Kengerian semalam akhirnya lewat juga.Tak perlulah kuceritakan lagi penyiksaan macam apa di Dark Room itu. Jangankan kalian, aku saja muak. Tak hanya pada Hartono, terlebih pada diri sendiri. Aku muak kenapa tidak lari dari kepahitan ini, padahal tak ada yang menghalangiku pergi. "Kau memang sialan." Ujarku lirih pada udara yang kuhirup. Betul kata orang-orang. Sekali kau izinkan dirimu melewati batas, lama-lama tak akan ada lagi batasan. Segala hal jadi biasa. Meski tak pingsan lagi, kayak waktu pertama kali ke Dark room dulu, tetap saja badanku sakit semua. Padahal dosis anestesi yang disuntikkan cukup tinggi, sampai kesadaran hampir hilang.Samar-samar telingaku menangkap suara tirai yang digeser. Setelahnya seseorang duduk berlutut di sisi ranjang. Mataku yang sudah hampir membuka, buru-buru kututup. Lagi tak sudi berbasa-basi dengan manusia manapun. "Ma...maafkan Ibu Shanty. Anakku sudah membuatmu susah."Deg! Suara lirih Sumiati yang sesenggukan sukses membuatku tercekat.
Sepertinya semesta sedang murah hati padaku. Setelah kabar baik yang dibawa Hartono kemarin, sebuah nomor lama yang masih tersimpan di buku telepon-ku tiba-tiba membuat panggilan. Sekali, dua kali, tak kuacuhkan panggilannya. Biar saja dia mengiraku sombong. Ponselku pun berhenti berdering.Kukira manusia jahat itu menyerah. Ternyata di sore hari dia kembali berulah. "Halo? Dengan siapa?" sahutku ogah-ogahan" Saya Susi Bu, suster yang dulu bekerja di rumah. Apa ibu masih ingat saya?"Suara di seberang sana menyahut lembut, terlalu santun untuk wanita yang sudah terang-terangan menggoda suami orang. Tentu aku ingat! Mana mungkin bisa lupa dengan manusia sepertinya. Jangankan nama, bahkan cara dia menatap mantan suami pun masih kuingat jelas. "Oh, kukira entah siapa. Ada apa Susi?" Aku menyahut tanpa minat, seolah dirinya wabah yang harus dihindari. "Saya perlu ketemu Ibu. Ada hal penting yang harus saya sampaikan."Aku memandangi kuku tangan yang dicat nude. Kuku itu terlihat ber
Setelah Susi pergi, aku masih duduk di cafe ini.Menikmati angin yang samar-samar membawa uap air laut sepertinya bukan gagasan buruk di siang yang terik. Jadi kupesanlah secangkir kopi pahit dan kudapan manis untuk dinikmati sambil bersantai di sisi cafe yang menghadap laut lepas. Kuambil ponsel lalu menekan sebuah nomor yang tertera disana. Teleponku diangkat hampir seketika. "Halo Kak, ada apa?"Aku tersenyum mendengar suara lembut mendayu di seberang sana. Wanita sepertiku saja langsung meleleh apalagi pejantan busuk macam Roy. "Hai Velly, kerja bagus! Aku barusan ketemu Susi, nampaknya dia sangat putus asa."Suara tawa merdu langsung menyerbu telinga begitu kalimatku usai. Sepertinya Velly sangat bangga akan dirinya. "Tak masalah Kak. Sudah tugasku untuk bekerja sesuai kontrak."Ckckck, sangat mengesankan! Lihatlah betapa profesional kaum penghibur sekarang, sampai pakai kontrak segala. Padahal yang bekerja baik-baik saja kadang tak punya kontrak, hingga bisa diperlalukan sem
Hidup berjalan sebagaimana mestinya sampai di satu titik aku merasa ada yang tak wajar. Ibu mertua yang biasanya stay di kota ini -- meski jarang dirumah --, mendadak tidak nongol sampai tiga hari lamanya. Pun dengan Edwin yang kemarin mengajukan cuti demi urusan keluarga, tetap tidak ada kabarnya sampai detik ini. Yang bikin hati makin gundah, Hartono pamit ke Macau untuk seminggu namun sampai saat ini juga belum kembali. Padahal sepuluh hari sudah berlalu. Aku sangat bingung sekarang, terlebih karena tak ada teman bertukar pikiran. Ditengah kemelut otak yang makin menjadi, sebuah panggilan dengan kode negara Singapura, menyapa ponselku. "Halo, dengan siapa?" sahutku separuh bingung. "Hello, this is with Memorial Hospital."Ternyata suara di seberang sana asalnya dari sebuah rumah sakit swasta di Singapura. Pun kebetulan yang aneh jika rumah sakit ini tempatku bekerja dulu.Tak banyak yang bisa kutangkap dari pembicaraan ini, yang jelas wanita di ujung sana bilang Hartono sedang
