Akiko, gadis yang memiliki penyakit Leukemia Myeloid akut atau biasa dikenal dengan kanker darah. Sejak kecil dia selalu dibenci orang tuanya, dia sering kali mendapat kekerasan fisik sampai tubuhnya penuh dengan luka. Sampai akhirnya, Akiko harus menjadi tawanan Glen Xander Mckenzie, Mafia kejam yang ingin menghancurkan perusahaan keluarganya. Namun siapa sangka, setelah sekian lama hidup bersama, Glen justru jatuh cinta pada mangsanya sendiri.
Lihat lebih banyak"Papa … menjual aku?" Akiko menatap tidak percaya pada Mr. Eloise yang kini duduk berhadapan. Pria paruh baya itu mengangguk dengan kedua tangannya melipat pertanda sedang serius.
"Kau hanya akan menjadi jaminan, aku tidak benar-benar menjualmu begitu saja. Setelah aku mendapatkan saham kembali maka aku akan menjemputmu," sahut Mr. Eloise sembari menghembuskan asap rokoknya. "Aku bukan barang, Papa. Kau tidak bisa membuang, lalu mengambilku begitu saja," gadis berusia 19 tahun itu menatap dalam, berharap papanya bisa berubah pikiran. "Bukankah Papa sudah berjanji tidak akan menyiksaku lagi saat aku kuliah?" janji itu sangat dia ingat, yaitu akan dibiarkan hidup bebas setelah masuk kuliah. Namun, nyatanya janji itu langsung runtuh begitu saja di hari pertama Akiko kuliah. Beberapa menit lalu Akiko baru saja sampai di rumah mewah keluarganya, rumah ini menyimpan banyak sekali kenangan menyakitkan sampai dia enggan untuk datang karena membuatnya teringat masa lalu. Rasanya hal buruk selalu terjadi di rumah ini. Dan benar saja, sekarang dia harus kembali menuruti keegoisan papanya. "Ini satu-satunya cara karena pria itu menginginkan kakakmu, Keinara, tapi aku akan memberikanmu saja sebagai ganti agar dia tetap aman. Jadi jangan sampai kakakmu tahu soal masalah ini,” ucap pria tua itu enteng. Akiko mengerutkan alis bingung. "Pria?" "Ya, dia punya perusahaan yang menjalin kerja sama dengan perusahaan keluarga kita, tapi …," ucapan Mr. Eloise tergantung saat menghela nafas panjang sambil memijat kepala. "Tapi Papa punya hutang besar padanya karena masalah turunnya grafik.” Akiko terdiam mendengar jawaban itu seolah sudah menduga alasan yang sangat classic bagi dirinya, gadis polos itu merasa tidak berharga karena bisa diberikan pada orang asing dengan begitu mudah demi menutupi hutang. "Selama ini Papa bekerja terus, bahkan sampai tidak bisa meluangkan waktu untuk keluarga. Kemana semua uang-uang itu? Aku yakin Papa masih punya uang," pertanyaan Akiko membuat Papanya langsung menatap tajam. "Kemana? Aku memberikan uang dengan nominal besar untukmu setiap bulan, tapi kau masih bertanya kemana uang-uang itu pergi?" geram Mr. Eloise. Bukankah papanya itu bisa menabung? Kenapa bekerja keras selama ini tidak ada tabungan sama sekali sampai menjadikan anaknya sendiri sebagai tawanan untuk menutupi hutang? Apakah masa menyakitkan waktu kecil yang Akiko lewati sendirian hanya berbuah seperti ini? Pada akhirnya, dia yang akan mendapat getah dari semua masalah walau tidak tahu apapun. Mr. Eloise menatap nanar pada putrinya yang terus menunduk sejak tadi. "Harusnya aku yang bertanya, kau kemanakan semua uang yang aku kirim setiap bulan? Kau menghabiskan uang sebanyak itu untuk apa? Bersenang-senang dengan banyak pria?" Akiko menunduk. "Aku berobat, Pa.” "Berobat untuk apa? Sejak kecil kau memang sudah penyakitan, jadi tidak perlu banyak gaya dengan berobat segala. Kau pasti akan mati sama seperti wanita itu! Dasar anak tidak tau diri!" hardik Mr. Eloise. Akiko menunduk bergumam dalam hati. "Kejam … kenapa orang bisa berkata sejahat itu, ya? Papa bahkan tidak tau aku ini sakit apa, Papa tidak tau apa yang aku lewati selama ini. Apakah dia lupa kalau aku ini juga manusia? Aku bisa hancur kalau dia terlalu jahat." "Aku akan berhenti berobat, Papa pakai saja