Semua Bab Terpaksa Menikahi Calon Kakak Ipar: Bab 21 - Bab 30
99 Bab
Rindu Di Bawa Kepala Preman
Denting pagi mengalun riuh rendah di sekitar rumah Rindu. Ada suara kicau burung pipit sedang berdiskusi di atas bunga padi yang hampir disiangi sebelah barat. Gemercik aliran kali jernih dengan benturan bebatuan. Menambah merdu not-not lagu dan irama ocehan rimbunnya pohon bambu sebelah timur. Celoteh gelak tawa para tetangga dengan mayoritas para Ibu berbelanja. Menambah gemuruh suasana pagi di depan rumah Rindu. Bercanda ringan para pelajar putih dan biru serta agak berat langkah pemuda-pemudi berseragam putih abu-abu. Ikut serta hiasi pemandanganku di luar pagar Rumah Rindu. “Sebenarnya rumah ini begitu indah ya Ayah. Lihatlah suguhan orkestra alam raya maya pada di sekitar kita ini. Bukankah Sang Pencipta langit dan bumi telah menyuguhkan nyanyian perdu pagi alam?” aku tersenyum kecil menatap mertuaku tengah menyeruput aroma secangkir kopi hitam. “Benar Nak Raja semua ini anugerah yang tak dapat ternilai oleh rupiah sekali pun. Semua begitu teduh alami dan apa adanya. Apa di
Baca selengkapnya
Daster Rindu
Bunga tampak ayu dibalut mukena warna biru berenda ungu. Parasnya teduh dibasahi air wudu yang masih menetes beberapa di dagunya. Jemarinya lentik memetik butiran tasbih di tangan kanan. Bibir tipis manisnya terus mengucap lafaz istigfar secara berulang-ulang hingga hitungan sembilan puluh sembilan. Lalu menggenapinya sampai hitungan seratus istigfar. “Astagfirullah Hal Adzim, Astagfirullah Hal Adzim,” begitulah dalam matanya yang terus menghayati dengan terpejam. Duduk iktiraf setelah dua kali sujud di rakaat terakhir belum ia ubah. Duduk di atas sajadah warna merah bata belum jua berubah. “Ndok ayu Bunga Rahayu anakku, apa boleh Ibu mengganggu keheningan zikirmu sayang. Ibu hendak menanyakan sesuatu hal padamu tentunya” ucap Ibu Fatma dan dialah bidadari yang melahirkan gadis teramat manis seperti Bunga. Bunga sekejap menoleh pada Ibunya yang duduk di sampingnya baru masuk beberapa saat lalu. Beliau baru saja menyelesaikan subuh bersama Abah Madun Ayah dari Bunga. Sebelum menj
Baca selengkapnya
Raja Mbahnya Preman
“Jangan Om, jangan Om, jangan sakiti aku, tolong...!” Rindu terus menangis selayaknya anak kecil yang tengah ketakutan. Rindu sudah tak bisa merangkak atau bergeser mundur lagi. Sebab di belakangnya sudah berdiri tegak pagar pembatas paling belakang kebun kosong milik Pak Lurah. Mata Rindu akhirnya mengingat sesuatu hal di masa lalunya. Bahkan dia mengulas balik di kala ia masih memakai seragam putih biru. Sama persis seperti pagi ini kondisinya. Saat itu para preman di sekitarnya sekarang. Juga ada di masa lalunya dan sama ingin membuat noda pada Rindu. “Hai Aisyah Rindu Fatimah anak dari Abang Bandi. Dari dahulu saat daerah ini masih dipegang Abangku. Ayahmu itu selalu usil pada keluarga kami. Hingga akhirnya Abangku dipenjara karena Ayahmu. Bahkan dia Abangku tercinta mati di penjara lima tahun yang lalu. Sekarang akan aku balaskan dendam Abangku. Akan aku nodai anak dari Bandi tua jelek itu,” wajah menyeringai Komar Si Codet agaknya sangat ingin segera mengeksekusi Rindu yang se
Baca selengkapnya
Mas Tanpa Danang
