Semua Bab Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu : Bab 41 - Bab 50
80 Bab
41. Bapak
."Tidak ada yang aneh, kenapa takut dibully?""Memang tidak ada," jawabnya enteng.Aku mencebik lalu meraih koper dan mulai menata baju di dalam lemari."Kamu istirahat, ya! Abang ada perlu sebentar. Nanti sore kita jalan-jalan keliling Surabaya." "Abang mau kemana?" "Ada urusan sebentar, bukankah Abang sudah bilang kalau Abang ke sini ada urusan.""Baiklah." Aku pasrah dengan perintahnya."Abang pergi dulu ya!" ucapnya seraya menghampiri dan mengecup keningku.Manis memang, tapi aku tidak bisa merasakan manisnya. Setelah dia keluar kamar aku berpikir keras bagaimana caranya aku bisa mengikutinya. Sedangkan aku baru pertama kalinya datang ke Surabaya.Terdengar suara mobil meninggalkan rumah, aku berlari ke balkon mengikuti dengan mata ini hingga mobil itu keluar dari pintu gerbang dan berbelok ke arah kanan.Tiba-tiba aku mendapat ide dan segera berlari ke luar kamar setelah sebelumnya menyambar tas di atas kasur."Bunda, apa bang Fyan berpamitan sama Bunda?" tanyaku ketika bertem
Baca selengkapnya
42. Tentang Bimo
"Kamu mau ke suatu tempat, Ra?" Akhirnya dia bersuara meski tanpa melihatku."Kok, nanya Ara?""Siapa tahu kamu ada keinginan atau impian kalau ke Surabaya mau berkunjung ke mana, gitu.""Nggak ada," jawabku singkat, padahal aku pernah penasaran dengan Taman Bungkul. Tapi kali ini aku sedang tidak ingin mengungkapkan isi hatiku."Nanti kalau sudah di Bandung kamu ngomel-ngomel, pengin ke sini pengin ke sana.""Ya kita tinggal pergi ke Surabaya lagi, beres 'kan?""Kalau keseringan ke Surabaya juga nggak ada waktu kan. Abang pikir mumpung kita di sini jadi apa yang sempat terpikir apa salahnya sekarang di wujudkan.""Sekarang juga kerjaan Abang lagi banyak di Bandung 'kan? Tapi Abang sempet-sempetin pergi ke sini," sindirku.Kulirik Bang Fyan mengalihkan pandangan ke arah samping sambil membuang napas panjang. Mobil berbelok dan berhenti di pinggir jalan. Tanpa diperintah lagi aku mengikuti ketika lelaki halalku itu turun dan berjalan.Taman Bungkul, begitu kubaca aksara yang terbuat da
Baca selengkapnya
43. Lelaki Kharismatik
"Kirain kalian nggak lapar," ledek Bunda sambil tersenyum jail ketika kami baru turun pagi ini. Aku membalas senyum Bunda malu-malu. Bagiamana tidak, ini pertama kalinya aku tidur di rumah mertuaku, bukannya bantuan masak, bangun saja kesiangan.Semua ini gara-gara perbuatan Bang Fyan yang semalam membobol benteng pertahananku setelah beberapa bulan kami menikah. Pagi harinya badanku serasa remuk. Hampir saja aku tak mau bangun kalau tidak ingat sedang berada di rumah Bunda."Maaf, Bun. Ara jadi malu di rumah mertua malah nggak bantuan bunda masak," ucapku merasa tidak enak hati."Gagal dong mau jadi menantu teladan." Bang Fyan terkekeh sambil menarik kursi."Nggak lah, Ara kan menantu idaman. Iya, kan, Bun?" Aku beralih menatap Bunda."Mana ada menantu idaman bangun kesiangan?" ledeknya lagi yang segera kuhadiahi cubitan."Sudah, sudah! Kalian ini sudah jadi suami istri masih saja seperti dulu! Tapi Bunda seneng banget liat kalian rukun seperti ini. Soal masak dan pekerjaan lain 'ka
Baca selengkapnya
44. Mutiara Kasih
Mobil berhenti di depan sebuah bangunan sederhana tapi terlihat rapi dan asri. Ada taman kecil dan berbagai sarana bermain anak-anak. Mirip sekolah TK. Tapi tidak ada papan namanya, aku mengedarkan pandangan."Alhamdulillah sampai. Ayo, turun!" Pria di sampingku berseru."Ah, iya." Aku terperanjat ketika Bang Fyan memintaku untuk turun."Ini panti asuhannya?" tanyaku sambil memandang sekitar."Iya, tempatnya sederhana tapi lumayanlah buat anak-anak berlindung." Bang Fyan berdiri memandang bangunan itu dengan kedua tangan berada di saku celananya.Ya Tuhan, kenapa sekarang setiap kali aku memandangnya dalam posisi apapun, dia selalu terlihat sempurna. Hatiku berdesir apalagi kalau bertaut pandang."Ayo, Mbak?" Suara Ajeng mengagetkanku. Dia sudah berada di sampingku sambil mendorong kursi roda Bimo."Ah, iya." Aku segera mengikuti mereka untuk memasuki pintu pagar. Beberapa langkah setelah kami masuk ke halaman panti, tiba-tiba beberapa anak keluar dari dalam panti setengah berlarian.
