Semua Bab Dalam Dekap Hangat Bos Dinginku: Bab 21 - Bab 30
200 Bab
21. Telanjur Merekomendasikan
Vincent duduk di tengah kebisingan ruang rapat yang seharusnya penuh keseriusan. Meskipun suasana rapat terlihat santai, tetapi kepekaan mata tajam sang CEO selalu memerhatikan setiap detail di sekitarnya. "Bagaimana dengan konsep pemasaran yang baru kita luncurkan?" tanya Vincent kepada seorang karyawan yang sedang presentasi, mewakili departemen pemasaran. Ardi membuka presentasinya dengan senyum penuh keyakinan di wajahnya. Sementara itu, di kursi eksekutifnya, Vincent menyimak dengan serius. “Kami telah merumuskan konsep pemasaran yang inovatif untuk apartemen baru kita, Pak.” Mata Ardi berbinar dan senyuman melebar.Vincent melihat layar presentasi dengan tatapan tajam, mengangguk sebentar. “Lanjutkan,” ujarnya dengan nada penuh wibawa.Ardi menjelaskan konsepnya dengan semangat, menggunakan gerakan tangan untuk menyoroti poin-poin utama. “Kami ingin menekankan gaya hidup perkotaan yang modern dan kenyamanan tinggal di sini,” jelasnya.Vincent mengangkat alisnya sedikit, menun
Baca selengkapnya
22. Resepsionis Rasa OB
“Gue tahu elu sekarang udah ada kerjaan, tapi kudu tetap luangkan waktu buat update chapter, dong! Tuh, ranking novel elu melorot lagi, hampir tersisih dari 10 besar!”Lisa memutar bola mata. Langkahnya gontai sepanjang menyusuri lantai marmer lobi gedung Menara 2 Sutomo Group yang berkilap. Dia lelah, ditambah sekarang dapat omelan dari Ninik. “Nek, tahu nggak sih lu,” Lisa cemberut, “posisi gue di perusahaan ini kan sebagai resepsionis, tapi kok gue kayak OB aja ya, disuruh antar dokumen ke sana-sini. Gue kayak nggak dihargai sebagai resepsionis yang mestinya cuma duduk manis di belakang meja menyambut tamu. Sialan banget kan?” Lisa mendengkus kesal.“Idih, diomelin editor lah kok malah curcol? Cuma elu penulis rese yang pernah gue handle, Lisa!” Lisa meringis sambil menjauhkan ponselnya dari telinga karena suara Ninik yang mulai melengking tinggi.“Berisik banget sih suara elu, Nek? Nggak dilempar pulpen tetangga kubikal elu apa?”“Nggak! Tenang aja, orang-orang di sini mah kupin
Baca selengkapnya
23. Kebuntuan Menulis
“Tuan? Tuan? Apa Anda di dalam?” Gagang pintu bergerak-gerak, Damien akhirnya menoleh seraya mengumpat, “Sial!” Rambut pria itu acak-acakan dan matanya nanar. Bibirnya basah dan sedikit memerah. Kancing kemejanya hampir terbuka seluruhnya, menampakkan dadanya yang bidang dan otot perut sixpacknya yang menawan. Damien tampak begitu seksi dan juga nakal dengan penampilannya yang berantakan seperti ini. “Tuan? Tuan? Bila Anda tidak menjawab, kami akan mendobrak pintunya.” Gagang pintu ruangan arsip itu kembali bergerak-gerak. Damien berteriak. “Diamlah kalian, aku aman!” Detik itu juga suara gaduh gagang pintu dan ribut-ribut para bodyguard seketika redam. Damien tersenyum usil melihat bagaimana tangan Alessandra gemetaran saat mengancingkan blusnya. Sepasang payudaranya yang menggemaskan tampak membusung dari balik bra berenda. “Perlu bantuanku, Alessa?” Wajah Alessandra memerah, dan dia berusaha mengalihkan pandangan. “Damien, ayo cepat keluar dari sini. Sebentar lagi kau kan h
Baca selengkapnya
24. Kekosongan Dalam Dada