Brem, brem, Beberapa motor trail dan motor modifikasi tampak mengiringi motor matik milik Pak Bandi yang dikendarai Raja saat membonceng Rindu pulang. Mereka gang Codet beserta para anak buahnya yang malah ikut mengantar Raja dan Rindu pulang. “Loh itu Pak mereka, bukannya itu Raja dan Rindu. Kenapa mereka malah bersama Bang Codet dan anak buahnya?” Bu Dian seketika ketakutan berwajah khawatir dengan tingkah bingung tak karuan. Plok, plok, plok, “Memang istimewa menantu kita, memang takdir Rindu tidak salah lagi bersama Raja. Memang takdir Allah tidak pernah salah berjalan. Lihat Ibu menantu lelakimu itu sangat istimewa. Bapak saja butuh bertahun-tahun untuk sekedar menggeser pangkalan Bang Codet keluar gang kita. Tapi hanya butuh waktu setengah jam Raja menaklukkan semuanya sangat istimewa,” Pak Bandi menghampiri Raja dan terus memujinya. “Bapak kok malah bangga ini loh! Apa memang benar-benar tidak masalah Bang Codet membuntuti Raja dan Rindu?” Bu Juariah masih sangat khawa
Baca selengkapnya
Jendela Kamar Rindu
“Allahuakbar, Allahuma Shalli Ala Muhammad, sudah pagi lagi ya?” mataku kembali terbuka menatap ke arah Rindu yang masih saja tertidur. Sejenak aku palingkan pandangan ke arah jendela ternyata sudah terang.“Loh kok jendelanya sudah terbuka ya? Apa mungkin Ayah mertua atau Ibu Mertua tadi ke mari membukanya. Tapi mana bisa bukankah tadi setelah subuh aku menguncinya kembali. Lalu siapa yang membuka jendela sepagi ini?” aku mulai membuat spekulasi-spekulasi dalam otakku tentang siapa yang membuka jendela. Aku masih merebah di samping Rindu yang masih saja terlelap. Seperti biasanya aku sibakkan rambut yang tergerai beberapa helai di keningnya. Lalu dengan lembut aku mengecup keningnya secara perlahan. “Mungkinkah Rindu terbangun lalu membuka jendela. Tapi mana mungkin Rindu bisa melakukan hal itu. Makan, minum, mandi, buang air, bahkan mengganti bajunya saja aku yang membantunya. Apa ia Rindu yang membukanya? Aku rasa bukan,” aku terus berpikir keras tentang segala kemungkinan terbuk
Baca selengkapnya
Pesan Whatsup Manipulasi
Pagi setengah siang pukul sembilan tepat. Aku mencoba memulai terapi pemulihan ingatan sesuai yang dianjurkan oleh dokter spesialis teman lamaku kala SMK dahulu. Aku bawa Rindu jalan-jalan di taman dekat gang rumah Rindu. Tetap menggunakan kursi roda untuk tempat duduk Rindu.Bahwa aku tak ingin Rindu terlalu lelah berjalan. Sebab taman posisinya dua kilo meter dari rumah Rindu. “Dek kita main ya sebentar mencari udara segar. Biar kamu tidak di dalam kamar saja. Biar tubuhmu juga dapat asupan vitamin D tentunya. Hal ini bisa berdampak baik untuk kesehatanmu,” ucapku berbisik pada telinga Rindu sambil mendorong kursi Roda perlahan ke arah taman. Rindu hanya diam tak berkata sekali ucap saja. Pandangannya tetap kosong tiada tujuan hidup. Kadang aku bertanya pada diriku sendiri. Sebenarnya apa yang terjadi pada Rindu. Terkadang ia terlihat seperti anak kecil tingkahnya penuh manja. Terkadang ia seolah-olah sadar memanggilku hanya dengan panggilan Mas tanpa embel-embel nama Mas Danang
Baca selengkapnya
Ancaman kematian Untuk Rindu
Senja merah bata di ufuk barat selayang mataku memandang. Kebetulan rumah Rindu menghadap ke barat. Walau terhalang oleh beberapa rumah tetangga. Aku masih bisa menikmati redupnya matahari menguapkan kantuknya. Mungkin ia tengah lelah dan ingin beristirahat. Seperti jua aku yang ingin mengakhiri ini semua. Mengakhiri rangkaian semua cerita. Sebuah cerita tentang alkisah turun ranjang tentang aku dan Rindu. Otak dan tubuhku rasanya sudah terlalu penat menghadapi semuanya sendirian. Semalam Ayah dan Ibu menanyakan kabar tentang kondisi Rindu. Akhirnya ada satu masa mereka berdua tak menanyakan keadaanku malah menanyakan kabar menantunya. “Heh dasar Ayah dan Ibu!” tawa kecilku menyeringai dibius bias sinar surya kala senja matahari menjurus pada detik-detik menjelang magrib. Masih pukul setengah lima sore di teras rumah Rindu. Biarlah aku sejenak duduk menikmati jalan depan rumah Rindu. Menyapa para tetangga yang kebetulan lewat. Rindu tengah tertidur kembali setelah lelah bermain l
