Lahat ng Kabanata ng BABY BLUES: Kabanata 31 - Kabanata 40
44 Kabanata
31. Terciduk!
Aku sudah memutuskan untuk pulang saja ke rumah. Jika memilih kabur, tentu akan disalahkan dan Mas Haidar akan curiga bahwa aku membuang kedua bayiku. Biar kuhadapi semuanya dengan kebohongan yang akan kulakukan.Maaf, Mas Haidar. Aku melakukan semua ini demi bayi kita. Aku tak mau mereka dirawat oleh ibu yang buruk sepertiku. Aku juga ingin bahagia kembali, tak tersiksa dan terikat oleh kehadiran mereka. Seolah dua puluh empat jamku hanya untuk meredakan tangisnya, mengganti celananya yang basah dan membersihkan tubuh mereka.Langit mulai kelabu. Bukan karena matahari mulai turun ke peraduan dan warna oranye muncul di singgasana semesta. Melainkan, gumpalan awan tebal datang dari arah timur. Membawa rintik hujan yang perlahan mulai membesar.Pendar cahaya lampu jalan menerangi tempat dudukku. Aku terjebak di teras toko orang, di bawah kemelut kepedihan langit yang mungkin murka atas perlakuanku pada Haura dan Hanum. Aku sangat menyadari hal itu. Biarkan s
Magbasa pa
32. Terciduk II
"Mbak, jangan bilang...""Tio, jangan bilang sesuatu sama Mas Haidar. Aku mohon," pintaku memelas tiba-tiba. Kedua tangan kutelungkupkan depan dada. Dengan mata terpejam dan wajah mengiba, padahal Tio belum tahu detail apa yang terjadi.Lelaki itu terdiam. Mencerna setiap kalimat yang terlontar dari mulutku. Entah paham atau tidak dengan maksudku. Tiba-tiba, takut dan panik menyerang di waktu bersamaan."Mbak, aku diminta Haidar untuk membantu mencari keberadaan istri dan anaknya yang menghilang. Aku tak mungkin berbohong pada sahabatku," sahutnya, sedikit berteriak karena irama hujan semakin keras. "Dia sangat cemas. Bahkan, meminta tolong seluruh temannya untuk mencarimu, Mbak. Dengan sebuah kebetulan, aku bertemu dengan seseorang yang Haidar cari di tempat ini. Apa iya aku harus berkata tidak benar padanya?"Kini, di depan Tio tangisku membuncah. Tak peduli wajahku sudah tak berbentuk karena sembap dan berjejak air mata, aku tak sanggup lagi. S
Magbasa pa
33. Membuang Bayi I
"A-a-aku, membuang mereka, Mas," balasku akhirnya, lirih dengan napas tertahan.Spontan, Mas Haidar melepaskan dekapannya. Ia menatap dalam kedua netraku yang basah. Jika saja punggungku tak merapat pada dinding, pasti aku telah terhempas ke tanah."Apa yang kamu katakan, Zara?"Lagi, isak tangis yang menjadi jawabannya. Aku tak mampu mengungkapkan lagi hal itu."Katakan sekali lagi, Zara. Katakan!" Barangkali Mas Haidar salah dengar, ia menggoyangkan bahuku lagi."Iya. Aku membuang anak kita." Pelan sekali kujawab. Aku takut jika Mas Haidar hilang kendali, lalu terjadi melakukan hal buruk padaku.Lelaki bertubuh jangkung itu menjauh. Mengikis jarak di antara kami. Kepalanya menggeleng-geleng tanda tak percaya. Kekecewaan terpatri pada tatapannya. Kemudian, ia memandangku tajam. Bak sebilah pedang ditancapkan di kedua bola mataku, aku melihat gejolak api berkobar di mata Mas Haidar."Kamu gila, Zara! Dimana bayiku sekara
Magbasa pa
34. Membuang Bayi II
Di sebuah gazebo yang sekelilingnya dihiasi pot tanaman hias, aku tertunduk lesu tanpa mau memandang setiap mata orang yang ada di sini. Aku tak tahu perasaan apa yang kini hinggap di hatiku. Malu, kecewa, sakit, marah.Mendengarkan mereka berbincang ngalor-ngidul, aku tak tertarik untuk masuk sebagai tokoh bicara di dalamnya. Aku hanya bersandar sembari merasakan embus angin malam yang dingin. Meski diam, hatiku bertanya, dimanakah Haura dan Hanum? Apa mereka telah menemukannya? Kenapa sedari tadi tak ada topik tentang mereka?Setengah jam berlalu, kuisi hanya dengan melamun hingga akhirnya ibu bergamis lebar tadi membuka bahasan tentang Haura dan Hanum setelah seseorang yang datang dari dalam bangunan besar itu berbisik di telinganya. Perempuan yang menyampaikan berita yang entah apa isinya kembali ke dalam. "Kedua bayi kembar tadi sudah tidur. Mau nginap di sini?" Netranya menatap lembut mataku yang sembap.Mas Haidar menyambar pertanyaan itu
