All Chapters of Berpura-pura Miskin Demi Anak-Anakku: Chapter 31 - Chapter 38
38 Chapters
Saling Mengenal
Kunjungan kak Lena ke rumah ibu mertuaku pun baru saja tiba. Aku dan kedua anakku memasuki rumah setelah keadaan di sini sudah lebih sepi. Rafasya kembali untuk bekerja karena tak mungkin dibiarkan ibunya begitu saja.Kak Lena ikut membantu keperluan ibu mertuaku di ruang tengah, mengambil segelas air putih, hingga menemaninya sejenak.Ibu mertuaku yang masih terlihat lemah tak berdaya. Duduk dengan kepala yang tersandar ke bidang sofa berukuran satu orang. Dua tangannya diletakkan di atas lengan sofa. “Bibi udah lebih baik?” Kak Lena pun mulai bertanya. “Fathan, jangan bikin adek nangis.” “Iya, Ma.” Fathan menyahut tanpa adanya kegaduhan.Aku meminta Fathan saat suara Elvina mulai berteriak keras. Seperti biasa, mereka selalu berebutan dalam masalah bermain. Di rumah ibu mertua memiliki beberapa permainan, sengaja beliau menyiapkan mainan untuk mereka menikmati kebersamaanya di sini.Sepeda kecil dalam rumah, mobil-mobilan, hingga alat
Read more
Hati Hasad
Kiranya seperti itulah hubunganku dengan si pengasuh Elvina dalam perjalanan hidupku. Kami adalah tetangga dekat yang tidak pernah berkumpul dalam satu waktu penuh. Jarang sekali bertemu jika bukan hal penting untuk diutarakan.Pertemuan kami sempat menyatu akrab ketika ada situasi mendesak, salah satunya ketika ibu mertuaku sedang jatuh sakit.Kak Lena memang ibu yang bijak tanpa harus menceritakan aib seseorang ke orang lain. Dia juga sudah kuanggap seperti saudara sendiri. Kedewasaannya mengajarkan satu pelajaran, yakni berpikir sebelum bicara.Sama persis dengannya ketika hendak mengungkap isi pikiran. Dia hanya berkata sepenting yang dia bisa. Lalu diam jika semua sudah tidak berfaedah lagi.Beberapa hari kemudian, ibu mertuaku sudah sembuh total. Aktivitas kami pun kembali seperti sedia kala. Abbas pergi dan pulang dari pasar dengan wajah sangar. Adakalanya wajahnya berseri seperti orang menemukan uang satu miliar. “Kenapa, Bang?”Aku menyambutnya seakan
Read more
Ada yang Berpura-pura Miskin
Sepertinya hubungan baik dalam keluargaku mulai rukun. Namun, tentu saja aku tak boleh memperlihatkan wajah ceriaku yang berlebihan. Takut jika aku melakukan kesalahan. Terutama kepada ibu mertuaku, yang dimana nanti dia tiba-tiba berubah drastis. Marah besar.Dalam keseharian ini, aku berjumpa dengan banyak orang di sekolah, maupun dengan tetangga. Ada waktunya aku menetap pada satu kerukunan antar tetangga. Duduk bersama mereka yang selalu melontar ghibah. “Eh, kalian kenal sama Maina nggak?” Salah satu ibu mulai menggerakkan tangannya. Ya, si pemilik toko depan memulai gosip baru, ketika beberapa ibu-ibu lainnya sedang asyik berbicara ceria.Dalam sesaat suasana wajah mereka hening. Tak hanya mereka, tetapi juga diriku. Menoleh karena begitu penasaran. “Maina, siapa?” Lena—pengasuh Elvina tanggap.Kali ini perkumpulan kami hanya orang-orang pilihan. Ada tiga ibu lainnya yang masih sebaya denganku. “Itu tetangga lama kita, katanya sih
Read more
Kakak-Beradik
Gosip, itu yang biasa dilakukan oleh para ibu-ibu di kampung—tempat aku bermukim. Setidaknya, aku hanya bisa mendengar setiap ocehan mereka, tidak menanggapi terlalu mengerikan. Kelak, aku pasti akan menjadi sorotan bahwa diriku termasuk anggota kampung yang sok.Bagaimana mungkin? Aku masih termasuk orang baru tinggal di sini. Terhitung sejak usia pernikahan kami yang sudah menginjak 10 tahun lebih. Bahkan Fathan pun sudah sembilan tahun bersama kami.Sulit dipercaya kalau aku bukan yang pertama kalinya bergabung dengan mereka mendengar gosip terhangat. “Nongkrong mulu! Kerjaan suami masih banyak, istrinya kelayapan.” Keluhan pertama Abbas ketika aku belum sempat menginjakkan kaki ke halaman rumah.Elvina masih dalam gandenganku, tak lama kemudian, Fathan menyusul dari arah berbeda—dan dia pasti baru pulang dari rumah neneknya. “Mama!” teriaknya dengan kencang. “Jarang-jarang, Bang, lagian kerjaan saya udah beres kok di rumah.”
