kukira, semua ibu duamelahirkan akan merasakan hal sama denganku. Terlebih, hanya baru tiga hari proses lahiran itu.Nanti, akan kuminta Mas Haidar membelikan mesin cuci agar aku tak kesulitan. Saat ini, biarlah kukerjakan cucian dengan manual. Terpaksa, saat tubuhku audah bersih dan wangi, kucuci popok, bedongan dan baju si kembar, lalu dijemur di halaman belakang.Tiba saatnya, aku akan menikmati camilanku. Begitu bersemangat saat aku melangkahkan kaki kembali ke dalam rumah. Duduk terlentang di ruang tamu, aku memindahka
Baca selengkapnya
4. Menyesal Jadi Ibu
Samar terdengar suara langkah kaki bersahutan dengan langkah tergesa. Entah ini mimpi atau bukan, untuk membuka mata rasanya berat sekali. Saat sebuah jarum menusuk lenganku, akhirnya aku tersadar. Kuedarkan pandang menuju sekeliling.Dimana aku? Perlahan, kuingat kembali apa yang terjadi beberapa saat lalu. Kompor yang menyala. Api yang membara. Menciptakan kepulan asap mengudara di dapur. Lalu, Haura dan Hanum yang kuletakkan di atas kasur. Dimana mereka? Seorang bidan dan dua asistennya tengah sibuk menempelkan alat-alat ke tubuhku. Saat ingatanku telah pulih, refleks tubuhku berusaha untuk terangkat. Namun, sayangnya, rasa sakit di bekas jahitan itu merambat. Kepalaku seperti ditimpa batu besar dan dijatuhkan berkali-kali."Mbak Zara, tenang, ya. Kami akan obati luka jahitan bekas lahiran kemarin dengan mengulang proses menjahitnya. Sobeknya lumayan besar." Bu bidan mencoba menahanku yabg terus memaksa bangkit dari ranjang periksa.Setelah kurasakan sa
Baca selengkapnya
5. Katanya, Aku Kurang Iman
"Aku menyesal menjadi ibu, Mas."Pernyataanku membuat kepala Mas Haidar bertanduk. Raut tak suka ia tunjukkan saat aku mengeluh."Istighfar, Zara. Kalimat yang baru saja kamu ucapkan adalah kalimat yang banyak orang lain sesalkan. Ada banyak perempuan yang tak bisa melahirkan bayi dari rahimnya sendiri. Banyak sekali yang menginginkan sepertimu. Seharusnya, kamu lebih bersabar dan mempertebal iman. Bukan bicara ngawur seperti ini."Kupandangi langit lewat kaca jendela mobil. Begitulah. Kalau ada sesuatu yang kukeluhkan, Mas Haidar selalu cepat menyalahkanku. Tak pernah sekalipun ia menghibur hati. Di matanya, aku adalah perempuan berhati sempit dan tidak pandai bersyukur.Sementara, ia ingin aku menjadi wanita sempurna. Perempuan yang ikhlas menerima apapun, perempuan tanpa amarah layaknya peran protagonis di sinetron layar kaca. Tak melawan, tak bertindak. Hanya menangis dalam doa.Bukan, aku bukan wanita seperti itu. Layaknya manusia ya
Baca selengkapnya
6. Kembalikan Anakku
Kedua bayi kecilku tengah bermain saat azan maghrib berkumandang. Aku sengaja memanfaatkan waktu senggang untuk menghabiskan makanan tadi pagi yang kupesan. Siomay tahu ikan tenggiri yang sudah dingin dan sepotong bakso sisa pagi masih tersisa.Awet sekali bila menghabiskan makanan akhir-akhir ini. Lumayan juga, mengirit uang jajanku. Tak lupa, sayur bening daun katuk buatan ibu mertua kuhabiskan sampai tak bersisa. Sepiring nasi yang kupesan dari warteg tersaji bercampur sayur. Syukurku terpanjat kala bisa makan enak tanpa tergesa. Hal ini menjadi momen yang sangat sulit kucari setelah melahirkan. Setelah seluruh piring, mangkuk dan gelas kosong, aku menepikan semuanya ke sudut kamar. Biar saja kubersihkan besok.Dering gawaiku berbunyi, aku segera mengangkatnya. Salam terucap dari lisan Mas Haidar yang berbicara lewat sambungan telepon. Lekas, kujawab salam dengan berbisik agar tak menganggu tidur Haura dan Hanum."Zara, malam ini temen-temen k
Baca selengkapnya
7. Nobar Bola Ganggu Bayi I
