Semua Bab Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu: Bab 11 - Bab 20
69 Bab
Aku Menyerah
"Maksudnya, apa?" Aku bertanya memastikan. Kutatap lekat gadis berumur 21 tahun ini. "Lupakan. Pertanyaannya cukup sekali dan tidak bisa diulang, apalagi dijelaskan. Pahami sendiri. Makanya sekolah tinggi biar nggak dibodohi." "Eh, kok?" Dina menatap heran dengan apa yang kulakukan padanya. Kuhentikan aktivitas makannya dengan menahan sendok yang ingin di arahkan ke mulutnya. Sikap Dina sudah keterlaluan. "Jelaskan dulu apa maksudmu barusan, Din! Jangan membuat teka-teki lagi. Jangan juga mengejek hidupku yang memang tak bisa melanjutkan sekolah setingkat universitas sepertimu. Aku tak seberuntung kamu, tapi jangan hina aku. Aku ini kakak iparmu, sedikit saja hormatilah. Tak perlu membungkukkan badan, cukup berkata baik padaku maka aku juga akan baik padamu." Dengan tajam kubalas perkataan Dina. Sudah sekian lama bersabar, akhirnya pecah juga. Emosi yang tertahan itu terpaksa harus dikeluarkan padanya. "Seharusnya dari awal bersikap seperti ini. Jadi Kakak tidak akan ditindas, apa
Baca selengkapnya
Akhirnya
"Ayo makan. Ada mie ayam. Mau?" Aku terkejut mendengar tawaran Dina padaku. Tiba-tiba saja dia muncul dan ada di hadapanku. Membuka bungkusan kresek yang dikatakannya barusan adalah mie ayam. "Kamu saja," tolakku tak bersemangat. Seketika Dina mendelik ke arahku. Lalu menggelengkan kepala seolah gelengan itu untukku. Aku diam saja malas menanggapi. "Katanya sudah kuat, tapi kok melihat gituan sudah down lagi." Celetukan Dina memantikku untuk menatapnya. Yang barusan itu apa? Tentang siapa yang dimaksudnya? Aku bertanya dalam hati sambil menatap gadis berumur 21 tahun tersebut minta penjelasan. "Ayo makan. Hidup ini keras Kak. Capek berjuang sendiri, mending sekarang pikirin diri sendiri, karena kita itu berharga." Lagi-lagi Dina berteka-teki padaku. Entah kenapa aku berpikir kalau dia sedang menyinggung masalah yang sekarang ini sedang dihadapi. Tentang rumah tanggaku yang telah retak. Dan ucapannya adalah perkataan yang pernah kulontarkan dulu padanya. Untuk apa dia mengulangny
Baca selengkapnya
Pergi
"Hanifah, mulai hari ini kamu kubebaskan. Kamu bukan istriku lagi. Dengan kesadaran penuh aku menalakmu!"Pernyataan talak itu terngiang jelas di telingaku seolah kamar ini telah menggemakannya berulang kali. Aku terdiam membisu di tempat. Masih dalam posisi sama seperti sebelum Mas Akbar pergi. Berdiri terpaku dengan kaki yang bersandar pada tepi ranjang. Ternyata laki-laki tersebut tak ada berkeinginan untuk mempertahankanku sebagai istrinya. Bahkan dengan mudahnya memberi talak untukku demi anak yang bukan darah dagingnya. Perlahan tapi pasti badan ini merosot ke bawah. Aku terduduk menyedihkan setelah kepergian suamiku tersebut dari kamar ini. Kutatap lekat satu per satu apa yang bisa kulihat di dalam ruangan 3x4 meter ini. Kamar yang lumayan luas untukku yang dulu pernah tinggal di panti asuhan. Air mata akhirnya luruh juga. Ternyata aku tak sekuat yang kupikirkan. Hatiku tak sehebat yang kudengungkan. Pernyataan laki-laki tersebut meluluhlantakkan hati dan pikiranku saat ini
Baca selengkapnya
Awal Mulanya
