"Kamu tanyakan saja padanya, Ra.""Kenapa, Bu? Ibu pasti tau lebih banyak tentang Satriakan?" "Satria sudah bilang pada Ibu untuk jangan menceritakan dirinya pada siapapun. Haris saja tidak tahu dia yang sekarang. Jadi, kamu bisa minta penjelasan langsung padanya." Ayra tak memaksa lagi saat ibu mertua enggan menjelaskan. Tidak lama pamit ke luar ruangan setelah Haris datang. Dia enggan dekat-dekat dengan lelaki itu lagi. Haris menatap kecewa dia yang pergi. Kini, Ayra tengah berada di mobil. Memutuskan pulang dulu. Marni ada Haris yang menjaga. Tisa di ruangan lain didatangi keluarganya. Satria entah ke mana tadi pamit ada urusan. Ayra pulang sekarang naik taksi daring. Sampai di kontrakan Ayra beres-beres dan memasak. Setelah itu hanya duduk termenung di sofa ruang depan. Kesal melanda dan tak tahu harus apa. Dia teringat tunggakan kontrakan. "Astagfirullah. Aku lupa," gumamnya. Cepat dirinya bangkit. Keluar menemui Bu Dita di rumahnya.Perempuan itu sedang melayani pembeli di
"Sayang, bangun," bisik Satria di dekat istrinya yang masih tidur. "Sudah subuh." Dia menyentuh lembut pipinya. Aira masih lelap. Meringkuk di sofa. Sama seperti Marni masih tidur di bed pasien. Pasangan suami istri itu menginap di rumah sakit. "Sayang?" Satria mencoba memanggil lagi. Berjongkok di hadapannya. Memperhatikan ia tampak imut menjadikannya tersenyum. Kemudian terpokus pada bibirnya yang terkatup, menatap gemas. Satria ingin sekali merasakannya. Dia berdehem kecil dan membasahi tenggorokkan yang mendadak terasa kering. Bibir itu ia sentuh mengusap halus dengan ibu jari. Bibir yang kerap cemberut setiap kali merasa terganggu. Lalu keluar kata-kata ketus. Bagi Satria semua itu tidak menyebalkan justru suka. Kini, pemilik bibir amat menggoda itu tengah tidur. Kelelahan ikut bergadang menemani dan menjaga ibunya. Sampai tidak mendengar suara adzan subuh. Satria mendekat tanpa bisa menahan diri lagi. Mata Ayra terbuka pelan, langsung membelalak melihatnya sangat dekat sep
"Kenapa masih di sini? Kamu gak budek kan? Pergi dari sini!" Tak puas Satria mengatakannya sekali. Mengusir lagi karna Haris masih diam di sini. Ayra meliriknya untuk jangan marah-marah. Satria hanya muak, lelaki itu tak tahu malu. Suka mengganggu datang tiba-tiba. "Kenapa? Nyesel? Gak guna. Waktu gak bisa diputar kembali." Haris mengepalkan tangan karna geram, namun tak menampik semua benar adanya. Satria menatapnya mencemooh. Tidak seperti dulu dia terus bicara menyudutkannya dan Ayra. Sekarang tak berkutik. "Ayra sudah menjadi milikku. Aku sudah mengajukkan gugatan cerai Ayra denganmu di pengadilan. Untuk mendapat akta cerai. Lalu aku bisa meresmikan pernikahan kami." "Aku tidak akan pernah datang ke pengadilan!" sahut Haris cepat. Semakin terbakar hatinya oleh kemenangan sang adik. "Bagus!" timpal Satria. "Seperti itu lebih baik. Pengadilan akan mengabulkan gugatan cerai Ayra secepatnya." Dengan begitu keputusan bisa diambil secara verstek atas ketidak hadirannya selama masa
Haris hampir terjengkang didorong kencang Satria. Dia cepat berdiri tegap lagi tersenyum sinis. Betapa adiknya itu muntab dia sudah memeluk istrinya. "Jangan kurang ajar menyentuh Ayra!" Satria memperingati keras. Tidak mau melihat hal itu lagi. Dia kira Haris pria dewasa yang bisa menahan diri. Ternyata lebih kurang beradab darinya. "Ohh, ternyata kalian datang bersama ke sini? Tanpa seijinku." Dia tak menanggapi malah mempertanyakan kehadirannya di rumah ini. "Kami membawa Ibu pulang dari rumah sakit. Karna kamu tidak becus mengurusinya," balas Satria dengan kalimat menohok. Rasa geram masih kuat terasa, memicu kalimat itu terucap dari bibirnya. Ayra ada di belakangnya dengan perasaan dek-dekkan takut jadi ribut besar. Dia tidak menyangka Haris nekat memeluk."Aku punya bayi, aku juga bekerja bukan pengangguran sepertimu. Aku bukan tidak mengurusi Ibu tapi belum sempat."Satria maju selangkah hendak membalas lagi. Tapi Ayra mencegah. "Mas, sudah." Tisa menghampiri suaminya memb