Baca selengkapnya
45. Prasangka
"Aku ingin menunjukkan sesuatu," ucap wanita yang usianya tidak jauh berbeda denganku itu. "Sesuatu?" Aku bertanya heran.Ajeng hanya tersenyum dan mengangguk, langkahnya seperti kesulitan karena perutnya yang sudah membesar.Aku jadi membayangkan kalau aku hamil nanti mungkin akan seperti Ajeng. Tapi dibalik itu pasti ada rasa senang karena sebentar lagi akan punya anak, buah cinta bersama suami.Tak terasa aku tersenyum sambil mengusap perutku."Mbak Ara kenapa? Apa sakit perut?" Pertanyaan Ajeng itu sukses membuatku gelagapan, pasalnya aku ketahuan sedang mengusap perut sendiri."Ah, enggak, aku cuma lagi ngebayangin kalau suatu saat perutku seperti perut kamu." Aku menunjuk perutnya malu-malu.Ajeng spontan memasang wajah lucu, ia menautkan alisnya sambil menahan senyum."Kenapa?" Aku ikut menautkan alis."Mudah-mudahan Mbak Ara juga cepet isi, ya.""Aamiin.""Soalnya Mas Fyan udah pengin banget punya anak, sepertinya," jawab Ajeng kemudian tertawa lepas.Kami berjalan berdamping
Baca selengkapnya
46. Memuji wanita lain.
"Mbak Ara mau minum apa?" Pertanyaan Ajeng membuat pandanganku beralih dari poto-poto itu kepada wanita yang kerap mengusap perut buncitnya itu."Tidak usah merepotkan, nanti saya ambil sendiri," tolakku halus."Enggak merepotkan, kok, Mbak. Sekalian aku juga pengin minum.""Terserah saja, deh." "Oke, Mbak Ara tunggu sebentar, ya."Setelah berkata demikian, Ajeng keluar dari ruangan ini. Sementara aku memilih duduk di sofa. Karena untuk melanjutkan melihat-lihat poto di dinding rasanya enggan.Tak lama Ajeng sudah kembali dengan dua buah gelas teh panas. Terlihat dari asapnya yang masih mengepul."Pria dan wanita yang datang itu siapa?" Karena tak tahan akhirnya aku bertanya pada Ajeng.Ajeng menyeruput teh miliknya, kemudian menaruh kembali gelas itu diatas meja. Ia nampak ragu dan menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab."Mereka Pak Rahman dan Bu Silvia. Setiap bulan datang ke sini untuk memberikan sumbangan." Ajeng menjelaskan."Pak Rahman itu, Bapaknya Silvia?" tanyaku ragu. M
Baca selengkapnya
47. Kopi Dingin
Rencana untuk tinggal satu hari lagi di Surabaya akhirnya batal. Dengan segala alasan dan rengekan akhirnya aku berhasil mengajak Bang Fyan pulang.Bunda sempat menahanku dengan alasan masih kangen. Tapi hatiku terlanjur kesal pada Bang Fyan."Bunda masih kangen, Ra. Kata Fyan kalian akan tinggal di sini satu hari lagi." Bunda merangkul pundakku sementara aku melirik priaku yang duduk tak jauh dari kami.Kedua alisnya terangkat dengan raut dingin. Sedetik kemudian tangannya terangkat dan jari-jarinya memijit pangkal hidungnya. "Maafkan Ara, Bun. Tapi Ara ada kerjaan mendadak. Insha Allah nanti kami rencanakan lagi, deh.""Iya, Sayang. Bunda ngerti. Lain kali kalian rencanakan lagi ke sini, ya. Kalian di sana yang akur, ya. Namanya orang berumah tangga itu pasti ada saja perbedaan pendapat. Kalau ada masalah segera diselesaikan, jangan dibiarkan berlarut-larut." Bunda memberikan nasehat yang terasa pas banget kena di hatiku. "Siap, Bun." Aku berusaha terlihat baik-baik saja di depan
Baca selengkapnya
48. Aku Beruntung
