All Chapters of PERMINTAAN GILA KAKAKKU: Chapter 51 - Chapter 60
164 Chapters
PGK 31.a
BAB 31Aku menubruk Kak Daffa dan memeluknya.“Eh, ini kenapa?”“Kangen .…”“Yah, baru ditinggal tiga hari.” Dia tersenyum. Mengusap punggungku. “Kakak bawa kejutan,” bisiknya pelan.“Apa?”“Nanti saja. Kamu pasti suka.”Baru sadar kalau Om Handri juga ada di sini, aku melepaskan Kak Daffa dan mencium tangan mertua. Tante Sovia bergabung menjemput suaminya.“Manis sekali kamu menyambut suami, Nak. Seperti anak kecil yang menyambut ayahnya.” Wajah yang tampak lelah itu tersenyum. “Apa Mami juga tidak memeluk papi?” Om Handri merentangkan tangan pada istrinya.“Menantu kesayangan papi ini sudah masak besar untuk menyambut kedatangan kalian hari ini,” jelas Tante Sovia. Wanita itu memeluk suaminya sesaat.“Iya, Pi. Nanti kita makan.”“Sekarang tanggung, nanti selesai isya saja.” Tante Sovia tersenyum manis. Entah apa yang dia rencanakan, tapi pasti ada sesuatu di balik senyumnya itu.“Baiklah, papi tak sabar mencoba pasakan Risa.”Kak Daffa menurunkan barang-barang dari mobilnya. Aku mem
Read more
PGK 31.b
Tante Sovia, dan Om Handri datang, diikuti Fania beberapa langkah di belakang. “Mana makanannya? Kenapa meja masih kosong?” “Habis,” jawabku pendek saja. “Habis? Apa maksudnya? Jangan bilang kamu tidak bisa mengatur konsumsi anggota rumah ini.” Aku menghela napas. “Aku sudah masak banyak, tapi mereka memakannya semua.” “Mereka tidak akan memakan semua kalau kamu bisa mengatur!” Tante Sovia melotot. “Ada apa ini? Kalau makanan tidak ada, sudah kita beli saja,” potong Om Handri. “Jangan terus belain dia dong, Pi. Lihat urusan begini saja tidak becus. Bagaimana bisa jadi nyonya di rumah ini.” “Tidak perlu dibesarkan, Mi.” Kak Daffa bergabung. Menarik kursi. “Ada apa?” “Istrimu tuh, katanya masak, tapi tidak ada apa-apa.” Tante Sovia mendelik. “Gak ada makanan, Sayang?” Kak Daffa bertanya. “Katanya tadi bilang masak.” Aku menghela napas. Membuang dari mulut dengan entakkan. Suara gumaman kekecewaan dan nada merendahkan terdengar dari mulut Fania, Gea, dan ibunya. Aku membuka l
Read more
PGK 32.a
BAB 32Semua pekerja menunduk, tidak ada yang mau mundur satu pun. “Maaf, Non. Kami akan berubah,” kata mereka serentak.“Oke kalau kalian bisa berubah, tapi kalau karakter seperti A itu masih ada dalam diri kalian. Saya tidak akan berpikir dua kali untuk mengeluarkan siapa pun.”Breefing ditutup. Pekerja bubar. Waktu sudah lewat jam makan malam gara-gara kericuhan ini. Kak Daffa menyelesaikan pembayaran dua pekerja. Mereka pulang malam itu juga.Aku dan Kak Daffa duduk di sofa mewah ruang keluarga. Istirahat, menenangkan diri.“Kenapa, sih, Kak, di sini mesti ada banyak bodyguard?”“Menjalankan bisnis di bidang ritel kadang butuh tukang pukul. Banyak mafia atau sebatas preman jalanan di negeri ini.”“Tapi, kok, Kakak gak pernah bawa bodyguard.”“Kakak gak takut mati. Mau mati, ya, mati aja.” Pria yang sekarang ini bermimik serius melirik. “Pintar juga kamu. Dari mana tahu kisah begitu?”Aku tersenyum manis. Berkedip manja. “Dari cerita buku.”Kak Daffa ikut tersenyum.“Jadi, ini yang
Read more
PGK 32.b
