All Chapters of Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu: Chapter 31 - Chapter 40
69 Chapters
Aku Mengenalnya
"Semudah itu, Bu? Jangan! Selidiki dulu orang yang ingin anda jadikan keluarga. Saya bukan orang yang tepat." Kukatakan hal tersebut lebih dulu biar tak jadi penyesalan di kemudian hari. Tatapanku lurus ke depan. Menatap tembok rumah sakit yang berwarna putih. Ibunya Reni tersenyum renyah. Aku belum tahu siapa namanya. Fokus kami ke pembahasan penting ini. Sehingga tak ada yang lebih dulu memperkenalkan nama masing-masing di antara kami. Bagiku ini penting, tak bisa dijadikan pembahasan receh. Jujur aku memang ingin punya keluarga. Punya orang yang bisa dipanggil Ayah atau Ibu. Sebuah cita-cita dari kecil. Semua anak yang tinggal di panti pasti merindukan hal ini. "Sepertinya pilihan Reni tepat. Aku memang tak sembarangan menjadikan seseorang itu anak. Kami memang cuma mempunyai Reni, tapi bukan berarti setelah dia hilang, semoga saja tidak. Cuma mengandaikan saja kalau terjadi. Orang tua mana yang mau anaknya pergi lebih dulu. Andai bisa menggantikan, seharusnya kami saja yang suda
Read more
Pertemuan Kta terduga
"Mbak kenal?"Sintya bertanya memastikan. Menatapku penuh selidik. "Eh, nggak." Dengan cepat aku menggelengkan kepala, membantah. "Entahlah. Kayaknya salah orang," lanjutku meragu, takut salah orang. Awalnya aku sangat yakin saat melihat wajahnya barusan, tapi tak berani bercerita pada Sintya, takutnya memang salah orang. Apalagi yang sedang kami bicarakan adalah ibunya Pak Dokter. Aku tak ingin nantinya disebut sok kenal atau sok dekat. "Oh, Mbak ngomongnya kayak meyakinkan. Kirain kenal. Tapi nggak mungkin juga sih, kenal dimana. Iya kan? Nyonya besar pasti kumpulnya di tempat elit. Eh, bukan maksud merendahkan, tapi–"Sintya tampak salah tingkah dan merasa bersalah dengan ucapannya barusan. Aku tersenyum tipis membalasnya. "Santai Sin, aku ngerti kok. Nggak tersinggung juga." Kutepuk pundak Sintya meyakinkannya kalau aku baik-baik saja. Toh, memang begitu kenyataannya. Tidak mungkin aku satu cicle dengan mereka. Jangkauan pertemanananku bukan orang kaya. "Syukurlah Mbak, maaf.
Read more
Tak Diizinkan Pergi
"Hanifah, Bu?" Aku mengulurkan tangan ke arah Bu Amelia, seraya menyebut nama. Namun Bu Amelia belum menyambut uluran tanganku, dia memicingkan mata seolah memindaiku. "Jeng." Bu Rosa menegur. "Amelia." Tanganku akhirnya dijabatnya yang hampir saja kutarik karena kelamaan tak disambut. Kukira Bu Amelia tidak mau bersalaman denganku. "Kamu … Hanifah yang …." Tanganku masih dijabat Bu Amelia. Sepertinya beliau telah mengingatku. Jadi aku tak salah orang. Dia memang Bu Amelia yang tak sengaja bertemu di jalan, dan kubantu saat ban mobilnya yang kempis dengan menelponkan tukang bengkel. . Aku tak berani mengiakan, menunggunya mengingat sendiri atau memilih pura-pura lupa saja. Biar tak malu. "Hanifah yang membantu saya waktu ban mobil saya kempis kan?" tebak Bu Amelia dan aku tersenyum dalam hati. Beliau ingat. "Oh, Ibu, Ibu Amelia ya," ujarku mengiakan. Sok lupa. "Iya, astaga ketemu di sini." Tiba-tiba dia merangsek memelukku membuatku terkejut karena tak siap. Tak menyangka Dapat
Read more
Ternyata orang kaya