uangku untuk semua hutang itu," Akiko membuka tas kecilnya, lalu meletakkan kartu di atas meja. Dia yakin masih ada cukup banyak uang karena hanya dipakai untuk berobat selama ini. "Akiko Eloise, apa kau pikir uang ini bisa cukup?" Mr. Eloise melempar kartu itu ke arah Akiko. "Hutang antar perusahaan itu bukan main-main banyaknya, masih beruntung dia menawarkan pilihan untuk mengganti hutang itu dengan hal lain.” Ucapan itu membuat Akiko sadar bahwa dia memang tidak berharga bagi papanya. Pria tua itu lebih memilih menyelamatkan perusahaan dari pada membuat putrinya sendiri merasa aman. "Aku tau selama ini Papa memang tidak menginginkan aku, jadi Papa dengan mudah menerima tawaran pria itu agar aku bisa pergi, ya, 'kan?" tanya Akiko dengan tatapan kosong sementara papanya tak kunjung menjawab selama beberapa saat dan memilih untuk menghisap rokoknya dengan santai. "Jika kau memang sayang pada kakakmu maka pergilah temui pria itu di ruang belakang, masa depan kakakmu juga akan buruk kalau pria itu sampai bertindak lebih jauh," titah Mr. Eloise. Akhirnya, Akiko hanya bisa mengangguk pasrah. Sejak dulu dia selalu tidak bisa menentukan kemauan sendiri, selalu dikekang, dan dipaksa melakukan kemauan papanya. Semua orang menuntutnya untuk sempurna tanpa perduli batasan hidup Akiko, padahal aslinya dia sangat lemah, tapi selalu berhasil menyembunyikan lukanya dari orang lain. Namun, masalah kali ini menyangkut soal kakaknya. Dia tidak ingin kakaknya juga menjadi korban keegoisan sang Papa. Alhasil, Akiko berjalan menuju ruangan di mana pria yang papanya maksud sedang menunggu. Ia mengetuk pintu menunggu beberapa saat sambil menyelipkan helaian rambut pendeknya untuk menenangkan diri, tetapi tidak ada sahutan dari dalam. Jadi Akiko memutuskan untuk langsung membuka pintu saja berpikir mungkin pria itu tidak mendengar suara ketukan pintu. "Excuse me," Akiko mengedarkan pandangan ke seluruh isi ruangan yang digunakan sebagai perpustakaan pribadi, lalu berjalan pelan mencari keberadaan pria yang dimaksud oleh papanya. "Ngghh …," suara desahan wanita terdengar, alangkah terkejutnya Akiko melihat seorang pria sedang melakukan hubungan intim dengan salah satu staff perusahaan papanya. Mereka memasang wajah tak bersalah dan menatap Akiko sambil menikmati suasana dengan penuh kenikmatan. "Wanna join us?" tawar pria itu tanpa ragu. Dia justru tersenyum menyeringai menatap Akiko yang masih membeku di tempat. "Jangan terkejut seperti itu, Nona Eloise. Aku yakin kau paham dengan apa yang sedang kami lalukan," senyuman menyeringai itu terlihat puas. Akiko yang sadar segera memalingkan wajah karena tidak mau matanya ternoda tubuh-tubuh telanjang di depan sana. Namun, pria itu tidak merasa terganggu dengan keberadaan orang lain dan lanjut mencumbui tubuh wanitanya. Tanpa pikir panjang, Akiko memutuskan untuk segera pergi keluar ruangan karena tidak tahan dengan suasana canggung itu. Gadis berambut pendek itu menutup pintu sambil menghela nafas gusar, bingung saja kenapa ada orang sesantai itu di dunia ini. Entah mereka letakkan di mana rasa malu mereka sehingga bisa percaya diri berhubungan intim di tempat orang lain. "Pria itukah yang papa maksud?" tanya Akiko pada dirinya sendiri. Jika benar pria itu yang papanya maksud maka habislah dia karena akan hidup bersama pria yang tidak punya etika. Akhirnya, dia memutuskan untuk pulang. Jika papanya memang benar ingin menyerahkannya pada pria itu pasti dia akan dihubungi lagi cepat atau lambat. Yang penting sekarang Akiko ingin melupakan sejenak masalahnya dengan membeli ice cream di toko yang selalu dikunjungi akhir-akhir ini. "Vanilla, please," pesan Akiko sambil mengeluarkan kartu miliknya. "Seperti biasa," penjaga toko menerima kartu seolah sudah hafal pesanan gadis