Read more
Tentang Ibu Maina
Dari sore hingga ke malam. Setelah mandi dan menjalankan kewajiban ibadah. Malam menyongsong indah dengan menampilkan suasana dingin di depan rumah. Sinar putih bersinar malu-malu menerobos ke pepohonan.Bulan terang, alias bulan purnama di malam hari. Sampai saat ini, kami tak pernah mendiami rumah dengan keharmonisan. Suamiku bukan orang yang romantis. Memberinya kejutan di hari ulang tahun pun tak diinginkannya. Jangan mau berharap sesuatu yang manis, dirinya bahkan tak pernah merayakannya. “Kenapa bengong lihatin bulan? Kerjaan masih numpuk nih!”Abbas mulai berteriak ringan, sekarung bawang sudah dimasukkan ke dalam gudang sebelah rumah. Buatannya yang menjadi andalan menyimpan barang dagangan. Tangan serta penglihatanku salah tingkah. Tadinya yang sempat mengintip warna bulan, akhirnya mengurungkan niat untuk berkhayal. “Udah selesai,” ucapku sambil memasukkan sebagian kol yang sudah dibersihkan ke dalam karung.Sayuran yang besoknya akan diba
Read more
Kantin Bu Melda
Kisah tentang bu Maina cukup mengesankan. Ternyata, setelah ditelusuri, ibu Maina memiliki ikatan kekeluargaan yang sudah jauh dari keluarga sang suami. Herannya, aku tidak pernah melihat mereka saling berkumpul atau setidaknya bertemu.Dari kejadian dan cerita para tetangga, hari ini aku paham betul, semuanya memiliki rahasia jitu. Sudahlah, hari ini akan fokus mengajar di kelas tercinta.Di sekolah dasar sudah menunggu kehadiranku, walau pada dasarnya, aku hanyalah pendidik honorer.Setelah mengajar setidaknya empat puluh lima menit di kelas, istirahat pun memanggil. “Hore, makan nasi liwet!” “Mana ada nasi liwet?”Beberapa dari mereka berombongan mulai bercakapan. Antar gadis—dan anak laki-laki. Mereka langsung keluar tanpa harus mengantre, bahkan ada yang saling mendorong. “Eh, hayo jangan saling dorong, ntar temennya kecedat pintu!” seruku mengkhawatirkan seisi ruangan kelas. “Oke, Bu.”Dasar jawaban anak zaman now. Mereka tak perna
Read more
Kedatangan Sang Paman
Ninda yang muda dan tidak banyak bicara. Sementara Elina berkebalikan dari Ninda, dia setara denganku, dan dia sangat aktif.Setelah mengisi perut di kantin, kami kembali disibukkan di ruang kelas masing-masing. Tampak guru lain yang sama sekali tidak menghiraukan hiruk pikuk di salah satu kelas. Tapi sudahlah, itu sudah menjadi urusan wali kelas di kelas tersebut.Beberapa jam berlalu mengajar murid di kelas, perasaan yang nyaris padam. Mata hampir lelah karena sekian menit per detik dilewati. “Sampai jumpa lagi, Bu Haira!”Teriakan anak manis dari kelas ini sangat ceria. Mereka menyenangi guru yang lemah lembut. Tentunya aku tidak begitu. Aku hanya berkamuflase, ah sebenarnya aku memang tidak ingin kasar-kasar terhadap anak kecil.Mereka butuh kasih sayang supaya pikiran serta hatinya tidak cedera.Dengan sepeda motor, aku pun menempuh perjalanan yang lumayan memakan waktu. Seperti biasanya, aku pun mendapati panggilan masuk dari ponsel di balik tas ransel sa
Read more
Tidak dengan Kekerasan
“Fathan, ini kenapa? Nenek kenapa marahin kamu?”Dengan nada paling lemah, garis keningku mulai mengeriput, kemudian ditundukkan ke arah Fathan yang tubuhnya belum setinggi diriku.Di sekujur tubuh Fathan mematung bisu. Nada irama ibu mertuaku belum juga menurun, tetapi Fathan sudah menunjukkan reaksi cemas. Dua tangannya saling menyatu, sedangkan pandangannya diarahkan ke lain tempat.Melihatnya cukup tak tega karena dia buah hatiku yang pertama. Dengan penuh perasaan, aku harus membujuk ibuku yang sedari tadi keluar sambil mengeluarkan kata-kata buruknya. “Ma, maafin Fathan kalo udah buat salah ke neneknya.” Aku sambil menarik lengan Fathan agar tidak jauh dariku.Mata nanar ibu mertuaku menyorot tajam. Lekukan urat nadinya menggeliat di sekitaran badan leher. “Apa?! Iya, kamu pasti mau bela dia kan? Punya anak jangan terlalu dimanjakan, lihat kelakuannya.”Tangan ibu mertuaku menunjuk ke dua sisi berbeda, belakang hingga ke depan kami. “Ambil sandal mau lemp
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status