"Maafkan Bunda, ya, Sayang. Bunda harusnya ikut temani kalian ke sana," lirih ucapanku berbisik di kedua telinga Haura dan Hanum yang berada dalam dekapan.Kedua bayiku masih tampak anteng dan bermain. Sesekali mereka memberikan upah pada kelelahanku. Segaris senyum di bibir mereka yang menenangkan. Segera kuganti pakaian bawah Haura saat menyadari lenganku basah. Hanum diletakkan di sebelahnya.Saat mereka asyik bermain seperti ini, aku merasa menjadi manusia normal. Layaknya seorang ibu yang melimpahkan cinta untuk anaknya. Kuasuh dan belai penuh cinta. Teringat kejadian tadi pagi, saat kumarahi mereka karena terus menangis tanpa henti. Menambah lelah dan pikiran sehingga penuh beban.Sesal di hati terbit. Harusnya, aku lebih sabar. Tak murka hilang kendali. Terlebih, sempat enggan me nyu sui dan mencubit makhluk tak berdosa itu."Maafkan, Bunda, ya, Haura dan Hanum. Bunda tahu, Bunda bukan orang tua yang baik. Tapi, Bunda akan berusaha lebih ba
Baca selengkapnya
8. Nobar Bola Mengganggu Bayi II
Lebih dari setengah jam mereka menempel di tubuhku, rasanya kelopak mataku mulai berat. Dapat kurasakan mereka masih menyedot ASI yang keluar begitu deras. Berbeda dengan kemarin, seret dan sulit sekali keluar. Malam ini, bagai hujan yang menghujam tanah hingga banjir, kedua anakku akan tidur kekenyangan.Membayangkan mereka akan tidur lelap setelah ini dan aku akan melakukan hal sama. Aku menguap lebar, tanpa bisa kututup dengan telapak tangan. Kulirik jam yang menggantung di dinding.Pukul sebelas.Akhirnya, sesuai harapan, kedua anakku tidur lelap dan melepaskan lekatan bibir mereka dari tubuhku. Kuletakkan satu-persatu perlahan. Menahan luka jahitan yang akan terasa perih jika bergerak agak jongkok, saat meletakkan bayi.Kurentangkan kaki sembari meregangkan seluruh otot yang mengeras. Pegal sekali! Andai saja punya robot pemijit tubuh, aku akan menjadi orang pertama yang membeli.Saat kelopak mata mulai menutup dan kesadaran hendak b
Baca selengkapnya
9. Semakin Luka
Penawaran Mas Haidar seperti basa-basi saja. Saat ia bertanya butuh bantuan atau tidak, tubuhnya mematung di ambang pintu. Sedikitpun tak mendekat.Menahan sesuatu yang tercekat di tenggorokan, sekuat mungkin aku berusaha menjawab. "Gak perlu. Bola lebih penting daripada Haura dan Hanum," sahutku ketus.Mas Haidar mengangkat sebelah alisnya. Memandangku bingung."Kenapa jawabnya gitu, Zara? Apa aku gak boleh menghibur diri dari jenuhnya pekerjaan?"Kali ini, Mas Haidar malah berbalik menyerang. Andai dia tahu, setelah Hanum dan Haura lahir, tak ada waktu untukku mengusir jenuh. Berbeda dengan Mas Haidar yang masih bebas dengan aktivitas menyenangkan diri sendiri. Bergaul dengan kawan-kawan tanpa peduli bagaimana keadaan rumah, istri dan anaknya.Mas Haidar tak pernah kehilangan dunianya. Berbeda jauh dengan kehidupanku yang berubah seratus delapan puluh derajat."Silakan aja kalau mau pergi. Aku sudah biasa ditinggal." Berpura-pu
Baca selengkapnya
10. Semakin Luka II
Perih di bekas luka jahit tiba-tiba menggerogoti kulit. Semakin pecah tangisanku, luka itu semakin menggigit. "Aaarrrghhhh!"Badanku luruh di lantai saat itu juga. Punggungku yang lemas bersandar pada pintu. Berkali, kuketuk keras pintu oleh kepala bagian belakang. Biar saja mati saat ini juga, ketimbang harus mereguk sendiri derita.Semakin kencang gamparan kepalaku di pintu. Tiba-tiba kepalaku mulai berputar. Ya Allah.. apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus membunuh kedua bayiku untuk mengakhiri derita ini?Ayah, Ibu. Cepatlah datang ke sini. Aku butuh kalian. Aku membatin dalam isakan yang terus berkumandang. Haura dan Hanum tak jua berhenti menangis.Habis tenaga, rasanya aku pasrah. Kuletakkan Haura dan Hanum di lantai. Tak peduli dingin dan angin yang menyelinap dari celah pintu. Mereka terus meraung entah mau apa.Kupejamkan mata. Merenungi kehidupan yang terasa menyiksa. Salah apa aku, Tuhan? Sehingga Engkau menghuku
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status