บททั้งหมดของ Gadis Milik Tuan Mafia: บทที่ 21 - บทที่ 30

"Makan siang sudah siap, mau aku ambilkan?" tawar Akiko saat jam makan siang berbunyi. Biasanya Akiko akan mengambilkan makanan dari kantin kantor untuk Glen makan di ruang pribadinya karena kalau pria itu ikut makan di kantin, pasti para karyawan akan sungkan dan memilih tidak makan karena merasa tidak nyaman. "Asal kau mau makan, aku juga akan makan," jawaban Glen membuat Akiko terdiam. "Glen…," tegur Akiko yang tidak ingin makan, apalagi menu hari ini tidak begitu cocok dengannya. Sejak sakit Akiko lebih suka makan sesuatu yang lembut dan manis, sementara makanan kantor tentu tidak selalunya bisa sesuai. "Kau bisa tidak makan seharian, jadi ku juga bisa melakukannya," hardik Glen tak mau kalah. "Kita berbeda, aku sudah terbiasa sementara kau bisa sakit nanti," bujuk Akiko. Saat ini dia merasa pria itu bersikap seperti anak kecil, bahkan lebih keras kepala. "Sekali tidak, tetap tidak," tegas Glen sehingga Akiko menghela nafas pasrah sambil berjalan keluar ruangan. "Baikla

"Kalian sangat serasi, apa kalian akan segera menikah?" pertanyaan Harley membuat Glen menatap Akiko sejenak. Gadis itu sepertinya tidak punya perasaan lebih, dia hanya menganggap Glen sebagai Tuan. "Aiko, jawablah," ujar Glen karena penasaran dengan jawaban Akiko. "Menikah itu bukan hal penting," jawab Akiko seadanya sehingga Harley mengangguk paham berusaha memahami karena gadis itu pasti trauma karena pernah menjadi korban kekerasan. Berbeda dengan Glen yang justru merasa kesal karena dia pikir Akiko akan menjawab lebih dari itu. Tidak ada yang salah, hubungan mereka juga bukan pasangan resmi seperti yang Harley kira. "Tentang Daisy … sejak kapan dia tinggal bersama kalian?" tanya Harley agak ragu. "Baru kemarin, bawalah dia pergi jika kau bisa," titah Glen. "Tidak bisa, Glen. Kau tau Daisy adalah keluarga dari pihak daddy-mu, jadi hubungan kami tidak cukup baik," jelas Harley. Glen baru ingat kalau dulu pihak keluarga daddy-nya sangat membenci Harley, mungkin karena merek

Keberadaan Daisy memang membuat kehidupan Akiko semakin berat, dia sering kali menyulut emosi Glen sehingga pria itu mulai kasar dan menyiksanya lagi dengan berbagai macam cara. Mulai dari salah paham yang Daisy ciptakan karena dia tau titik amarah Glen, yaitu jika Akiko dekat dengan pria lain. Baru 5 hari terlewat, tapi rasanya waktu berjalan semakin lama. "Aiko," panggil Glen ketika gadis itu sedang sibuk mengerjakan tugas di layar komputer. Di bawah bibir dan pipinya, terdapat luka lebam karena pukulan darinya semalam. Jujur saja melihat hal tersebut tentu membuatnya merasa bersalah, tapi emosi Glen semakin tidak bisa dikendalikan karena sampai saat ini Akiko tak kunjung menunjukkan rasa tertarik padanya sedikitpun, sementara Glen sendiri menginginkan hubungan lebih. "Kopi?" tawaran Akiko membuat lamunan Glen buyar. Gadis berambut pendek itu berdiri menatap Glen dengan tatapan kosong, bahkan Glen sampai bingung kenapa rambut Akiko tidak pernah panjang selama berbulan-bulan tin

“Hari ini kita libur,” tegas Glen pada Hans yang masih menunggu Tuannya untuk berangkat bekerja. Pria itu tentunya bingung karena selama ini Glen tidak pernah libur semena-mena seperti ini, apalagi hanya karena Akiko sakit. “Hans, kau suka main game kan? Aku rasa, aku belum terlalu tua untuk bermain game online,” ucap Glen sehingga Hans langsung tersenyum senang sebab game memang hal yang dia sukai. Akhirnya, Hans menyiapkan alat game di ruang utama karena mereka akan bermain game sepakbola. “Glen,” panggil Akiko. “Ada apa? Kau masih sakit?” tanya Glen menatap gadis yang berjalan ke arahnya. “Kau benar-benar tidak peduli pada Daisy?” pertanyaan Akiko membuat Glen menghela nafas gusar. “Untuk apa? Masih beruntung aku tidak menghajarnya dengan sifat jelek itu,” tegas Glen. “Dia masih sangat labil, Glen, coba untuk bicara padanya,” ujar Akiko. “Kenapa kau peduli padanya? Daisy bahkan sangat membencimu,” ketus Glen. “Aku hanya khawatir karena Daisy bisa melakukan hal buruk j

"Apa kau yang melakukan semua itu? Kau yang hampir membunuh Aiko?" pertanyaan Glen membuat lawan bicaranya meneguk saliva kasar, tatapan tajam itu sangat menusuk dan sangat mengintimidasi seolah tidak memberikan kesempatan untuk melawan. "Kau yang ingin membunuh Aiko, iya,'kan?" ulangnya lagi karena pertanyaanya tidak diindahkan. "Bu—bukan aku, aku tidak akan pernah membunuh putriku sendiri," jawab Mr. Eloise. Pria tua itu kaget saat Glen tiba-tiba datang dan mengatakan kalau Akiko hampir dibunuh oleh seorang, padahal dia sendiri saja kesusahan untuk bertemu Akiko. "Tidak perlu berbohong, aku sudah mengetahui segalanya. Kau selalu menyiksa Aiko sejak kecil, kau menciptakan trauma besar padanya sampai dia takut untuk disentuh," desis Glen sembari duduk di sofa dan menyalakan rokok. "Jujur saja … dulu aku memang sangat membenci Akiko, tapi aku sudah menyadari kesalahanku. Aku sangat menyesal karena memberikan dia padamu sebagai tawanan, bahkan jika bisa aku ingin mengambil dia ke