Perjalanan Jakarta—Tasik kami lalui berdua di mobil sambil sesekali bercanda. Semakin memasuki daerah Jawa Barat, jalanan lurus mulai berliku. Naik turun bukit. Pemandangan kota berganti pedesaan asri. Sawah, kebun, dan lahan sayur. Aku tidur beberapa saat. Kembali bangun ketika jalanan sudah benar-benar sepi. Jarang ada kendaraan lain berpapasan. Mobil memasuki halaman parkir pesantren. Berhenti di dekat masjid besar. Seorang pria bersarung menyambut kami. Kak Daffa mengobrol sebentar lalu kami dibawa masuk ke sebuah rumah sederhana, tapi besar. Di ruang tamu rumah ini, ada pajangan kaligrafi dan gambar yang mungkin para ulama sebagai pajangan. Kami disuguhi teh yang asapnya masih mengepul. Pria berjubah putih datang menghampiri. Diikuti wanita berkerudung panjang. Kak Daffa menunduk hormat. Mencium punggung tangan kiai-nya dengan amat takjim. Dua laki-laki itu mengobrol panjang lebar lalu Kak Daffa mengutarakan tujuannya. Aku tercengang saat tahu bukan uang yang dia berikan. M
Read more
PGK 33.a
Waktu berlanjut. Tidak ada yang berbeda. Semua berjalan sesuai rencana. Aku sedang disibukkan survey ruko. Jika ada lokasi tepat, Kak Daffa akan membelinya dan otomatis langsung bisa dijalankan. Targetnya bulan ini upah kerjaku itu bisa beroperasi. Aku pulang ngampus dijemput sopir kantor. Naik dulu ke ruang Kak Daffa karena hari masih sore. Semua orang yang berpapasan menyapa dan mengangguk hormat. Meja sekertaris Kak Daffa terlihat kosong. Aku langsung saja menerobos pintu. Biasanya Kak Daffa sedang sibuk di mejanya atau diskusi dengan bawahan. Namun, kali ini ada yang berbeda. Aku disambut pemandangan menohok menghunus dada. Pria berkemeja biru itu sedang bersandar pada dinding, seorang wanita dengan dres merah sepaha mengimpitnya. Dua telapak wanita seksi itu menyentuh dada Kak Daffa, dan bibir mereka hampir bersentuhan. Mata panas, dada membara. Serupa ada panah yang dihunuskan ke ulu hati. Sakit sekali. Sementara harga diriku serupa dihempas ke dasar bumi. Aku istrinya, tapi
Read more
PGK 33.b
Sepertinya aku benar-benar sudah menaruh hati pada Kak Daffa. Pagi, saat dia melewatiku tanpa pakaian, jantung ini berdebar lembut. Tanpa sadar aku mengamati setiap lekuk otot-ototnya. Pria yang berlilitkan handuk itu berkulit putih. Tubuhnya tampak segar dan membawa harum. Rambut dan wajah basahnya terlihat lebih menawan dari biasanya. Kak Daffa masuk ruang pakaian, kembali setelah bercelana dan memasang kemeja. Dia jalan seraya mengaitkan kancing. Aku mengambil dasi. Membantu memasangkannya. Dalam posisi sedekat ini. Dadaku berdebar lebih kencang. Debaran yang indah. Tangan yang kugunakan untuk menyentuh kemeja dan dasinya saja seperti sedang menyentuh benda paling berharga. “Kenapa?” “Hm?” “Kenapa senyum-senyum?” Aku meruncingkan bibir. Baru sadar kalau sedang senyum-senyum. “Lagi inget drama kemarin,” jawabku agak ketus. “Pagi-pagi ingetnya drama. Belajar, noh! Bentar lagi semesteran.” Kak Daffa mundur. Mengambil jas. “Santai. Namanya juga SKS, sistem kebut semalam.” “D
Read more
PGK 34.a
BAB 34Cinta. Kenapa begitu sulit menyadarinya? Kedekatan kami dari sejak aku kecil seolah menyamarkan bahwa perasaan itu memang ada. Perangainya yang buruk dan karakternya yang kurang baik, membuatku selalu merendahkan personalnya. Seakan cinta haram baginya.Kini. Setelah wajah itu mengisi pandangan di setiap hari dan setiap waktu; setelah mengerti bahwa tanpa dia hari-hari seperti hampa. Setelah merasakan betapa sakitnya cemburu. Aku paham, aku memiliki cinta yang membara.Perasaan kali ini beda dengan sebelum-sebelumnya. Kadarnya lebih besar, dan aku tak tahu sedalam apa.Udah gak peduli pada peringatan Kak Mandala. Bodo amet kalau dia berengsek, tukang gonta-ganti cewek, tak pernah sembahyang, atau gak hormat sama orang tua. Yang pasti gue cinta, titik!Jika kemarin, aku lebih senang menjaga jarak. Ngapa-ngapain di atas kasur sementara Kak Daffa di sofa. Sekarang, tidak lagi. Aku seneng deket terus sama dia. Saat Kak Daffa memainkan ponsel di sofa pun, aku duduk di dekatnya. Selo