muda itu. "Bagaimana hari ini?" tanyanya basa-basi karena merasa sudah lama kenal dengan pemanggang setianya ini. Apalagi mereka sama-sama perempuan dan seumuran, tidak heran kalau dia ingin akrab dengan Akiko. "Tidak begitu baik," lirih Akiko sambil tersenyum tipis, lalu menyelipkan helaian rambut pendeknya di daun telinga. "Kau baik-baik saja?" tanya penjaga toko sambil memberikan ice cream saat melihat wajah Akiko lebih pucat dari biasanya. Gadis itu menatap bingung. "Kenapa?" "Kau terlihat pucat, apa kau kedinginan?" Akiko menggelengkan kepala menyahuti pertanyaan itu. "Mungkin lebih baik kau minum coklat panas saja dari pada ice cream." "Tidak, terima kasih atas perhatianmu. Aku akan pulang saja," pamit Akiko. "Baguslah, tidak baik gadis cantik sepertimu berkeliaran sendiri malam-malam. Sampai jumpa lain waktu," ucapnya ramah membuat Akiko tersenyum manis, lalu memesan taksi untuk pulang. Namun, setelah dia masuk ke taksi dan melesat pergi, sebuah mobil hitam datang mengamati kepergian Akiko dalam diam. “Mungkin Mr. Eloise pikir aku bodoh, aku tau dia punya dua putri. Aku menginginkan putri pertamanya, tapi dia malah memberikan putri keduanya yang polos itu. Lihat wajah manisnya, dia membuatku ingin memakannya hidup-hidup," pria di dalam mobil mengetuk-ngetukkan jarinya di ponsel dengan senyuman menyeringai. "Menurut Tuan, apakah kita ambil saja putri pertama Mr. Eloise secara paksa? Mungkin dia menyembunyikan putri pertamanya di suatu tempat karena tidak pernah terlihat selama ini," kata asisten pribadinya. Pria bertubuh kekar itu menatap taksi yang Akiko naiki dengan tajam, lalu tersenyum menyeringai. "Tidak, biarkan saja permainan ini diatur oleh Mr. Eloise. Aku juga ingin tau lebih banyak tentang putri keduanya. Dia terlihat … menarik."Di sebuah gedung besar, acara pernikahan Glen dan Akiko sedang dilakukan. Pernikahan ini tentu dilakukan secara privat, hanya ada keluarga dan beberapa tamu rekan kerja saja. Namun, semua orang mengatakan bahwa pernikahan ini adalah pernikahan paling mewah yang pernah mereka lihat. Dengan nuansa dekorasi warna putih, aula pernikahan kini terasa sangat indah. Lagu lagu dimainkan langsung oleh musisi profesional dengan gaya classic nan elegan.Sebenarnya, Akiko tidak membayangkan bahwa acaranya akan semewah ini karena dia tahu Glen kurang suka sesuatu yang heboh. Namun, atas bujukan dari keluarganya Glen jadi berpikir bahwa pernikahan ini memang harus dirayakan semewah mungkin. “Kau gugup?” tanya Guston, Papa Akiko. “Tentu, jantungku terus berdetak kencang sejak tadi,” sahut Akiko yang masih berada di ruang rias, sementara Glen sudah terlebih dahulu ke aula untuk menyapa tamu. “Bukankah Glen bilang tidak akan terlalu mewah?” tanya Akiko. “Iya, beberapa waktu lalu dia ingin acara yan
“Bagaimana bisa… bagaimana bisa kau masih hidup?” tanya Keinara masih sambil terus mengamati wajah Akiko. Tangannya bergetar hemat, air matanya turun seolah masih tak percaya dengan apa yang dia lihat. Akiko, adiknya yang dia ketahuilah sudah meninggal 5 tahun yang lalu kini berdiri di hadapannya. Akiko ingin sekali mengelak pertanyaan itu, tapi mana mungkin Keinara percaya setelah melihat Glen.“Bicaralah, kau Adikku, ‘kan?” tanyanya lagi.“Iya, ini aku,” jawab Akiko pasrah. Mendengar suara lembut yang selalu dia rindukan membuat tangis Keinara semakin pecah, lalu memeluk Akiko dengan sangat erat. “Kau baik-baik saja? Oh… lihatlah dirimu, kau sangat cantik. Kenapa kau menghilang begitu saja?” tanya Keinara sembari mengusap wajah Akiko. “Aku pergi berobat,” jawab Akiko seadanya. “Tapi aku mendapatkan surat dari rumah sakit bahwa kau sudah meninggal, aku juga mengunjungi Makam atas nama Akiko. Apakah semua itu…,” ucapan Keinara menggantung ketika mengalihkan pandangannya pada Glen.