Sejak pengakuan Hartono di rumah sakit dua bulan lalu, ada yang berbeda dalam hubungan kami secara emosional. Aku yang tadinya selalu risih bahkan untuk sekedar bicara dengannya kini mulai bisa memahami jalan pikiran suami. Seperti pagi ini, kala aku bersiap untuk menghadiri sidang terakhir perihal gugatan hak asuh yang kulayangkan pada mantan suami, Hartono duduk bersamaku di kamar ini.Aku menatap tampilan diriku dalam balutan rok sepan krem dan kemeja putih dengan leher beranda. Kupulaskan kembali gincu fuchsia di bibir yang kelewat nude. Aku tak mau terlihat pucat di depan Roy hari ini. "Selesai persidangan langsung pulang ke rumah, kalau mau ke tempat lain harus mengabariku lebih dulu." Suara maskulin yang empuk itu menyapa telingaku. "Tentu saja." Aku menyahut seraya berbalik menatapnya. Tidak seperti tampilannya yang selalu santai, hari ini dia terlihat formal dan kelimis salam setelan tiga potong warna gelap, membuat keseluruh
"Kau kenapa akhir-akhir ini?""Hah?" Sontak aku kaget bukan buatan sampai eyeliner yang sedang kuukir di mata jadi meluber kemana-mana. "Maksudmu?" Aku kembali bertanya pada suami yang entah sejak kapan sudah berdiri di ambang pintu. "Apa perlu kuulang lagi?" ucapnya penuh penekanan. Roman mukanya yang tegas mau tak mau membuatku jadi berpikir ulang tentang segala tindakanku belakangan ini, lebih tepatnya setelah bertemu Alex kemarin. Putraku memang tidak tinggal dengan kami -- sesuai kesepakatan di awal -- tapi bersama adikku Shania. Untungnya iparku tak keberatan. Selama hidup dengan keluarga mereka, atas persetujuanku Shania membawa Alex ke psikolog anak. Dari hasil pemeriksaan dokter, Alex punya trauma berat. Masih dari cerita Shania, anakku kerap terbangun di tengah malam sambil mengigau kadang cuma terisak-isak. Semua ini membuat otakku yang biasanya berpikir logis jadi berantakan. Puncaknya ketika kami sedang di Dark Room, aku
Tak tahu berapa lama aku tertidur, namun rintik hujan yang memukul kaca jendela dalam nada beriramalah yang menarik jiwaku dari alam mimpi.'Tempat ini seperti tak asing...'Kubuka mata perlahan hingga langit-langit ruangan nampak samar di depan mata.Mendadak sekelumit bayangan menyeruak dalam benakku. Astaga! Aku ingat sekarang. Semalam aku diculik tiga pria bertopeng, tapi kenapa… kenapa saat ini aku ada dalam ruangan yang terasa akrab bagiku?Mataku mengerjap lagi. Nyatalah ini memang kamar yang kutempati di apartemen Hartono. Perlahan aku mencoba bangkit, tetapi kepala sangat pening, rasanya seperti ada beban berat menghantam tempurung kepalaku. “Just lay down.” Suara dingin yang akrab tiba-tiba menyapa telingaku.Aku menoleh ke sana. Ternyata Hartono sedang berdiri di dekat jendela dengan posisi kedua tangan di dalam saku celana.Tubuh yang tadinya membelakangiku, kini berbalik hingga aku bisa melih
“Anda … kenapa bisa di sini?” Tanyaku terperangah, tak menyangka salah satu dosen tamu favorit di tempatku berkuliah dulu bisa muncul tiba-tiba.“Do you not ask me to sit first?”Aku berdehem kecil menyadari kegugupanku. Tanpa banyak tanya lagi segera kupersilakan dia duduk. Senyumnya masih sehangat dulu, meski ada sesuatu yang berbeda darinya. Garis wajahnya yang tampan makin tegas termakan usia.“Saya dengar … awak sudah berkahwin, ya?”“Ya, Mr. Yeoh. Belum sampai setahun.” Balasku sambil menyesap jus jeruk yang tinggal sedikit itu hingga tandas.Raut wajah Steven Yeoh agak mengernyit melihat gayaku menghabiskan minuman segar tadi hanya dalam sekali teguk. Bagi pria aristokrat sepertinya pastilah tindakanku ini tidak elegan sama sekali.Jangan salah. Meski Steven Yeoh cuma dosen tamu yang sesekali mengisi perkuliahan kami, latar belakang beliau cukup misterius. Pakaiannya memang selalu sederhana pun aksesoris yang dipakai. Tetapi mereka yang terbiasa hidup dalam kemewahan pasti paham