Hidup berjalan sebagaimana mestinya sampai di satu titik aku merasa ada yang tak wajar. Ibu mertua yang biasanya stay di kota ini -- meski jarang dirumah --, mendadak tidak nongol sampai tiga hari lamanya. Pun dengan Edwin yang kemarin mengajukan cuti demi urusan keluarga, tetap tidak ada kabarnya sampai detik ini. Yang bikin hati makin gundah, Hartono pamit ke Macau untuk seminggu namun sampai saat ini juga belum kembali. Padahal sepuluh hari sudah berlalu. Aku sangat bingung sekarang, terlebih karena tak ada teman bertukar pikiran. Ditengah kemelut otak yang makin menjadi, sebuah panggilan dengan kode negara Singapura, menyapa ponselku. "Halo, dengan siapa?" sahutku separuh bingung. "Hello, this is with Memorial Hospital."Ternyata suara di seberang sana asalnya dari sebuah rumah sakit swasta di Singapura. Pun kebetulan yang aneh jika rumah sakit ini tempatku bekerja dulu.Tak banyak yang bisa kutangkap dari pembicaraan ini, yang jelas wanita di ujung sana bilang Hartono sedang
Sejak pengakuan Hartono di rumah sakit dua bulan lalu, ada yang berbeda dalam hubungan kami secara emosional. Aku yang tadinya selalu risih bahkan untuk sekedar bicara dengannya kini mulai bisa memahami jalan pikiran suami. Seperti pagi ini, kala aku bersiap untuk menghadiri sidang terakhir perihal gugatan hak asuh yang kulayangkan pada mantan suami, Hartono duduk bersamaku di kamar ini.Aku menatap tampilan diriku dalam balutan rok sepan krem dan kemeja putih dengan leher beranda. Kupulaskan kembali gincu fuchsia di bibir yang kelewat nude. Aku tak mau terlihat pucat di depan Roy hari ini. "Selesai persidangan langsung pulang ke rumah, kalau mau ke tempat lain harus mengabariku lebih dulu." Suara maskulin yang empuk itu menyapa telingaku. "Tentu saja." Aku menyahut seraya berbalik menatapnya. Tidak seperti tampilannya yang selalu santai, hari ini dia terlihat formal dan kelimis salam setelan tiga potong warna gelap, membuat keseluruh
"Kau kenapa akhir-akhir ini?""Hah?" Sontak aku kaget bukan buatan sampai eyeliner yang sedang kuukir di mata jadi meluber kemana-mana. "Maksudmu?" Aku kembali bertanya pada suami yang entah sejak kapan sudah berdiri di ambang pintu. "Apa perlu kuulang lagi?" ucapnya penuh penekanan. Roman mukanya yang tegas mau tak mau membuatku jadi berpikir ulang tentang segala tindakanku belakangan ini, lebih tepatnya setelah bertemu Alex kemarin. Putraku memang tidak tinggal dengan kami -- sesuai kesepakatan di awal -- tapi bersama adikku Shania. Untungnya iparku tak keberatan. Selama hidup dengan keluarga mereka, atas persetujuanku Shania membawa Alex ke psikolog anak. Dari hasil pemeriksaan dokter, Alex punya trauma berat. Masih dari cerita Shania, anakku kerap terbangun di tengah malam sambil mengigau kadang cuma terisak-isak. Semua ini membuat otakku yang biasanya berpikir logis jadi berantakan. Puncaknya ketika kami sedang di Dark Room, aku
Tak tahu berapa lama aku tertidur, namun rintik hujan yang memukul kaca jendela dalam nada beriramalah yang menarik jiwaku dari alam mimpi.'Tempat ini seperti tak asing...'Kubuka mata perlahan hingga langit-langit ruangan nampak samar di depan mata.Mendadak sekelumit bayangan menyeruak dalam benakku. Astaga! Aku ingat sekarang. Semalam aku diculik tiga pria bertopeng, tapi kenapa… kenapa saat ini aku ada dalam ruangan yang terasa akrab bagiku?Mataku mengerjap lagi. Nyatalah ini memang kamar yang kutempati di apartemen Hartono. Perlahan aku mencoba bangkit, tetapi kepala sangat pening, rasanya seperti ada beban berat menghantam tempurung kepalaku. “Just lay down.” Suara dingin yang akrab tiba-tiba menyapa telingaku.Aku menoleh ke sana. Ternyata Hartono sedang berdiri di dekat jendela dengan posisi kedua tangan di dalam saku celana.Tubuh yang tadinya membelakangiku, kini berbalik hingga aku bisa melih
