All Chapters of BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU: Chapter 11 - Chapter 20
87 Chapters
BAB 11
"Kalian salah paham." Ayra berbicara dengan tenggorokkan serasa tercekat. Tiba-tiba tempatnya didatangi orang-orang ini. Memergokinya bersama Satria. Dilirik lelaki itu, masih melongo atas apa yang didengarnya. Memberi tatapan tajam atas apa yang sudah dia perbuat sampai disangka yang tidak-tidak. "Benar. Kami tidak melakukan apa-apa dan tidak ada hubungan apa-apa." Dia membela diri. Tidak seperti dulu saat di rumah Haris malah mengakui. "Saya hanya membantu Ayra yang lagi sakit." "Alasan. Jelas-jelas tadi kami melihatmu berpelukan." Warga tidak mempercayainya. "Kalian mengaku saja jangan cari-cari alasan," sahut yang lain. "Kita bawa saja ke Pak RT!""Ya, kita bawa lalu nikahkan!"Ayra menggeleng-geleng tidak menyangka semua itu bisa menimpanya. Dia jelas tidak bersalah. Lagi-lagi, semua karna ulah Satria. Seharusnya lelaki itu tidak menemaninya, sampai ikut tidur bersama dan beraninya memeluknya. Dia yang setengah kesadarannya hilang akibat demam tidak begitu menyadari, yang di
Read more
BAB 12
Haris sudah rapi bersiap ke kantor. Sudah menyelesaikan sarapan yang disediakan Marni. Sedangkan Tisa tidak terlihat batang hidungnya. "Tisa kok belum pulang sih, Ris? Perempuan hamil besar seharusnya jangan bepergian sendiri. Bagaimana kalau terjadi sesuatu?" Marni terlihat cemas tapi juga tak suka Tisa lama pergi. Perempuan itu sering bepergian keadaan hamil pun. "Katanya sebentar. Tapi dari kemarin sampai sekarang belum pulang. Kamu telepon coba, Ris. Jangan sering kelayapan. Mana lagi hamil besar." Tanpa menimpali ibunya, Haris segera menghubunginya. Namun Tisa tidak menerima telepon. Tak kunjung diangkat. "Dia tidak bisa dihubungi." "Ya ampun. HPL-nya sudah lewat, harusnya dia hawatir dan harus sudah bedres di rumah." Haris pun merasa kesal. Sudahlah ditinggal Ayra sekarang istri mudanya juga sering tidak ada. "Aku akan menjemputnya sebelum ke kantor." "Bawa pulang dan kamu tegasi dia untuk jangan begitu lagi, Ris." "Baik, Bu." Haris beranjak ke luar rumah diikuti Marni
Read more
BAB 13
"Mas Haris?" Ayra membelalak, lantas menoleh pada Satria yang tampak biasa saja. Sama sekali tidak ada sorot takut terhadap kakaknya itu. "Hina apanya? Kami tidak berbuat seperti itu." Dia bicara lugas dan tegas. "Justru kamu yang lebih hina, tidak bisa melihat kebenaran," tambahnya. Seketika membuat Haris mengha-jar wajahnya. Ayra menjerit. Terlebih, Haris melakukannya tidak sekali dengan gerakkan cepat. Lelaki itu tidak dapat menahan diri lagi. "Cukup. Hentikan. Jangan pukul Mas Satria!" Haris melihat padanya. "Mas Satria?" ujarnya tersenyum sinis. "Karna sekarang dia suamimu jadi memanggil seperti itu, begitu? Kamu senang, hah? Akhirnya bisa berkumpul dengan teman zinamu ini?" Bugh! Belum sempat Ayra menjawab Satria gantian mengha-jar wajahnya. Lelaki itu memekik dan sedikit mundur. Menyentuh sudut bibirnya yang berdarah. Sama seperti dirinya, dia bahkan lebih dari satu di pelipis dan hidung. Haris hendak membalas tersulut emosi, tapi kali ini Satria menahannya. "Pergi da
Read more
BAB 14