"Ayo masuk. Anggaplah rumah sendiri." Tanganku diraih Bu Rosa yang terdiam membeku di tempat, dituntunnya aku agar masuk ke dalam rumahnya. Aku diam dan manut saja seolah terhipnotis. Berjalan pelan sambil mengamati sekeliling. Bukan apa. Rumah orangtua Reni ternyata sangat besar. Aku takjub melihatnya. Kuharap Bu Rosa tidak melihat bagaimana ekspresi wajah yang kubuat. Mata membelo dengan mulut ternganga, aku yakin seperti itu ekspresiku barusan. Ekspresi itu spontan saja karena melihat hal yang selama ini tak pernah kulihat secara dekat. Rumahnya lebih besar dari rumah Reni. Artinya Reni itu anak orang kaya. Aku tak tahu dan tak pernah menyangka bisa berteman dengannya. Almarhumah juga tak pernah cerita. Memang benar kata Orang-orang kalau orang kaya itu terlihat kaya secara diam-diam, bukan dengan cara pamer. Bahkan mereka malah lebih nyaman saat mengenakan hal yang biasa saja, tidak haus akan sebuah brand produk. Meskipun tidak semuanya. "Selamat malam Bu."Aku terdiam di sisi B
Read more
Penghuni Baru
Pov Akbar"Bagaimana Bu? Yang kerja sudah datang?" Aku menghubungi Ibu di rumah mumpung jam istirahat tiba. Penasaran apa orang dari yayasan penyalur jasa itu sudah datang atau belum. Seharusnya sudah, tapi tak ada kabar dari Ibu. Padahal janjinya jam delapan pagi, dan ini sudah jam duabelas siang, tapi Ibu tak ada menghubungi sampai sekarang membuatku penasaran kabarnya. Aneh. Tidak biasanya. Makanya aku berinisiatif menghubungi lebih dulu. "Iya, sudah datang. Sudah kerja juga hari ini. Bagus kok. Maaf ya Ibu lupa bilang. Ibu ketiduran. Mungkin karena nggak enak badan, dan tadi Surti mijatin. Eh pijatannya enak banget sampai lupa hubungi kamu. Ibu ketiduran." Terdengar kekehannya di ujung telepon. Aku mengernyit mendengar penjelasan Ibu. Surti? Apa nama yang kerja itu Surti ya? Sepertinya aku lupa-lupa ingat siapa namanya. "Namanya Surti ya, Bu?" tanyaku memastikan. "Iya, Surti. Iya kan?" "Kok nanya balik? Kan dia bawa CV-nya sendiri, Ibu bisa baca. Benar apa nggak, kemarin juga
Read more
Dapat surat cinta
Kata orang, beristri lebih dari satu itu enak, karena saat yang satu ngebosenin, maka yang satunya masih fresh. Lebih segar dan lebih ngangenin, bikin jiwa kembali muda. Jadi hidup rumah tangga juga berwarna, tidak itu-itu saja. Awalnya aku membenarkan. Apalagi saat lagi hangat-hangatnya dengan istri kedua. Dunia terasa cuma milik berdua. Aku melupakan sejenak istri pertama. Namun setelah menjalaninya lebih lama apalagi setelah pernikahan kedua diketahui oleh istri pertama, petaka itu akhirnya dimulai. Kesengsaraanku tiba juga. Istri pertama terpaksa pergi, maka istri kedua menggantikan. Kukira istri kedua bakal bisa menjalani status seperti istri pertama, namun nyatanya tidak. Aku makin terpuruk dan berharap istri pertama kembali. Hanifah. Kembalilah. Aku menunggumu, Sayang. ***"Pak, ini ada kiriman, katanya buat Bapak."Surti menghampiriku yang baru keluar dari kamar."Kiriman apa? Pagi begini?" tanyaku heran. Bingung saja sejak kapan datang kiriman di jam pagi bahkan belum jam
Read more
Sidang cerai
"A–apa Riz? Jangan tersenyum seperti itu, menakutkan tau!" Aku akhirnya mendelik tajam ke arahnya sembari menoyor Kepalanya agar sedikit menjauh. Mencoba menghilangkan ketakutan. Sedikit kesal juga karena ditatap aneh seperti itu. Laki-laki yang kepalanya baru kutoyor itu malah terkekeh sendiri. Lalu kembali mendekat, duduk di sampingku. "Maaf, aku cuma mau ngasih info."Kembali aku menatapnya sebentar dengan alis terangkat isyarat bertanya. "Kemarin aku lihat istrimu jalan dengan laki-laki lain. Tidak mesra tapi mereka satu mobil bersama dan kamu tahu mereka naik mobil apa?"Istriku jalan bersama laki-laki lain? Siapa? Kapan? Apa semudah itu Hanifah melupakanku? Kenapa juga harus dilihat Rizki? Dan kenapa Hanifah tak bisa jaga marwahnya yang masih berstatus istriku secara hukum? Degupan jantungku belum berhenti berdetak kencang mendengar info yang diberikan Rizki dan sangat mengejutkanku itu, dia malah lebih tertarik membahas mobilnya. Namun aku jadi ikut penasaran, memangnya o