Magbasa pa
35. Aku Membuangnya..
PoV HaidarAku bergeming melihat Zara yang sudah awut-awutan sekali penampilannya. Mendengar ia berkata ingin bercerai, emosiku luluh seketika. Apa selama ini ia menderita selama menjalani pernikahan denganku? Tapi, kenapa? Dia tak pernah kekurangan. Seluruh kebutuhan rumah dan pribadinya aku selalu mencukupi. Make up yang ia inginkan selalu tersedia di meja rias. Meski akhir-akhir ini jarang sekali ia pakai. Entah karena malas atau sudah tak berniat lagi denganku. Perutnya selalu kenyang, bahkan setelah menikah jarang sekali memasak. Tinggal klik, sat set sat set, datanglah abang kurir mengantatkan pesanan.Soal dia merasa tak mampu menjalani semuanya, aku selalu berpikir. Apa yang tak mampu ia jalani? Menjadi ibu? Bukankah itu fitrahnya seorang perempuan? Hamil sembilan bulan, melahirkan dan merawat sampai anak-anaknya tumbuh dewasa.Saat Zara berkata bahwa ia merasa salah pilih suami, menyesal menikah dan punya anak, jangan sangka aku tak punya pikiran
Magbasa pa
36. Aku Membuangnya II
"Mas.."Aku tersenyum, meski dalam hati prihatin melihat ia begitu tak terurus."Haura dan Hanum. Aku telah membuangnya." Belum apa-apa, ia sudah menangis lagi."Hari ini kita jemput mereka, ya. Pasti mereka kangen sama bundanya," hiburku, berharap Zara bisa menjalani peran sebagai seorang ibu seperti yang lainnya.Tiba-tiba, kepalanya tertunduk. Seperti tengah memikirkan banyak hal yang berat. Detik berikutnya, ia berbicara sembari terus melirik selimutnya yang telah basah disiram embun yang mengalir dari matanya."Aku takut dan aku gak akan sanggup."Entah harus bagaimana aku menanggapi perkataan Zara. Semua ibu pasti akan merasakan kerepotan merawat bayi. Kenapa aku tak melihat ketulusan seorang ibu terpancar darinya?Aku menghela napas. Di tengah kebuntuan seperti ini untungnya Ibu datang. Suara salam terdengar membuat Zara mengubah posisi duduknya. Ada kekhawatiran tergambar pada raut wajah yang kusut itu.