Ayra mengerem langkah kaki begitu menginjak halaman rumah Haris. Ragu, takut juga enggan. "Tidak usah takut. Kamu tidak sendiri sekarang. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu." Satria menenangkan. Meyakinkan semua akan baik-baik saja. Ayra sempat melarangnya. Tapi dia tetap mau pergi. Perbuatan Haris kemarin tidak membuatnya kapok, juga tidak merasa terancam. "Ayo." Dia menggamit tangannya mengajak masuk. Satria mengucap salam. Tapi tidak ada yang menjawab. Pintu dia buka sendiri. Di dalam ruangan tampak lengang. Tak ada seorang pun. Dia terus melangkah pelan tak henti memegang tangan Ayra. "Kita langsung ke kamar Ibu." Istrinya itu hanya diam saja. Semua terserah padanya. "Heh, seenaknya kalian masuk rumah orang. Kaya maling aja." Keduanya berhenti mendengar suara Tisa. Perempuan hamil besar itu menuruni tangga dengan payah. Menghampiri mereka. "Beraninya kalian datang ke sini."Ayra hendak menjawab dicegah Satria menggelengkan kepala. Bibirnya yang terbuka mengatup
Read more
BAB 15
"Jangan pernah lagi panggil Satria anak haram, Ibu sudah peringatkan!" Bercucur air mata Marni. Tidak hanya Satria yang sakit hati atas ucapan Haris, dirinya juga merasakan hal sama. Lebih-lebih sebagai ibunya. "Benarkan yang aku katakan? Dia itu anak di luar nikah!""Tidak. Kamu salah Haris." "Anak hasil hubungan gelap Ibu dengan orang lain!" "Bukan ... Ya Allah, itu semua tidak benar. Sudah Ibu bilang berkali-kali sejak dulu. Ibu mengandung Satria sesudah menikah." "Aku tidak percaya!" Ayra menghampiri ibu mertua yang menangis sesenggukan. Dia tak mengerti, fakta ini baru diketahui. Perseteruan yang memanas, membuat Haris bersikap seperti itu. Bahkan terhadap ibunya sendiri. "Pergi kamu dari sini anak hasil selingkuhan!" Satria memukul bibir lelaki itu telah bicara seenaknya dan menarik kerah bajunya. "Mas sudah menyakiti Ibu. Sudah membuat Ibu menangis. Mas durhaka!" sentaknya. "Kalau benci aku, cukup benci aku saja, Mas. Tidak usah bawa-bawa Ibu!" Haris keterlaluan. Satria
Read more
BAB 16
"Tisa?!"Haris mendapati istrinya itu menangis tak berdaya di bawah ranjang. Merangkulnya. Di IGD Tisa ditangani dokter, Haris bertambah panik karna dia pendarahan dan lemas. Lalu diputuskan untuk secar. Perempuan itu kini di ruang operasi sedang berusaha dikeluarkan bayinya. Haris menanti cemas di ruang tunggu seorang diri. Ya, hanya seorang diri. Marni tidak bisa ikut dan tidak mau diajak ikut. Terpaksa Haris meninggalkannya. Pikirannya terbagi kemana-mana tak tenang. Antara istri dan ibu yang tak baik-baik saja. Perih hati lelaki itu, tak seorang pun menemani di saat momen menegangkan dan menghawatirkan. Keluarga Tisa tidak ada yang bisa dihubungi. Di saat seperti itu ia teringat Ayra, jika saja dia masih bersamanya tentu tidak akan getir sendirian. Biasanya saat perasaannya kacau perempuan itu senantiasa menenangkan dan selalu ada. Rasa menyesal itu mencuat lagi, dia membutuhkan kehadirannya. Pun dengan Satria, meski selama ini mereka tidak dekat cenderung masing-masing. Tap
Read more
BAB 17
Ayra tengah menyuapi bubur ibu mertua. Tidak jauh darinya Satria duduk memperhatikan. Pagi-pagi mereka sudah ke rumah sakit setelah semalam pulang. Malam panas bagi keduanya, namun tanpa ada kegiatan lanjutan. Ayra menolak keinginan suami barunya itu. Kini, ada rasa tak enak hati sudah membuatnya nelangsa menahan hasratnya. Tidak berani melihat, hanya sedikit menggerakkan sudut mata padanya yang terus diam. Kemudian teringat peristiwa itu lagi yang membuat keduanya kini canggung. "Jangan, Mas." Di tengah debar membuncah, Ayra menjauhkan diri. Menyingkirkan tubuh Satria yang sudah berpindah di atasnya. Merunduk hendak mengecup bibir. Seketika, lelaki itu menjadi merebah. "Kenapa Ayra?" tanyanya dengan napas sedikit tersengal. "Aku ... Aku belum siap." Ayra sendiri beranjak duduk. Menunduk. Memberikan alasan itu. "Kamu tidak usah takut Ayra. Aku bisa melakukannya hati-hati. Aku tidak akan menyakitimu." Bukan karna itu ... Ayra membatin. Dia sudah bukan anak gadis, berhubungan i