"Satria sudah resmi menjadi anak Tuan Surya. Namanya sudah tercatat di kartu keluarga dia."Haris tercengang kedua kalinya mengetahui fakta baru. "Satria satu-satunya anak laki-laki Tuan Surya, dua anak lain dari istri pertamanya perempuan semua." Dan dia anak laki-laki satu-satunya? Mata Haris membelalak. Apa yang keluar dari bibir Marni jauh dengan apa yang dia harapkan. "Dua Kakak perempuannya sudah berkeluarga, mereka yang membantu mengelola perusahaan. Ibu mereka sudah meninggal beberapa tahun lalu." Marni membeberkan lebih banyak kebenaran. "Tuan Surya sudah berwasiat pada kuasa hukumnya tentang semua aset. Selain dua anak perempuan, Satria juga mendapatkannya."Haris limbung lagi mendengarnya, duduk lemas di kasur. Mendadak migrain kambuh nembuatnya memijit kepala. Bukannya mendapat kepuasan hatinya menjadi sesak. Ternyata ibunya banyak menyimpan rahasia Satria selama ini. "Ibu memang hanya dinikahi siri dan tidak lama berpisah. Tapi Tuan Surya menyayangi Satria." Marni be
Satria masih betah terus melakukannya, semakin menekan dalam. Dua pasang mata terus melihat dengan wajah yang begitu nelangsa, terutama Haris. Lemas jiwa raga dibuatnya. Hanya seperti itu tapi sudah mampu membuat hatinya tercabik-cabik. Sudah menjadi mantan hanya orang lain, tapi melihatnya tengah diperlakukan mesra oleh pasangannya sendiri rasanya sesakit ini. Bagaimana perasaan perempuan itu selama ini sudah bertahan saat dia membagi cinta dan raga untuk perempuan lain? Haris tak dapat membayangkan betapa menderitanya ia. Hanya seperti ini saja dirinya sudah sangat merana. Begitu terluka. Satria tahu mereka dari sudut matanya dan semakin menggila memanasinya. Haris mengepalkan erat tangan rasa ingin menghajar kembali. Namun, memilih pergi membawa sakit hati dan segala emosi. Tidak mau Ayra melihat betapa dia telah menderita. Tisa sama rasa ingin memaki. Tapi memilih menyusul suami. Mereka tidak jadi mengambil makanan. Terhalang dua sejoli yang tengah berciuman. "Sudah, Mas." Ay
Saat membuka mata, Ayra merasakan pelukan hangat Satria. Terdiam membiarkannya sembari mendengar lantunan adzan subuh yang begitu merdu di telinga. Membuat tentram hati. Seperti yang dilakukan suaminya ini. Satria bisa menahan diri walau ia tahu itu tidak mudah. Semalam dia menyuruhnya tidur lebih dulu sementara dirinya sendiri pergi ke ruang TV. Ayra pun mencoba tidur dengan sisa-sisa perasaan tak enak sudah menolak. Satria terusik merasakan sentuhan lantas membuka mata. Melihat sang istri sudah terjaga sedang memandangi atap sana sembari memegangi tangannya. "Gak apa-apa kan aku cuma meluk gini?" Sedikit tersentak Ayra saat dia tiba-tiba bicara seperti itu, kemudian menggeleng sembari meliriknya. "Aku mau solat, Mas." Suara adzan sudah selesai, selanjutnya terdengar pupujian lantunan shalawat. "Ya, Sayang, boleh." Satria menyingkirkan tangan dari perutnya melepas pelukkan. "Kalau Mas masih mengantuk tidur lagi saja." Dia tahu suaminya itu sehabis bergadang. Demi menenangkan di
"Halah, kalian itu menumpang di rumahku. Gak usah belagu!" Sinis, Haris katakan karena kesal Satria melarang Ayra membuatkannya kopi. "Kami ke sini untuk Ibu. Harusnya kamu berterimakasih sama Ayra sudah membantu merawat Ibu kita. Kamu bukan siapa-siapanya lagi, jangan seenaknya padanya." Satria terus melindungi sang istri. Dia sendiri pun tidak suka menyuruh-nyuruh Ayra, perempuan itu melayaninya atas kemauan sendiri. "Tisa bisa membuatkan kopi. Bikin kopi nggak berat. Kamu bisa gantiin gendong bayinya dulu." Satria memberi saran. Bukannya tidak bisa tapi Tisa hanya malas. Pun dengan suaminya ingin enak sendiri. Ayra melirik suaminya itu. Entah kenapa, dia senang mendengarnya. Satria berpikiran lebih dewasa dan mengerti dari pada kakaknya sendiri. Apakah dia akan suka hati gantian menjaga dan mengasuh anak nanti? Ayra jadi membayangkannya. Dia pun ingin memiliki bayi, sangat ingin. "Nggak usah sok ngajarin, kamu!" Haris tidak menerima saran darinya dan Ayra terkesiap. "Sayang, k