Read more
PGK 34.b
Semangat banget mau ke salon. Mau mempercantik diri lalu pamer sama Kak Daffa. Siapa tahu dia juga jadi cinta beneran. Aku bersama tiga teman jalan ke salon sehabis kuliah siang ini. Mereka dengan suka cita mau mengantar karena kujanjikan bayar perawatan mereka juga. Enak, sih, jadi istri Kak Daffa. Keluar uang gak pake perhitungan. Kalau nikah cuma cinta-cintaan dan ngabisin duit doang sih aku mau. Lanjut aja terus, tapi bayangin hamil, terus punya anak. Aduh, sepertinya belum siap. Aku masih kepingin main-main. Hari ini, rambut aku keratin, sekalian dicat. Dulu rambutku pernah dicat hitam kecokelatan, sekarang aku mau ada sentuhan cokelat lebih terang di beberapa helainya. Selain perawatan rambut, aku juga melakukan pedi medi. Beberapa jam di salon lalu ke mall buat makan. Saat lagi jalan berempat, aku lihat Gea. Bukan hal yang spesial kalau lihat dia dengan orang yang gak penting. Masalahnya, Gea lagi jalan sama cewek yang dulu mepet Kak Daffa di kantornya. “Eh, setop. Setop!”
Read more
PGK 35.a
BAB 35Aku memasuki ruang yang ada di samping ruang kerja Om Handri. Tempat yang dulu digunakan untuk menginterogasiku saat diculik.Pada sofa besar itu, Om Handri sedang duduk ditemani istrinya.“Papi panggil Risa?” Aku bertanya sambil mengawasi suasana, ada kotak hitam berpita putih teronggok di meja.“Risa ... duduk, Nak!”Aku mendaratkan bokong di salah satu sofa, menunggu.“Kamu belum isi, Risa?” Om Handri mengawali bicara.“Maksud Papi hamil? Belum. Risa masih merah.”“Kamu tidak mencegah kehamilan, bukan?”Aku menggeleng. “Enggak, Pi.” Sejauh ini aku bicara jujur. Emang enggak kan. Gak bikin juga.“Begini, Risa. Papi lihat, kesibukan Daffa sudah mulai berkurang. Menurut papi, sekarang waktunya kalian berbulan madu.” Om Handri mendorong kotak hitam di meja itu ke dekatku.“Ini tiket honeymoon untuk seminggu di Bali. Kamu dan Daffa bisa musyawarahkan waktunya. Nanti tinggal kabari penyedia jasa untuk konfirmasi.”Aku terdiam. Wah, Bali. Asyik, nih, bisa liburan.“Kalau pas Risa l
Read more
PGK 35.b
Sebuah ruang kecil dengan satu sofa mengarah pada TV layar datar 52 inci. Di belakangnya ada lukisan kapal pesiar yang berlayar di lautan hijau. Gorden lebar berwarna cream dan brown mengisi dua sudut dinding sekaligus pintu kaca lebar di sisi kanan. Pintu kaca itu terbuka, membawa suara desau angin dan gemuruh ombak yang berkejaran. Ya, dari ruang pertama vila ini saja kita bisa tahu kalau di sisi kanan sana merupakan laut dan tebing.Pada bagian kamarnya, ada tempat tidur empuk berseprai putih khas hotel. Menghadap televisi juga. Ada meja dan lemari kayu kecil. Sebagaimana di ruang pertama tadi, sisi kanan kamar ini pun dibuat full jendela dan pintu kaca. Menawarkan pemandangan alam yang tampaknya sangat indah. Sisi kirinya merupakan kamar mandi berfasilitas lengkap, ada indor dan outdor.Aku menggeser pintu kaca. Terpana pada pemandangan alam yang disediakan tempat ini. Agak jauh di sana, bisa kulihat lautan lepas dengan ombak yang berkejaran. Sementara di depan mata sini, kolam re
Read more
PREV
1
...
45678
...
17
DMCA.com Protection Status