Read more
BAB 18
Sampai di kontrakan Ayra terus memikirkan. Satria tidak hanya membelikan IPhone, tapi juga membelanjakannya baju. Sekarang di kamarnya terdapat beberapa paper bag. Berisi pakaian. Pulang dari mall mereka langsung ke kontrakan menaruh belanjaan. Ayra memperhatikan itu semua di atas tempat tidurnya. Belum lagi kotak ponsel baru di tangannya. Dan mobil yang mereka pakai belum tahu milik siapa. Satria baru selesai mandi. Ayra melihatnya hanya menggunakan handuk sepinggang langsung menunduk. Laki-laki itu kadang memakai baju, kadang seperti itu sehabis keluar dari mandi. Ayra belum terbiasa melihat tubuhnya terbuka. Terus berpaling. Padahal sudah ia ingatkan untuk memakai di kamar mandi saja. Tapi Satria tidak menuruti. Dia cuek saja membuka lemari. Mengambil pakaian ganti. "Aku suamimu, Ra. Kamu gak perlu seperti itu." Dia memakai kaos di hadapannya. Selanjutnya melorotkan handuk begitu saja. "Mas Satria!" Ayra menjerit menutup mata. "Sembarangan!" Lelaki itu masih cuek. Duduk di s
Read more
BAB 19
"Kamu tanyakan saja padanya, Ra.""Kenapa, Bu? Ibu pasti tau lebih banyak tentang Satriakan?" "Satria sudah bilang pada Ibu untuk jangan menceritakan dirinya pada siapapun. Haris saja tidak tahu dia yang sekarang. Jadi, kamu bisa minta penjelasan langsung padanya." Ayra tak memaksa lagi saat ibu mertua enggan menjelaskan. Tidak lama pamit ke luar ruangan setelah Haris datang. Dia enggan dekat-dekat dengan lelaki itu lagi. Haris menatap kecewa dia yang pergi. Kini, Ayra tengah berada di mobil. Memutuskan pulang dulu. Marni ada Haris yang menjaga. Tisa di ruangan lain didatangi keluarganya. Satria entah ke mana tadi pamit ada urusan. Ayra pulang sekarang naik taksi daring. Sampai di kontrakan Ayra beres-beres dan memasak. Setelah itu hanya duduk termenung di sofa ruang depan. Kesal melanda dan tak tahu harus apa. Dia teringat tunggakan kontrakan. "Astagfirullah. Aku lupa," gumamnya. Cepat dirinya bangkit. Keluar menemui Bu Dita di rumahnya.Perempuan itu sedang melayani pembeli di
Read more
BAB 20
"Sayang, bangun," bisik Satria di dekat istrinya yang masih tidur. "Sudah subuh." Dia menyentuh lembut pipinya. Aira masih lelap. Meringkuk di sofa. Sama seperti Marni masih tidur di bed pasien. Pasangan suami istri itu menginap di rumah sakit. "Sayang?" Satria mencoba memanggil lagi. Berjongkok di hadapannya. Memperhatikan ia tampak imut menjadikannya tersenyum. Kemudian terpokus pada bibirnya yang terkatup, menatap gemas. Satria ingin sekali merasakannya. Dia berdehem kecil dan membasahi tenggorokkan yang mendadak terasa kering. Bibir itu ia sentuh mengusap halus dengan ibu jari. Bibir yang kerap cemberut setiap kali merasa terganggu. Lalu keluar kata-kata ketus. Bagi Satria semua itu tidak menyebalkan justru suka. Kini, pemilik bibir amat menggoda itu tengah tidur. Kelelahan ikut bergadang menemani dan menjaga ibunya. Sampai tidak mendengar suara adzan subuh. Satria mendekat tanpa bisa menahan diri lagi. Mata Ayra terbuka pelan, langsung membelalak melihatnya sangat dekat sep
Read more
PREV
123456
...
9
DMCA.com Protection Status