“Kau memang tidak tau diri, Akiko. Glen sudah menanggung hidupmu selama bertahun-tahun untuk berobat dan mencukupi semua kebutuhanmu, tapi kau tidak bisa memberikan apapun?” pertanyaan dari Eva membuat Akiko terdiam sambil mengamati langkah wanita itu yang semakin mendekati Glen di ranjang. “Glen memang terlalu baik, dia tidak tahu kalau selama ini kau hanya memanfaatkan dia,” lanjut Eva. “Aku tidak memanfaatkan dia,” tegas Akiko menolak. “Lalu? Apa yang bisa kau lakukan untuk membalas semua kebaikannya? Jika kau sudah dewasa pasti kau paham maksudku,” Eva menatap Glen dengan penuh gairah sembari naik ke atas ranjang di mana Glen berbaring sambil memegangi kepalanya yang pusing. “Oh… Glen, dari pada kau bersama Akiko yang tidak bisa apa apa, lebih baik bersamaku saja. Aku bisa memberikan kenikmatan yang tiada tara,” bisik Eva. Dokter perempuan itu mengusap wajah Glen, tersenyum puas karena akhirnya bisa menyentuh Glen. Bahkan dia bisa merasakan deru nafas pria yang menjadi idamann
“Bukankah kau bilang Glen tidak suka warna yang mencolok?” tanya Eva sambil duduk di ruang makan. Acara makan malam bersama akan dimulai, kini ketiga orang itu duduk bersama, walaupun perhatian Glen tidak pernah lepas dari Akiko. “Iya, dia memang tidak suka,” jawab Akiko seadanya. “Lalu kenapa kau memakai dress dengan warna merah? Tidak inginkan kau membuatnya terkesan?” tanya Eva sambil tersenyum puas seperti menjelaskan bahwa dia menang satu poin karena memakai warna tidak mencolok. “Jika dia memang terkesan pada seseorang, dia tidak akan mengamati warna pakaian yang mencolok atau tidak,” Akiko menjawab dengan sangat tenang seperti biasa. Namun, hal tersebut membuat Eva menjadi lebih tertantang dan merasa Akiko sudah membuka jalan untuk persaingan mereka.“Tapi aku rasa warna dress itu terlalu terang. Kau setuju, Glen?” tanya Eva pada Glen yang masih menatap Akiko dengan tatapan tajamnya. “Ya, terlalu terang,” sahut Glen sambil tersenyum diam-diam. Eva tidak menyadari senyuman i
“Kau akan pindah?” tanya seorang wanita yang tengah duduk di kursi kerjanya sambil membaca beberapa berkas. Wanita itu adalah Eva, seorang dokter muda dengan kepribadian ramah. “Ya,” jawab Glen dengan yakin. “Kapan? Kenapa tiba-tiba sekali?” tanya Eva lagi. “Mungkin beberapa hari lagi, sekarang aku sedang menyiapkan barang-barang,” sahut Glen. “Sayang sekali ya, padahal aku pikir kita bisa bicara lebih lama. Tapi tidak masalah, aku bisa bicara dengan Akiko,” ucap Eva setelah menunduk sedih. “Apa maksudmu? Aiko pasti akan ikut bersamaku,” desis Glen sambil menatap tajam, sementara Akiko hanya duduk dengan tenang karena saat ini dia sedang tes tekanan darah. “Akiko ikut?” tanya Eva memastikan. “Tentu, apa kau pikir aku akan meninggalkannya sendirian di sini?” cibiran itu membuat Eva meneguk saliva kasar. Hatinya berdegup kencang karena takut, takut Glen semakin dekat dengan Akiko karena mereka berdua akan pergi bersama. “Kalau begitu aku juga harus ikut, kan? Aku harus memeriksa
Seorang pria sedang menatap seorang gadis yang duduk di taman bunga. Pria bertubuh kekar itu tersenyum, kemudian berjalan mendekat dan memeluk gadis di hadapannya dengan erat. “Kau membuatku kaget,” ucap Akiko sembari memutar badannya untuk menatap Glen langsung. “Ini masih pagi, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Glen. Pria itu suka sekali jika melihat wajah gadisnya saat bangun, tapi pagi ini Akiko justru bangun lebih cepat. “Aku ingin memetik bunga untuk hiasan kamar kita,” sahut Akiko seadanya, lalu melepaskan pelukan Glen untuk memetik bunga yang sudah dia rawat di taman rumah. Glen tersenyum melihat betapa manisnya Akiko dengan dress berwarna pink lembut itu, rasanya sangat cocok dengan kulit putih dan wajah polosnya. 2 tahun lebih sudah berlalu sejak awal mereka pindah di kota ini, Glen merasa kalau kehidupan mereka memang jadi lebih baik. Pria itu juga menepati janjinya untuk membawa Akiko tinggal di rumah yang nyaman, memiliki taman bunga, dan juga peternakan kecil.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen