Semua Bab Mendadak Jadi Pengantin Kekasih Sahabatku : Bab 31 - Bab 40
94 Bab
Bab 31. Dikira Hamil
Kami kembali ke rumah sekitar jam sepuluh malam, motorku terpaksa di tinggal di rumah Ayah, dan aku pulang bersama Raka dengan mobilnya.Seperti biasa ketika kami sudah berdua, kami lebih banyak diam. Sampai kadang-kadang aku jenuh sendiri dan memilih tidur.Tapi kali ini aku nggak mau kejadian seperti waktu itu terulang lagi, bisa-bisa Raka membiarkan aku tidur di mobil sampai pagi.Aku memilih menyibukkan diri dengan ponselku, setelah di rasa sudah tak ada yang menarik lagi, aku meletakkan gawaiku di atas dasboard mobil.Aku memilih menatap ke luar jendela, menikmati suasana malam, di bawah temaram lampu jalanan dan kelap-kelip lampu kendaraan yang terus bergerak rapi.Tiba-tiba ponselku di atas dasboard berdering, aku pun langsung meraihnya."Arya," ucapku lirih membaca nama yang tertera di layar pipih itu.Belum sempat aku menggulirkan tombol hijau, tiba-tiba saja secepat kilat Raka menyerobot ponselku. Aku tersentak kaget sekaligus kesal dengan aksinya. Tidak sopan!"Hallo Bro!
Baca selengkapnya
Bab 32. Dimata-matai
Aku buru-buru langsung mengambil mangkok kosong dan berjalan cepat keluar, sambil netra ini melirik kesal ke arah Raka yang sudah mulai menyuap bubur ayamnya."Pak tunggu!" teriakku sebelum penjual bubur ayam itu benar-benar mendorong gerobaknya meninggalkan jalanan komplek depan rumah.Alhamdulillah Pak penjual bubur itu menoleh."Iya Mbak," sahutnya, aku tersenyum lega lalu melangkah turun dari lantai teras, mendekati gerobaknya."Mbak Amira nambah satu mangkok lagi? Wah, hebat ya, memang bumil kalau lagi pengin nggak cukup satu mangkok," celetuk Bu Sulis membuat aku menoleh, ternyata Bu Sulis masih berada tak jauh dari rumahku, membawa mangkok buburnya yang sudah berisi.Ah ternyata dia belum masuk rumah rupanya.Aku hanya tersenyum canggung, seperti kepergok habis melakukan sesuatu. Ia tak tahu kalau bubur yang tadi di makan Raka. Ah ya, aku kan sudah terlanjur bilang kalau Raka tidak suka bubur ya, pantas saja beliau mengira satu mangkok yang tadi sudah habis aku makan sendiri da
Baca selengkapnya
Bab 33. Datang cuma untuk memantau?
Baru saja aku turun dari motor dan menyerahkan helm yang kukenakan pada pengemudi ojeg online. Tiba-tiba sebuah lengan kekar melingkar di pinggangku. Aku terperanjat, kaget bukan main, dan reflek tanganku langsung menepis tangan seorang laki-laki yang baru kutahu saat aku menoleh seseorang itu, ternyata Raka."Raka!" Aku terpekik kaget.Hah, kenapa tiba-tiba dia bisa ada di sini? Apa jangan-jangan dia diam-diam memata-mataiku?"Ayo, mau masuk ke dalam 'kan?" Raka merengkuh pinggangku posesif, dengan setengah memaksa berjalan bersama memasuki Kafe. Seketika semua mata tertuju pada kami, terutama para karyawan.Aku hanya menyunggingkan senyuman canggung, beruntung Raka melepaskan tangannya dari pinggangku begitu akan memasuki Kafe, dan kini gantian ia meraih telapak tanganku, menggandengnya erat. Saat aku melirik ke samping melihat wajahnya, netra elangnya itu seperti mencari seseorang di dalam Kafe. Dan sesaat kemudian ia tersenyum kecil, seperti telah menemukan apa yang dia cari. S
Baca selengkapnya
Bab 34. Masuk kamar Raka