Magbasa pa
37. Tidak Bahagia
PoV PembacaSejenak, dua orang yang saling berhadapan di ambang pintu itu bergeming. Haidar sempat tak berkedip melihat perempuan yang bernama Hanin itu adalah teman dekatnya semasa SMA dulu. Sempat dekat dan saling suka, tetapi pada saat itu mereka tak mampu saling mengungkap rasa. Namanya anak muda yang belum pernah pacaran, tentu mereka canggung dan fokus belajar saja.Beberapa detik berikutnya, Hanin mempersilakan mereka masuk dengan ramah. Memanggil seorang pelayannya ke belakang, lalu sang pelayan membawakan tiga gelas teh hangat dan camilan ringan."Kukira, yang di pesan itu bukan kamu, Haidar," celetuk Hanin membuat Zara menengadah.Haidar tampak salah tingkah. Tentu, ia tak mau membuat Zara salah paham."Hanin, suami kamu mana?""Suami?" Hanin berkerut kening. Beberapa kali Haidar mengedipkan matanya pada Hanin, memberi kode untuk dia mengerti.Tentu saja perempuan itu paham dan enggan untuk berbohong. Ia mengal
Magbasa pa
38. Tidak Bahagia II
"Kata orang lain menjadi ibu itu bahagia. Itu kata orang lain," ungkap Zara kemudian. Sesungguhnya, ia sangat ingin meluapkan apa yang kini dirasakan hatinya. Namun, Zara menahan diri untuk tak terlalu terbuka pada perempuan yang baru saja ditemuinya. Barangkali, di luar ia adalah bagian dari ibu-ibu gosip. "Apa Mbak Zara gak termasuk bagian orang lain itu?" Hanin mulai masuk ke dalam topik utama. Tentu, harus sangat berhati-hati."Bisa ya, bisa tidak." Jawaban yang ambigu.Namun, dengan status dan gelarnya sebagai psikolog, tentu Hanin sudah tahu jawaban yang disembunyikan Zara. Ia hanya ingin Zara bercerita seluruh hal padanya agar ibu baru itu merasa lega karena menumpahkan kesahnya. Menurut Hanin, sekuat apapun seorang wanita akan selalu ada masa dimana ia membutuhkan sandaran dan tempat bercerita. Sebab, manusia tetaplah manusia yang saling membutuhkan telinga orang lain untuk didengarkan.Sebenarnya, kasus Zara bukanlah kasus langka baginya
Magbasa pa
39. Katanya, Aku Ketempelan Jin
PoV Zara"Ngapain Mas bawa aku ke sini?" Aku protes saat memasuki pekarangan rumah Ustad Samsul, ustadz yang terkenal dengan berbagai macam pengobatan, terlebih orang yang sakit karena bersangkut-paut dengan ilmu gaib."Ketemu teman lagi? Sejak kapan Mas berteman dengan Ustadz Samsul?" "Zara, kamu itu harus diobati. Ibu jelaskan, ya. Kamu itu ketempelan makhluk gaib. Makanya, kemarin sampai tega membuang cucu Ibu, Haura dan Hanum, anak kandung kamu sendiri," sahut Ibu, menyambar pertanyaan yang semula kutujukan untuk Mas Haidar.Aku tahu, perempuan yang bernama Hanin tadi bukanlah istri dari teman Mas Haidar. Dia seorang psikolog. Aku hanya diam saja tatkala Mas Haidar dan Ibu meninggalkan kami untuk mengobrol empat mata. Lagipula, aku memang butuh teman bercerita. Jadi, tak ada salahnya jika aku mengungkapkan pada psikolog itu, bukan? Kurasa, dia tak akan menghakimiku seperti ibu atau para tetangga. Sayangnya, Mas Haidar dan Ibu mengir
Magbasa pa
40. Katanya, Aku Ketempelan Jin II
Mereka ini ada-ada saja. Kenapa kelakuanku dikait-kaitkan dengan hal mistis?Seandainya dibandingkan, aku lebih memilih mendatangi psikolog tadi ketimbang Ustadz Samsul. Hanin, sesama perempuan enak untuk diajak bicara. Setidaknya, ada telinga yang bersedia mendengar keluh kesahku. Tidak seperti Mas Haidar, telinga saja ia tutup kala aku berkeluh. Selalu ada senjata untuk menghentikan kesahku, yaitu kalimat 'aku kurang iman dan kurang sabar.'Akhirnya, kami pulang kembali ke rumah tepat setelah adzan zuhur masjid terdekat usai dikumandangkan. "Tadinya Ibu mau nginap di sini, tapi Ibu gak bisa ninggalin kegiatan desa, Haidar. Sebagai ketua ibu-ibu PKK, Ibulah yang bertanggungjawab."Terdengar perbincangan Mas Haidar dan Ibu di ruang tamu saat aku berbaring di atas kasur tengah menyusui Haura dan Hanum secara bersamaan."Bagaimana kalau Zara tinggal di rumah Ibu dulu, Haidar? Selain Zara akan terbantu, Ibu bisa memantau kedua cucu Ibu. Set
Magbasa pa
PREV
12345
DMCA.com Protection Status