Baca selengkapnya
Hanya Mimpi
Pagi bergulir menjadi siang dan siang berubah menjadi malam. Akhirnya aku mulai lelah dengan aktivitasku baru-baru ini. Mungkin aku sedikit membutuhkan hiburan. Aku yang biasanya bergaya hidup tanpa kekangan. Kini harus berkutat antara teras ruah tengah dan kamar Rindu. Tapi semua ini demi satu janjiku pada Almarhum Mas Danang. Walau janji itu terucap melalui mimpi yang aneh. Tapi aku merasa sungguh itu adalah Mas Danang. Malam ini sudah terlalu larut untuk aku sekedar minum kopi atau menyulut sebatang rokok di teras rumah Rindu. Akhirnya aku memilih duduk di dekat jendela. Membukanya sedikit dan pada akhirnya aku tahu. Memang jendela didesain bisa dibuka dari luar. Ada satu tempat kunci dari luar jendela. Mungkin maksud Ayah dan Ibu mertua. Agar mudah bila Rindu tengah mengamuk atau marah-marah. Tetapi selama denganku kenapa Rindu tidak pernah marah-marah entah. Entak karena lelah atau penatnya tubuh dan otakku. Entah karena semilir angin malam dari luar jendela yang terbuka sed
Baca selengkapnya
Satu Kecupan Yang Masih Mimpi
“Hah benar hanya mimpi saja, kenapa aku jadi was-was dan merasa ketakutan. Sebaiknya aku tutup jendela dan lekas tidur di samping Rindu.” Saat aku lihat jam dinding ternyata masih pukul sepuluh malam. Kenapa dalam mimpi itu waktu sudah hampir subuh. Akankah mimpi itu menjadi nyata. Kakek Haji itu terus memanggil aku cucu. Sebenarnya siapa beliau Pak Haji yang aku temui di trotoar waktu itu? Baiknya aku lekas tidur. “Ah Cuma mimpi Raja, hanya mimpi dan mungkin aku terlalu lelah. Mungkin otakku terlalu banyak pikiran. Jadilah aku bermimpi yang aneh-aneh. Baiknya aku mulai rebahkan tubuhku di samping Rindu,” sejenak seperti biasanya, aku kecup sedikit kening Rindu. Menyibakkan rambut beberapa helai yang jatuh di keningnya. Tapi serasa ada yang aneh dengan Rindu. Saat aku mengecup keningnya bukan tanpa alasan. Aku melakukannya semata-mata untuk mengecek suhu tubuhnya juga. Suhu tubuh Rindu yang biasanya selalu panas dan selalu aku kompres dengan kain kecil aku basahi air es. Aku ras
Baca selengkapnya
POV Rindu
Pov Rindu Hari ini teramat lelah untukku, bahkan rasanya pekerjaan menumpuk di bangku kerjaku. Tumpukkan berkas-berkas yang harus aku periksa dan harus selesai hari ini juga. Membuat aku harus ekstra lembur sampai malam tentunya. Semoga saja Mas Danang Si Abang CEO ganteng itu membolehkan aku untuk membawa pekerjaan ini pulang bila sampai jam sepuluh malam tidak selesai juga. Aku sudah teramat lelah dan mengantuk soalnya. Mataku sudah begitu lelah ingin segera merebah di atas kasurku. Enak mungkin bila setiap hari dalam beberapa hari. Aku hanya merebahkan tubuhku dan tidur tidak ke mana-mana dan tidak melakukan aktivitas apa pun jua. “Hah, masih dua tumpuk lagi,” ucapku agak menangis kecil di raut wajah. Seperti mengeluh namun ingin merasa menangis. Tetapi tanpa air mata tentunya. “Ada apa Dek kok belum pulang?” ternyata Mas Danang juga belum pulang. Entah ia sengaja atau tidak atau memang menungguku sampai pulang seperti biasanya. Jelasnya memang malam ini Mas Danang juga belum
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
10
DMCA.com Protection Status