All Chapters of PERMINTAAN GILA KAKAKKU: Chapter 41 - Chapter 50
164 Chapters
PGK 26.a
BAB 26 Aku memutar roda. Mengikuti arah lelaki yang mungkin sedang tidak baik-baik saja itu. Kak Daffa terlihat bertumpu tangan pada pagar balkon. Melihat taman rumah dengan raut yang tak dapat kuperhatikan jelas dari sisi sini. Lama dia terdiam. “Kak ....” Kak Daffa mendongak. Membuang nafas kasar lalu kembali menatap datar. “Tidak ada amalan-amalan yang agung, kecuali Allah telah menanamkan cahaya ikhlas yang dapat menghidupkan amal tersebut.” Aku terdiam. Enggak paham. “Maksudnya?” “Dalam hadis kudsi, Rasulullah pernah bertanya pada Jibril tentang ikhlas. Lalu Jibril berkata, “aku telah menanyakan hal itu kepada Allah”, lalu Allah berfirman: “ikhlas adalah salah satu dari rahasia-Ku, yang Aku berikan ke dalam hati orang-orang yang Aku cintai dari kalangan hamba-hamba-Ku”.” Lah? Makin gak paham. Ikhlas pada apa maksudnya? “Jangan suruh gue mikir bisa gak, sih? To the point begitu, loh.” Kak Daffa menunduk. Menengok dengan seulas senyum manis. “Sudah salatnya?” “Udah.”
Read more
PGK 26.b
Aku memilihkan pakaian saat Kak Daffa masih di kamar mandi. Hari ini dia harus kerja karena kemarin baru meninggalkan rapat penting.Kemeja hitam, dasi biru bergaris ungu, dan celana panjang hitam menjadi pilihan.Kak Daffa masuk ruang pakaian dengan lilitan handuk.“Bajunya udah Risa siapin, Kak.”Tidak ada pembahasan soal semalam. Semua berjalan seolah tidak ada apa-apa. Aku pun malu membahasnya.“Makasih, istriku,” katanya manis sekali.Memang kurang ajar orang ini, dia menarik lilitan handuknya begitu saja di depan mata.“Aaaa!” Sontak aku menjerit sambil menutup muka. Mana satu ketiak mengapit tongkat pula.“Kenapa?” tanyanya woles.“Tunggu gue keluar napa?”“Orang gue pake celana.”Aku membuka telapak. Ternyata betul dia sudah pake kolor. Dasar menyebalkan!“Pede, gue gak mungkin memperlihatkan harta berharga,” kata dia yang sedang pake celana panjang.“Siapa juga yang kepingin lihat. Dih!”Kalau saja kaki ini tak sakit. Mungkin sudah kuinjak lantai ini dengan keras. Sayangnya h
Read more
PGK 27.a
BAB 27 “Jelas lo gak bisa mijit, bajingan!” Tanpa tedeng aling-aling, Kak Mandala menendang pelipis Pak Beni. Laki-laki itu terjungkal jatuh di lantai. Kak Mandala berdiri, menarik kaus pria yang berbadan besar itu. Adu kekuatan pun terjadi. Aku menjerit takut. Kamar ini serupa ring tinju. Beberapa menit mereka saling menyerang dan menghindar. Pak Beni menabrak tembok, Kak Mandala tersungkur di sofa. Waktu yang berputar sungguh menyeramkan. Aku hanya mengerut di sudut sofa sambil menutup muka. Bagaimana pun bodyguard itu badannya lebih besar, lebih kekar. Dia juga pasti terlatih adu kekuatan. Sementara Kak Mandala ... aku takut dia kalah. Pertengkaran itu diakhiri tendangan Pak Beni. Kak Mandala menangkap pergelangan kakinya dan memutar engsel. Pak Beni jatuh. Merintih kesakitan di lantai. Kak Mandala menarik sebelah tangan Pak Beni, dan melakukan perlakuan sama pada pergelangannya. “Itu bonus!” Kak Mandala berdiri tegak sambil terengah. Dia mengusap ujung bibirnya yang berdara
Read more
PGK 27.b