Waktu terus berlalu, tak terasa setengah tahun sudah aku menjalani biduk rumah tangga dengan Raka, rumah tangga yang tak sewajarnya. Kenapa aku menyebut ini tak sewajarnya, karena kehidupan kami berbeda dengan pasangan-pasangan lain. Dimana di tahun-tahun pertama pernikahan mereka tentu akan diliputi kebahagiaan. Berbeda denganku, yang masih begini, aku seperti wanita singel karena aku sama sekali tak melayani kebutuhan Raka, dalam segala hal, hanya status kami saja yang suami istri.Jujur yang aku rasakan hampa. Aku merasa hidup di tengah kepura-puraan hanya capek. Tapi tak mampu berbuat apa-apa selain menjalani ini.Tak ada kemajuan yang berarti antara aku dan Raka. Hanya saja kini kami berdua lebih terlihat kompak dan makin makin maksimal bersandiwara saat di depan kedua orang tua kami. Panggilan 'Sayang' terdengar ringan sekali terucap dari bibir Raka ketika berada di depan kedua orang tua kami. Sungguh sandiwara yang sangat totalitas sekali, bukan?Hari ini hari minggu seperti bi
Baca selengkapnya
Bab 35. Ketahuan
"Mama? Tumben kesini, nggak bilang-bilang dulu," tanyaku saat menemui Mama di meja Kafe. Aku langsung keluar begitu Mita bilang ada Mama mertuaku datang."Iya, ada yang ingin Mama sampaikan sama kamu. Mama ganggu nggak?""Oh nggak kok Ma, kebetulan Amira sedang nggak sibuk."Waktu masih menunjukkan jam sepuluh pagi, suasana Kafe juga masih lenggang."Sebentar Amira ambilkan minum ya Ma. Atau Mama mau nyemil atau makan berat?" tawarku."Eh, nggak usah Mir, minum aja Sayang.""Baik Ma, Jus alpukat?""Boleh deh."Aku pun mengangguk tersenyum kemudian dengan cepat melenggang ke dapur membuatkan jus alpukat untuk Mama mertuaku. Dalam beberapa menit aku kembali keluar dapur dengan membawa satu gelas jus alpukat dan satu gelas jus strawberry untukku.Mama tampak terdiam sambil mengetuk-ngetukkan jemarinya di meja. Pandangannya menerawang lurus ke depan. Raut wajahnya seperti terlihat risau.Tampak jelas seperti ada yang tengah Mama pikiran. Tiba-tiba aku teringat ucapan Raka, kalau Mama ngg
Baca selengkapnya
Bab 36. Mencoba membuka hati
Aku tergugu, tak mampu berkata apapun pada perempuan yang sudah kuanggap seperti ibuku sendiri ini. Hanya air mata yang tak henti-hentinya mengalir membasahi pipi.Aku sampai tak mempedulikan suasana sekitar, sepertinya beberapa orang karyawan mulai melirik ke arahku.Genggaman tangannya aku rasakan semakin erat, seakan memberikan kekuatan padaku."Mir, lihat Mama," pintanya. Aku yang masih menunduk pun mau tak mau harus mengangkat kepala menatap wajah ayu nan senyum hangat yang selalu terpancar."Kamu sayang sama Mama?"Aku kembali mengangguk."Mama juga sudah sayang sekali sama kamu Amira. Bolehkah Mama meminta suatu hal?"Aku menyeka air mata yang sudah membasahi pipi, lalu kembali menatap dalam netra tua milik Mama."Maukah kamu perjuangkan pernikahan ini, demi Mama?" Degh!Aku terperangah. Apa lagi ini? Setelah tadi Mama memberikan pertanyaan untuk aku mau bertahan atau berpisah? Kenapa sekarang seakan mengharuskan aku untuk bertahan? "Dengarkan dulu kata-kata Mama, Sayang. Mam
Baca selengkapnya
Bab 37. Bingkai foto
Jika biasanya aku bangun sesaat setelah adzan subuh berkumandang, atau ketika alarm jam pada ponselku berbunyi. Tapi Pagi ini setengah jam sebelum subuh aku sudah bangun, aku mulai mengeluarkan beberapa sayuran dan ayam dari dalam kulkas untuk di masak. Tekadku sudah bulat, aku akan berusaha mempertahankan pernikahan ini. Toh nyatanya Evita tak diketahui dimana rimbanya.Aku lebih mengutamakan perasaan orang-orang yang sudah tulus menyayangiku. Kedua orang tuaku, juga termasuk mertuaku. Mereka menaruh harapan besar untuk kebutuhan pernikahan ini.Tanganku dengan cekatan mengupas bawang merah, bawang putih dan bumbu dapur lainnya. Mengupas dan mencuci bersih wortel, kentang dan juga ayam.Sop ayam untuk menu pagi ini, dan tahu isi. Aku juga membuat ayam kecap dan tumis capcay kering, untuk bekal makan siang Raka.Aku mulai berkutat di dapur, ketika suasana masih hening, kamar Raka masih tertutup rapat. Dia pasti masih tidur, seperti biasa ia akan keluar kamar saat jam tujuh pagi dan s