Para penumpang yang kebanyakan orang kantoran saling berdesakan di dalam bus. Keringat dingin mengucur di kening Lisa, meskipun bus transjakarta yang ditumpanginya menghembuskan hawa dingin dari AC. Lisa berpegangan erat pada gantungan tangan di atasnya, seakan itu adalah nyawanya. Lisa memaksakan diri tetap masuk kerja meskipun lambungnya masih terasa nyeri. Dia tahu tak boleh cengeng dengan keadaan. Bagaimanapun dia harus mengandalkan dirinya sendiri. Dia tak punya siapa-siapa untuk mengurus dirinya kalau sampai jatuh sakit. Bus transjakarta telah meninggalkannya di salah satu halte terdekat gedung Menara Sutomo Group, dan tantangan selanjutnya adalah menavigasi kerumunan orang menuju kantornya. Di tengah kepadatan manusia, Lisa berusaha mempertahankan langkahnya, tak ingin tertinggal di antara mereka. Ketika kakinya berhasil menapak lantai lobi gedung Menara 2 Sutomo Group, Lisa tak langsung menuju lift. Dia berjalan ke arah sofa tamu yang terletak di sudut lobi dan menghempaska
Baca selengkapnya
25. Sakit Lambung
“Lisa. Kamu sakit?” Lisa mendongak pada pria bersetelan jas hitam rapi yang tinggi menjulang di hadapannya. Kening Lisa mengerut melihat sosok mantan suaminya tiba-tiba bersikap sepeduli ini padanya. “Lambung kamu sakit?” Ardi duduk di sebelah Lisa. Lisa segera menggeser bokongnya menjauh. Dia tak nyaman dekat-dekat dengan pria yang pernah menjadi suaminya ini. Lagipula aneh baginya melihat Ardi tiba-tiba berubah baik padanya, padahal selama 2 tahun pernikahan mereka, pria itu malah mengabaikannya. “Aku nggak apa-apa.” Lisa menyahut dengan nada acuh tak acuh. “Tapi kamu pucat.” Pria itu memandangi Lisa lekat-lekat. “Kenapa tiba-tiba kamu peduli?” Ardi menghela napas, mengumpulkan kesabarannya. Dia merasa maklum bila Lisa menunjukkan sikap antipati seperti ini, setelah apa yang terjadi selama 2 tahun pernikahan mereka yang berjalan dingin. “Lisa. Bagaimanapun, aku sudah janji pada mendiang mamamu, bahwa aku—” “Nggak perlu.” Lisa menyahut sebelum Ardi sempat menyelesaikan ucap
Baca selengkapnya
26. Cuma Punya Sombong
Lisa yang tengah menahan nyeri di lambungnya tak mengindahkan ucapan si petugas, bahkan telinganya berdengung saat ini. Lisa menggigit bibir menahan sakit. “Ehm, kamu baik-baik saja?” Suara bariton di belakang Lisa membuatnya menoleh, dan jantungnya menyentak kaget begitu melihat Vincent berdiri begitu dekat di belakangnya. Tiba-tiba lututnya terasa goyah, tubuhnya melemah, pandangannya mengabur, dan iapun pingsan. Dengan refleks yang bagus, Vincent gesit menangkap tubuh Lisa sebelum jatuh ke lantai. Dengan hati-hati, ia mengatur tubuh Lisa dalam dekapannya. Sementara itu, para petugas keamanan yang ingin membantu segera mendekat, “Maaf, Pak, biar kami saja,” tetapi Vincent menggeleng. "Biar saya saja, nggak apa-apa," tegasnya kepada mereka. Dengan sedikit canggung, Vincent membopong tubuh Lisa. “Tolong buka liftnya, ke lantai 2.” Vincent berkata seraya melangkah menuju lift. Petugas membuka lift VIP dan menekan tombol nomor 2, lantai di mana klinik kesehatan perusahaan berada.
Baca selengkapnya
27. Sumpah di Atas Ego
Ardi melangkah cepat meninggalkan klinik. Dia sudah mencoba membantu Lisa dengan tulus, namun penolakan mentah-mentah dari Lisa membuatnya jengkel. Ardi menuruni tangga, menuju mobilnya yang diparkir di basement. Sesampainya di mobil, Ardi duduk terdiam, mencoba menyelami kompleksitas hubungannya dengan Lisa di masa lalu. Meskipun sering kesal dengan sikap Lisa, Ardi tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Lisa pernah menjadi bagian hidupnya. Tangannya menggosok pelipisnya pelan. "Tidak akan ada habisnya dengan Lisa ini," gumam Ardi sambil menarik napas dalam-dalam. Dalam pandangannya, Lisa sumber masalah dalam hidupnya. Dia menganggap permusuhan di antara mereka selama ini akibat sikap keras kepala Lisa."Dalam keadaan seperti ini pun dia masih bersikeras menolak bantuanku.” Meskipun Ardi telah bersiap dengan kemungkinan penolakan Lisa, tapi tetap saja hatinya kesal.Ardi merenung tentang bagaimana sikapnya sendiri mungkin turut berperan dalam membuat hubungan mereka yang semakin rumit.