Pov Akbar"Ini Mas, minumannya."Aku mendesah pelan melihat minuman yang disuguhkan Hanifah. Bukan tak suka, tapi sudah bosan rasanya minum, minuman yang dibilangnya adalah minuman kesehatan. Aku tidak sakit, tapi entah kenapa, sudah beberapa bulan ini istriku itu selalu menyuguhkan minuman tersebut. Dulu lebih parah lagi, dia memberikanku obat-obatan yang katanya cuma vitamin untuk kebugaran tubuh. Menjagaku agar tak gampang sakit. Nyatanya aku tetap jatuh sakit hingga akhirnya memohon untuk menghentikan penggunaan vitamin tersebut. Tak mempan dan buang-buang uang saja. Istriku itu aneh sejak terakhir kami melakukan tes kesehatan dan tes kesuburan diri masing-masing. Padahal hasil tes tersebut telah menyatakan kami berdua dalam keadaan sehat dan tidak ada masalah dengan hasil kesuburan kami. Aku pun tidak mempermasalahkan kami yang sampai menjelang usia pernikahan yang ke lima tahun, belum juga dikarunia seorang anak satu pun. Kami masih tetap mesra karena aku sangat mencintainya,
Baca selengkapnya
Caraku Meraih kunci Surga
"Hani, Mas pergi dulu ya?"Aku pamit pada Hanifah dengan alasan dinas keluar kota. Padahal bukan. Aku pergi ke kota Te Yusni memenuhi keinginan Ibu yang ingin aku bertatap muka dulu dengan Nita agar saling mengenal. Dengan terpaksa kupenuhi keinginannya tersebut. Meskipun belum tertarik pada wanita tersebut, paling tidak setelah ketemu, aku punya alasan untuk menolaknya. Bilang saja tidak cocok atau bukan kriteriaku. Sebenarnya Ibu sudah menunjukkan fotonya sebelum pergi menemuinya secara langsung. Cantik, tapi entah kenapa aku belum tertarik dan seolah-olah malas untuk dijodohkan dengannya. Entah kenapa, hati meragu. Jadi Ibu memaksaku menemuinya dulu agar keputusanku tersebut tidak salah. "Iya, Mas. Hati-hati di jalan ya. Semua pakaian Mas sudah rapi di dalam koper. Tak lupa juga kumasukkan obat dan vitamin. Ingat jangan lupa diminum, ya. Jangan begadang juga. Tenaga Mas jangan diforsir."Aku tersenyum renyah padanya. "Iya," jawabku singkat sembari mengecup keningnya mesra. Ini yan
Baca selengkapnya
Permintaan Nita
Aku kembali pamit pada Hanifah untuk pergi dinas ke luar kota lagi dan itu bohong. Diatur dua minggu setelah pertemuanku bersama keluarga Nita agar Hanifah tidak curiga kalau aku ke sana untuk melamar wanita lain. Hanifah seperti biasa mengizinkan. Meskipun dia cukup kaget karena izin dinas kali ini lebih lama dari sebelumnya. Aku bilang padanya bakal dinas selama lima hari, dan Hanifah tidak menaruh curiga sama sekali. Itu karena sikapnya yang seperti biasa saja saat aku mengutarakan maksudku pergi saat itu. Kali ini aku pergi bersama Ibu dan satu teman yang sudah kuanggap sahabat. Dia akan menjadi saksi pernikahanku nantinya dan tentunya terpercaya. Dina, adikku tidak ikut serta karena bakal membuat Hanifah curiga kalau kami pergi membawanya dan meninggalkan Hanifah sendirian di rumah. Apalagi Dina sangat menentang rencana pernikahan ini. Dia tidak setuju aku menikah lagi dan mengkhianati Hanifah yang sudah dianggapnya sebagai kakak kandungnya sendiri. Hubungan mereka memang sang
Baca selengkapnya
Suara Misterius
"Astagfirullah!" Aku tersentak kaget mendengar suara pintu yang ditutup keras. Suaranya membangunkanku yang baru saja terlelap tidur. Perasaan aku baru saja memejamkan mata, sudah dipaksa bangun lagi. Ada sedikit rasa kesal menyeruak. Namun tak tahu kemana harus dimuntahkan. Nita yang berada di sebelahku tampaknya tidak terganggu sama sekali. Dia terlihat nyenyak saja, tak terbangun sepertiku. Eh, tapi itu tadi apa? Suara apa? Sungguhan suara pintu yang ditutup kencang atau ….Apa aku yang salah dengar? Daripada dirundung penasaran, bergegas aku bangkit dari rebahan dan segera bangun menuju pintu kamar. Suaranya dari kamar sebelah kiriku dan itu kamarnya Dina. Apa benar adikku itu yang melakukan hal tersebut atau gangguan gaib? Kurang kerjaan sekali dia. Namun kalau diingat-ingat, tiba-tiba bulu kudukku meremang memikirkan hal tersebut. Pikiranku sudah bercabang saja kemana-mana. Semua beraura negatif. Siapa juga yang malam-malam melakukan hal yang sangat mengganggu tersebut kec