"Deuh ... yang habis honeymoon-an dari Surabaya sampai lupa bawa oleh-oleh buat kita." Maya menggerutu ketika aku memasuki toko pagi ini."Namanya juga honeymoon, Mbak. Pasti fokusnya sama yang ono bukan sama oleh-oleh," timpal Iren sambil membersihkan rak pajangan."Kalian ini ngomong apa, sih? Kemarin itu bukan honeymoon, tapi ...." jawabku sambil menaruh tas ke atas meja setengah dilempar."Ya, namanya pengantin baru terus jalan berdua tetap saja judulnya honeymoon," sahut Maya sambil tertawa disusul suara cekikikan Iren dan Rasti."Iya deh, terserah kalian. Asal kalian tahu selama aku ke Surabaya kemarin, aku tersiksa perasaan."Maya mendekat begitupun Iren. Hanya Rasti saja yang tidak ikut-ikutan, mungkin karena dia karyawan baru. Jadi belum begitu akrab dan masih ada rasa sungkan."Memangnya ada apa?" Jiwa kepo Maya langsung meronta.Aku menghela nafas panjang sebelum bersuara. Mengingat aku telah berburuk sangka pada Ajeng dan menyangka yang tidak-tidak pada Bimo."Ih ... Ara .
Baca selengkapnya
49. Ketika Flamboyan Berguguran
Pulang dari rumah Mama aku kembali ke toko. Maya dan anak-anak sudah sibuk mengepak barang untuk dikirim ke para pelanggan online-ku. Bicara soal pelanggan online-ku, aku jadi teringat Nindy."May, Nindy masih suka belanja ke sini, enggak?" Entah mengapa pertanyaan itu tiba-tiba muncul dalam otakku."Hem ... kok jadi bahas Nindy?" Maya menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lagi."Ish, kenapa jadi balik nanya?""Santai, Neng. Enggak usah sewot gitu, aku cuma heran saja karena sebelumnya kamu engga pernah peduli dengan nama itu," kekeh Maya."Ck.""Apa karena sekarang sudah tahu kalau dia itu istrinya Rey?""Bisa jadi." Aku membuang nafas berat. Tentang Rey, meski aku sudah membuang nama itu, tetap saja jejak pria berambut gondrong itu masih ada yang tertinggal dalam hatiku."Masih saja dikenang." Meski aku tak melihat wajahnya, tapi aku yakin mimik wajah Maya sedang mencibir."Bukan dikenang. Tapi jejak itu tidak akan terhapus begitu saja. Apalagi nama Rey pernah begitu kuat menancap
Baca selengkapnya
50. Ingin Menghindar
"Kalau enggak enak badan, enggak usah ke toko. Di rumah saja, istirahat." Bang Fyan mendekat, membuat gerakanku yang sedang mempersiapkan bekal untuknya terpaksa berhenti, lantaran tanganku diraihnya. "Ara enggak apa-apa, kok, Bang. Nanti juga kalau sudah di toko pasti merasa baikan, soalnya ada Maya dan anak-anak yang suka bercanda." Aku berusaha menarik tanganku guna menyelesaikan pekerjaanku. Tetapi, lelakiku ini membuatku tidak bisa berkutik lagi."Atau perlu abang temenin di rumah?" ucapnya lembut. Saat kuangkat wajah, teduh tatapan matanya begitu menenangkan jiwa."Abang "kan harus kerja," sahutku manja."Pekerjaan di kantor itu enggak bakalan ada habisnya. Lagian, Abang punya asisten untuk mengatasinya. Sementara mengurus dan memperhatikan istri Abang ini,.tidak bisa diwakilkan pada siapapun." Aku merasakan usapan lembut di pundakku."Iya, tapi Ara enggak apa-apa, kok. Abang pergi kerja aja, ya. Ara juga mau ke toko. Nggak ada tawaran-tawaran lagi." Kutarik paksa tangan yang m
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status