Aku mengobati luka lebam Kak Mandala di wajahnya. Pipi membiru, ujung bibir sobek.“Ngapain sih lo, Kak? Musti balas dendam segala?”“Itu bukan balas dendam, itu pelajaran.”“Sama aja, ah!”“Lagian lo polos banget jadi cewek, udah tahu dari awal mereka emang gak suka lo di sini.”“Ya, gue gak mikir sampe sana lah. Masa ampe nyuruh pekerja buat jahatin gue.”“Pekerja itu cuma anjing yang nurut sama majikannya.”“Berhenti panggil mereka gitu napa. Gak sopan banget.” Aku menekan lukanya.“Adaw!” Kak Mandala memekik.“Gue curiga, emang sekongkol tuh si Beni sama ART yang lain. Hati-hati aja lo di rumah ini.”“Kalau gue udah tahu gue pasti hati-hati.”“Masih berani lo tinggal di sini?”“Berani lah, emang kudu takut siapa?”“Gak ingin balik ke rumah?”“Kagak, kalau gue balik makin kelihatan gue kalahnya. Lo tenang aja, Kak. Gue bisa jaga diri. Tante Sovia pasti pikir-pikir lagi abis lo gituin tadi.”“Mau lapor Daffa?”“Enggak tahu, deh. Gue masih pertimbangkan nasib pekerja.”“Alah, peduli
Read more
PGK 28.a
BAB 28Pagi yang hangat. Cahaya matahari menyorot dari timur. Di hari libur ini, rumah lebih ramai dari biasanya. Halaman pun diisi banyak mobil, menandakan orang rumah semua ada.Kak Daffa berlari memutari taman. Kaus hitam yang cukup ketat di bagian lengannya itu mulai terlihat basah. Sesekali dia mendongak ke langit, sesekali menunduk melihat jalan, sesekali berjalan pelan seraya mengatur napas.Aku ikut menemaninya. Boring diam di rumah terus. Kudekati kolam koi. Duduk di tembok yang dibuat menyerupai batu lalu menaburkan pakan. “Wow, semangat sekali kalian makan. Belum makan seminggu ya?”Aku menenggelamkan tangan dengan segenggam pakan ke dalam air dingin yang bening. “Hei, kalian jangan menggigit!” Aku tertawa-tawa.Sambil menabur pakan, aku mengoceh sendiri.“Wah, kamu cantik sekali. Ayo cepat makan, kalau sudah besar nanti kujual ... nah, begitu, buka mulut kalian lebar-lebar ... tenang-tenang masih banyak.”Kak Daffa mendekati kolam. Duduk di rerumputan. Terengah. Mengatur n
Read more
PGK 28.b
Setelah lama bercengkerama, aku menelpon pekerja. Sekarang udah gak pake sopan-sopan lagi. Tanpa kata “tolong” apalagi “maaf”. “Lima menit lagi meja makan siap, ya. Mama saya mau makan!” “Tapi, Nona—” “Tidak ada tapi. Papi sudah mau turun.” Aku lantas menutup telepon. Melanjutkan panggilan pada Mami dan Papi mertua. Jawaban dari sana gak enak didengar pastinya, tapi ya woles ajalah. Kami berempat lantas ke dapur. Berpapasan dengan Om Handri yang baru keluar di salah satu ruang. Pria itu menenteng laptop. “Raida, sudah lama?” Sorot matanya antusias. Aku masih ngerasa dia masih ngarep sama Mama. “Satu jam yang lalu, Pak Handri.” “Bagaimana kakimu, Nak.” Om Handri melempar tanya setelah mendekat. “Sudah lumayan, Pi.” “Ayo, duluan! Saya mau menyimpan dulu ini.” Dia menggerakkan laptop di tangan. Aku dan Mama mengangguk hormat. Om Handri berlalu, naik ke lantai dua. Seperti prediksiku, meja makan sudah terisi menu lengkap. Kalau ada hubungannya dengan Om Handri, semua pasti kel
Read more
PGK 29.a
BAB 29Karena Kak Daffa bagi-bagi uang, semua mahasiswa jadi sangat care. Di akhir mata kuliah, banyak yang bertanya ini dan itu. Aku mau apa? Mau ke mana? Butuh apa? Ada juga yang sengaja mengajak ngobrol. Bertanya lebih jauh tentang aku dan Kak Daffa.Sebagaimana teman-teman yang lain, Andre pun ikut mendekati, dia bukan mau menawarkan bantuan, tapi mengembalikan uang.“Buat infak masjid aja kalau gak mau, Dre.”“Ya sudah, aku masukin kotak amal, ya.”“He'em.”“Kenapa kakinya?” Dia membetulkan posisi tali ransel yang melingkar di salah satu pundaknya.“Jatuh.”Dia mengangguk saja. “Kamu terlihat banyak berubah setelah menikah. Kak Daffa pasti cocok jadi imam kamu. Semoga samawa selalu, ya. Aku permisi.”Andre balik badan. Pergi meninggalkan kelas. Natasya menyenggol lenganku.“Kenapa?”“Kelihatan patah hati banget gak, sih, tu anak?”“Iyalah. Gue aja yang gak lagi pedekate sama Kak Daffa patah hati,” tukas Mita.“Heh, lo dari dulu kali, pedekatenya.”“Eh, iya, ya.” Dia nyengir. “Tap