Baca selengkapnya
Aku Telat Menyadarinya
"Mas.""Hm.""Mas, bangun."Sayup seperti ada yang memanggil namaku. Suara itu ….Nita. "Mas!"Mataku dengan cepat mengerjap, terkejut saat bahuku ditepuk keras seseorang. Nita. Benar dia yang melakukan hal tersebut, membuat mataku melek seketika. "Iya. Ada apa, Nit?" sahutku menoleh ke asal suara, bertanya. Keadaanku masih setengah sadar sembari mengumpulkan nyawa yang masih belum lengkap. "Sudah pagi. Mas nggak kerja?" tanyanya seraya berbaring kembali di sampingku. Ia memelukku. "Kerja? Astaga, Nit, kenapa Mas baru dibangunkan?" protesku tersadar sembari menyingkirkan tangannya dari atas perutku. Aku sedikit kesal setelah melihat jam digital di atas nakas menunjukkan pukul 06.35. Tentu saja itu waktu yang buruk karena artinya aku telah terlambat berangkat ke kantor dan Nita tampak biasa saja seolah meremehkan. Bergegas aku turun dari ranjang untuk menuju kamar mandi."Maaf, Nita kesiangan juga, Mas. Ini baru bangun kalau Ibu tidak mengetuk kamar kita dan menanyakan keberadaan
Baca selengkapnya
Surat Dari Hanifah
"Minggat?" Ibu membeo ucapanku. "Maksudnya Hani pergi dari rumah ini tanpa pamit?" tanyanya memastikan. Nadanya naik se-oktaf. Aku mengangguk lemah seraya mengusap kasar wajah. Tak pernah terbayangkan kalau dia akan pergi dari rumah ini. Tanpa pamit lagi. Bahkan aku tak tahu kapan dia pergi. Mendapati hal ini entah kenapa hatiku terasa sesak. "Nah, kan! Tambah nggak sopan. Seenaknya aja dia pergi. Sudah Bar, ajukan saja gugatan cerai, biar nyaho istrimu itu. Sudah kebangetan pergi nggak pamit. Apa sih maunya Hani? Sudah enak hidup di sini, semua ada, semua terpenuhi, punya suami dan mertua yang baik, eh, cuma dimadu doang milih minggat."Aku tak ingin menanggapi ucapan Ibu. Tidak penting juga dan sedikit heran. Bagaimana bisa Ibu berucap seperti itu? Perkara diduakan itu bukan masalah kecil. Tidak semua mau dan pasti sakit bagi kaum wanita, hanya saja kenapa Hani tidak bertahan barang sebentar sampai anak yang diimpikan lahir, pasti aku akan kembali padanya lagi. Jadi tak perlu ada
Baca selengkapnya
Galau
"Mas, ada apa?" Baru juga menghampiri Ibu dan Nita di ruang makan sudah dicecar pertanyaan oleh istri mudaku itu. "Makan saja, jangan tanya dulu." Tanpa menoleh ke arahnya, aku menjawab ketus. Lalu duduk di seberang dia dan Ibu. Kutunggu lima menit, Nita diam saja, dia tak peka. Terpaksa aku mengambil sendiri piring dan makananku. Ia tak melayaniku seperti Hani. "Ekhem." Mendengar dehaman Ibu refleks kepala menoleh padanya. Saat mata kami bersirobok, Ibu mengedipkan matanya menyorot ke Nita seolah memberi kode padaku. Mungkin teguran atas sikap ketusku pada istri mudaku tersebut. Kulihat Nita makan tanpa semangat. Makanan di piringnya cuma diaduk-aduk saja dengan wajah ditekuk. Aku mendesah berat. 'Wanita memang aneh'. Sebenarnya lagi malas, tapi kode dari Ibu tak bisa diabaikan. "Nit, ayo makan. Jangan diaduk begitu makanannya. Maaf Mas tadi lagi banyak pikiran, tapi tolong jangan ditanya dulu, ya? Boleh kan?" Aku membujuknya lembut untuk makan dengan benar. Andai Nita tidak ham
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status