“Anda … kenapa bisa di sini?” Tanyaku terperangah, tak menyangka salah satu dosen tamu favorit di tempatku berkuliah dulu bisa muncul tiba-tiba.“Do you not ask me to sit first?”Aku berdehem kecil menyadari kegugupanku. Tanpa banyak tanya lagi segera kupersilakan dia duduk. Senyumnya masih sehangat dulu, meski ada sesuatu yang berbeda darinya. Garis wajahnya yang tampan makin tegas termakan usia.“Saya dengar … awak sudah berkahwin, ya?”“Ya, Mr. Yeoh. Belum sampai setahun.” Balasku sambil menyesap jus jeruk yang tinggal sedikit itu hingga tandas.Raut wajah Steven Yeoh agak mengernyit melihat gayaku menghabiskan minuman segar tadi hanya dalam sekali teguk. Bagi pria aristokrat sepertinya pastilah tindakanku ini tidak elegan sama sekali.Jangan salah. Meski Steven Yeoh cuma dosen tamu yang sesekali mengisi perkuliahan kami, latar belakang beliau cukup misterius. Pakaiannya memang selalu sederhana pun aksesoris yang dipakai. Tetapi mereka yang terbiasa hidup dalam kemewahan pasti paham
Mataku mengerjap sesaat. Nama ini seperti tak asing. Mendadak sebuah kesadaran menghantam ingatanku. Ya, Sachio ini cucu dari paman Jaya. Bocah kecil yang juga membuat Joyce menangis kemarin.“Okay, I will heading home first.” Kataku akhirnya setelah berhasil menenangkan diri akibat kelakuan usil Chio.Begitu tiba di mobil, wajah Joyce masih tetap murung. Matanya yang sembab dia arahkan ke luar jendela, menatap apapun yang ada di sana. “Joyce, sebenarnya apa yang terjadi?” Aku bertanya untuk kesekian di sela kegiatan mengemudi. Mulanya Joyce hanya menatapku enggan. Mulutnya yang mungil membuka dan menutup berkali-kali. Akhirnya kuletakkan tangan di bahunya, berharap ketulusanku bisa membuka hatinya.Sepertinya itu berhasil. Meski terbata-bata, Joyce mulai mengatakan inti masalahnya. "Chio bilang … Daddy orang yang sangat jahat, jadi dia pasti akan mati mengenaskan."Aku menatap wajah Joyce dari sudut mata. Sejujurnya aku s
Sesuai janjiku pada Hartono kemarin, aku benar-benar membawa Joyce pada seorang psikolog kenalannya. Sedikit aneh mengingat suamiku bukan tipe manusia yang suka di analisa orang lain. Tapi nada suaranya yang tegas waktu memberikan kartu nama mewah ini, cukup meyakinkanku kalau psikolog yang berkantor di kawasan elite ini handal di bidangnya. Suasana hangat dan mewah langsung menyambut begitu kami tiba di sana. Seorang resepsionis mengarahkan kami ke ruang praktik tanpa perlu antrian yang ribet. Lagi-lagi, kekuatan orang dalam tak bisa diremehkan.“Selamat pagi Bu Shanty, senang bertemu Anda.”Rieny, psikolog yang kami datangi menjabat tanganku erat. Wajahnya begitu muda dan cantik, lagipula dia putri konglomerat kenalan keluarga Halim. Mau tak mau, aku sedikit minder dibuatnya.“Selamat pagi juga, Bu.” Aku membalas tak kalah hangat."Aku tidak setua itu, panggil saja Rieny." Lanjutnya lagi dengan gestur tubuh bersahabat. M
Kukira setelah kejadian tak menyenangkan kemarin, Rieny bakal jera meminta kami datang. Nyatanya malam ini, di saat aku tengah sibuk berselancar di dunia maya, gawaiku bergetar pelan.Setelah memastikan ID pemanggil, kuhubungkan earphone ke telinga. "Apa kau sedang sibuk?"Suara dari seberang sana, diiringi bunyi ketikan pada keyboard jadi pembuka panggilan mahal ini. "Tidak, kenapa?""Kalau begitu bawa Joyce bertemu Rieny besok.""Ada lagi?" Gumamku menahan kesal."Tidak." Hening sesaat sebelum suara bariton itu, diluar kebiasaan mengatakan kalimat klise lainnya. "Kalau begitu selamat malam. Tidurlah."Setelahnya panggilan pun terputus begitu saja padahal aku belum sempat menguasai rasa kaget. "Dia bilang selamat malam?" Bisikku bagai linglung.Aku termangu-mangu sejenak sebelum akhirnya ingat rasa tak nyaman yang sempat mengganjal pikiranku tadi. Hartono memintaku bertemu Rieny lagi, dan perempuan s