Baca selengkapnya
28. Luka Perceraian
Lisa terbaring di ranjang rumah sakit, menatap langit-langit di atasnya dan dinding putih di sekelilingnya. Suara alat-alat medis yang bekerja menjadi melodi yang menghiasi kesendirian di ruangan itu. Suasana tenang terasa kontras dengan gejolak emosinya. Meskipun ruang rawat inap ini penuh dengan pasien, Lisa merasa sendirian. Tak ada sosok yang menemani di sampingnya. “Lebih baik sendirian daripada harus ditemani Ardi,” gumamnya sambil menggigit bibir ketika kegetiran di hatinya kembali muncul. Pikiran membawa Lisa kembali ke saat-saat sulit, di mana Ardi, orang yang dulu ia kira akan menjadi tempat berlindung dan kebahagiaannya, malah menjadi sumber luka yang tak tersembuhkan. Lisa memejam, air matanya menetes ketika ingatannya kembali membawanya melayang ke satu masa yang telah menggoreskan luka yang mendalam. Sore itu, Lisa terpaku di tempatnya dengan wajah merah padam. Dia berkedip-kedip kaget. Lewat celah jendela dapur, matanya melihat hal yang tak sepatutnya dia lihat.
Baca selengkapnya
29. Alasan Bertahan
Lisa terisak, dia membenamkan wajahnya di atas bantal, dengan harapan bisa meredam suara tangisannya di tengah kesunyian. “Mama, Lisa kangen,” desahnya di sela-sela tangis. Ya, dia betul-betul merindukan sang ibu yang tak pernah bosan membelainya dengan kasih sayang, tak peduli seperti apapun keadaan Lisa. “Cuma Mama yang sayang Lisa,” gumamnya di antara isak tangis. Saat dulu mendengar bahwa mamanya menderita kanker, Lisa sadar dia tak punya banyak waktu untuk membahagiakan sang ibu. Karena itulah Lisa rela bertahan dalam neraka rumah tangganya bersama Ardi, sesuai keinginan mamanya. Apalagi dia juga butuh bantuan Ardi untuk merawat mamanya yang sakit, terutama bantuan keuangan. “Lisa. Kamu sudah dengar kan, berapa biaya yang dibutuhkan mamamu buat operasi dan terapi? Sayangnya itu semua nggak dicover asuransi dan aku juga nggak ada duit sebanyak itu.” Ardi seperti angkat tangan karena biaya pengobatan Nilam semakin membengkak parah. Lisa memutar otaknya dengan keras, seumur
Baca selengkapnya
30. Kurir Spesial
“Lisa, kamu dipanggil Bu Nata. Ada dokumen penting yang harus kamu kirim ke lantai 21.” Gerakan tangan Lisa yang sedang sibuk menginput data aliran dokumen terhenti sejenak saat mendengar Hanum menyebut lantai 21. Biasanya dia merasa senang setiap kali ditugaskan mengantar dokumen ke sana. Tapi kali ini tidak, entah kemana perginya antusiasmenya. Mungkin karena, selama dia dirawat, tak sekalipun Vincent menjenguknya di rumah sakit? Dalam hati Lisa bergumam, “Dia kan CEO yang punya segudang kesibukan. Sedangkan apalah aku? Sudah bagus dia mau nolong dengan tangannya sendiri pas aku pingsan.” “Bu Nata nungguin, cepatlah ke sana.” Suara Hanum mengeluarkan Lisa dari gelembung lamunannya. Mau tak mau Lisa mengangkat bokongnya dari kursi. Tanpa banyak bicara lagi dengan Hanum, dia segera menuju ruangan manager. “Lisa. Mungkin selama ini kamu bertanya-tanya tapi sungkan mau ngomong sendiri sama saya. Kenapa saya sering suruh kamu antar dokumen ke departemen lain, bukannya nyuruh OB?” uj
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
20
DMCA.com Protection Status