Read more
yang satu bikin rindu, sedang satunya bikin eneg
Hani, itu kah kamu?Aku berbisik dalam hati. Rasa tak percaya dengan penglihatanku. Baru hitungan bulan, istri yang tak sengaja kutalak tersebut kelihatan tambah lebih cantik. Apa gara-gara laki-laki yang berjalan beriringan dengannya tersebut? Inikah orang yang diceritakan Rizki waktu itu? Jadi ini laki-laki yang membuatku tak karuan tidur karena memikirkannya? Laki-laki berpakaian necis dengan perawakan yang lebih cocok dianggap sebagai ayahnya daripada pacar. Calon suami apa om-oman Hani? Ah, tidak mungkin. Apa iya Hanifah tega jadi simpanan atau pacar dari laki-laki tersebut demi bertahan hidup? Seharusnya kembali saja padaku, akan kupenuhi apa pun maunya. "Hanifah," sapaku lebih dulu mencoba akrab, selain itu ingin melepas rindu. Namun wanita yang masih sah sebagai istriku itu di mata hukum cuma tersenyum tipis dan sepintas saja menoleh ke arahku. Aku sampai mengernyit dibuatnya. Sombong! Mungkin itu kata yang pas. Apa karena gaya hidupnya yang berubah jadi membuatnya besar k
Read more
Perubahanku dam sidang cerai
"Hani." Aku menoleh ke asal suara. Yang memanggilku barusan Bu Rosa. Langkahku yang ingin kembali ke kamar terhenti olehnya. Beliau sepertinya baru datang dari arah kamar juga. Aku yang berjalan menunduk tak menyadari kehadirannya. "Mau kemana?""Kamar, Bu," jawabku jujur karena yakin dia tahu kemana arah yang ingin kutuju. Jalan yang kulewati cuma satu arah dan tertuju ke arahnya. "Ngapain? Ikut Ibu saja daripada mengurung diri di kamar." tanganku digamitnya erat sehingga langkahku tertarik kemanapun ia pergi. Tak bisa menolak kuturuti maunya. "Jangan pergi dulu. Masih ada malam tahlilan untuk Reni. Mau kan masih di sini barang semalam, atau dua malam?" tanyanya terkesan memaksa. Pertanyaan Bu Rosa berhasil membuatku menggaruk kepala. Bingung harus menjawab apa. Sedangkan diriku sebenarnya memang harus pergi dari tempat ini. Takut dianggap mencari muka atau kesempatan karena diterima baik oleh orangtua Reni. "Ya, hormati Reni sekali lagi. Dia pasti senang di atas sana kalau me
Read more
pesta syukuran
Pov Akbar Sidang demi sidang dijalani, tapi harapanku sia-sia. Hanifah tetap bersikeras untuk bercerai dan setelah sidang mediasi pertama kami, dia tidak pernah datang lagi. Semua sidang diwakilkan pengacaranya. Padahal aku sengaja datang hanya untuk bertemu dengannya. Namun orang yang kutunggu tak pernah menampakkan batang hidungnya. Entah seperti apa hidupnya sekarang, apa benar dia ada main dengan pengacara tersebut atau laki-laki lainnya karena gaya hidup Hani benar-benar berubah. Berbanding terbalik denganku, hidupku saat ini terasa hampa tepat saat pembacaan hasil sidang perceraian kami dimana kami–aku–dan–Hanifah dinyatakan resmi bercerai. Ketuk palu yang paling kutakutkan akhirnya terdengar juga. "Hei, sabar. Ini cobaan. Namanya juga hidup ada pasang surutnya kehidupan. Kalau kamu sudah dinyatakan tak bersamanya ya sudah. Jalani saja. Ini pasti sudah takdirnya." Eka, rekan kerja di kantor mencoba memberi kekuatan dan nasihat atas hasil keputusan sidang perceraianku dimana
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status