Read more
PGK 29.b
“Oke, gue gak akan pergi, tapi bisa gak lo nyenengin gue malam ini?” Kak Daffa bicara serius. Dari lo guenya, aku paham ini bukan akting. “Nyenengin gimana maksudnya?” Aku mulai menciut. “Nyenengin layaknya suami istri. Kita panas-panasan bareng.” Tanganku yang merentang mulai turun. “Temenin gue sampai pagi, bisa?” Aku menggeleng. “Perjanjiannya gak gitu.” “Ya udah, awas makanya.” “Gak bisa dinginin pake Ac.” “Kagak.” “Cari angin di balkon.” Aku mulai melipir dari pintu. “Enggak.” “Terus di luar ngapain?” “Cari cewek lain.” Kak Daffa membuka pintu dan berlalu cepat. “Kakak!” Dia tak menoleh. Jalan terus ke arah tangga. Aku lari ke balkon. Menit berikutnya, mobil Kak Daffa betulan meninggalkan rumah. Cari cewek lain? Enggak, gue gak akan diam. Tak banyak pikir. Aku cepat mandi, membersihkan keringat yang membanjiri lalu pake baju dan kerudung panjang. Ambil tas. Masukkan dompet, ponsel. Waktu sudah pukul sepuluh saat kuminta sopir untuk mengantarkan. Aku minta berhent
Read more
PGK 30.a
BAB 30Pria tinggi berdada bidang ini menarik tanganku keluar diskotek. Baru saja dia memukuli pria mabuk secara membabi buta. Kalau bukan ditahan sekuriti, pria yang menggangguku tadi mungkin sudah mati.Sambil mengikuti langkahnya, aku menunduk takut. Ya, takut karena melihat keributan, ya, takut karena melihat api kemarahan di mata Kak Daffa.Kak Daffa melempar tanganku di satu tempat—ruang paling belakang kafe. Ada alat-alat musik dan sound system di sini. Posisinya agak acak-acakan. Dua laki-laki yang tak kukenali sedang memainkan gitar dengan suara pelan.Kak Daffa memandangku dengan bara di matanya. “Bodoh!” Dia teriak.Aku semakin menciut. Air mata serupa berjejalan ingin keluar.Kak Daffa bertolak pinggang. Dadanya naik turun. Napasnya cepat dan pendek-pendek.“Ngapain datang ke sana? Mau mancing ikan?!” bentaknya lagi.“Coba kalau mau apa-apa dipikir dulu! Kamu sudah bukan anak kecil lagi. Berpikir lebih dewasa, Risa!”Aku terpejam seram. Air mata mulai menetes. “Maaf ....”
Read more
PGK 30.b
Sejak saat itu, aku tidak berani pake baju pendek lagi di dalam kamar. Selalu celana panjang dan atasan panjang. Aku benar-benar menjaga gerak, tapi bercanda tetap setiap waktu. Ribut tiap saat: saling ledek, saling cubit, saling ngeprank. Pada satu sore, Kak Daffa menarik koper di sudut ruang pakaian. “Sa, besok kakak mau ke Bandung. Tolong kemasi pakaian.” “Pakaian Kakak?” “Iyalah.” “Aku gak ikut?” “Kagak. Kuliah mau ditinggal?” Aku mulai memilah kemeja mana yang mau dibawa. “Berapa hari?” “Tiga.” Aku mengemasi beberapa pasang pakaian ganti, untuk kerja dan untuk malam. Setelah semua rapi, kuamankan koper itu ke tempat semula. Paginya Kak Daffa berangkat. Dia sempat mengecup kening saat perpisahan. “Hati-hati di rumah. Kalau bosan pulang saja ke rumah mama.” “Siap, Kak.” Kak Daffa masuk mobil lalu kendaraan itu menjauh, menghilang di balik pagar tinggi. Pada awalnya, terasa biasa saja. Aku selalu bisa menciptakan kebahagiaan meski sendiri. Berangkat kuliah diantarkan
Read more
PREV
1
...
34567
...
17
DMCA.com Protection Status