Baca selengkapnya
Bab 38. Usaha maksimal
Aku meraih bingkai foto itu, mengusap pelan wajah cantik, putih sahabatku itu. Ada apa sebenarnya denganmu Vi? Jika saja kau tahu kini aku yang menggantikan posisimu di rumah ini, apa kau akan marah padaku? Dan menganggapku sebagai teman yang jahat?Aku bermonolog sendiri sambil menatap foto mereka.Tiba-tiba saja semua percakapanku kemarin dengan Mama Rita melintas dalam benakku. Aku tak boleh goyah hanya karena melihat foto Evita."Aku memang menyayangimu Vi, tapi aku tak bisa terus seperti ini, pernikahan antara aku dan Raka sudah terlanjur terjadi dan itu pun karena ulahmu yang tak bertanggung jawab. Jadi sekarang aku ingin menjalankan peranku sebagai istri, sebagaimana mestinya. Karena ini bukan salahku." Kembali aku bermonolog sendiri meyakinkan diri bahwa tekadku sudah bulat.Aku pun tak tega melihat Raka yang terus menerus terjerat dalam cinta masa lalu, cinta yang ia perjuangkan untukmu nyatanya kau balas dengan kesakitan untuknya.Dia suamiku sekarang, dan aku ingin mengajak
Baca selengkapnya
Bab 39. Gara-gara Gengsi
"Apa-apaan ini? Siapa yang mengijinkan kamu masuk kamarku? Hah?!" Raka menunjuk pada kamar miliknya yang pintunya terbuka lebar. Ia menatapku tajam seakan hendak menelanku hidup-hidup.Raka masih pakai pakaian kantor lengkap. Ketika aku melirik jam dinding, sudah menunjukkan jam sebelas malam. Ini adalah kali pertama Raka kembali pulang larut malam, setelah beberapa lama ia selalu pulang sore, atau paling lambat selepas magrib."Ra–Raka, aku cuma– Cuma membersihkan kamarmu saja, itu saja," jawabku gugup. Jujur aku merasa takut ketika melihatnya marah.Maklum ayahku sendiri saja hampir tak pernah membentak atau bicara kasar padaku, jadi ketika ada orang lain yang tiba-tiba berbicara keras padaku, aku sudah gemetar ketakutan."Aku kan sudah pernah bilang, kamu di larang masuk ke kamarku! Kenapa nggak ngerti sih!" ungkapnya sengit masih dengan nada ketus dan terlihat jelas raut kekesalannya."Oke, aku minta maaf Raka. Maafkan aku. Aku tak akan mengulanginya lagi," ucapku pelan. Aku meng
Baca selengkapnya
Bab 40. Laundry?
"Yang tadi itu lho, yang tadi kamu mau bawakan untuk aku," sahutnya."Oh, kan kata kamu bekal makan siang itu cuma untuk anak TK, orang kantor bawa bekal, nanti kamu malu, jadi kayak anak TK," sindirku sambil melirik ke arahnya yang terlihat bingung hendak menjawab apa."Ehm, itu, anu, aku ... Berubah pikiran, sekarang mana tas bekal tadi, aku mau bawa," ucapnya pelan sambil menggaruk belakang kepalanya.Lekas aku mencuci tanganku yang masih penuh dengan busa sabun, lalu berbalik badan menoleh ke arahnya."Kenapa? Kok tiba-tiba berubah pikiran?" tanyaku, sambil menahan tawa, sejujurnya aku ingin tertawa terbahak-bahak melihat sikapnya yang lucu, tadi nggak mau, kenapa sekarang jadi mau? Kamu terlalu gengsi Raka."Nih." Aku meraih tas bekal yang ada di atas meja dan memberikan padanya.Ia pun langsung meraihnya dan melenggang begitu saja meninggalkanku. Setelah ia berlalu, aku tersenyum sendiri."Makanya kalau memang mau, nggak usah sok gengsi menolak makanan dariku," cibirku lirih. Ta
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
10
DMCA.com Protection Status