All Chapters of Mas Duda itu Mantan Kekasihku : Chapter 11 - Chapter 20
34 Chapters
Bab 11. Dia Sudah Bahagia
'Kau berikan sejuta harapan. Indahnya bersamamu. Membuat aku terlena. Hanyut dalam asmara.'“Cih..” Aku berdesis malas mendengar lirik lagu Melayu yang dinyanyikan band cafe itu. Ya, demi mengusir kebosanan yang mendera dalam diriku. Pada malam Minggu aku mengajak Ari dan Mas Pram ke sebuah cafe dan restoran. Ya itung-itung nongkrong untuk melupakan permasalahan yang sempat terjadi. “Jadi, sudah resmi jadi duda ni,” kata Mas Pram padaku.Aku menyesap kopi di hadapanku, sambil memandang ke arah panggung di mana ada penyanyi cafe yang tengah menyanyikan sebuah lagu Melayu. “Begitulah.”“Menyedihkan sekali hidupmu. Jadi, duda perkara masa lalu yang belum usai,” timpal Ari.“Benar. Seharusnya kau sudah move on. Empat tahun loh, itu bukan waktu yang singkat.” Mas Pram ikut menimpali membuat aku mendengus, andai kata semua semudah itu. “Adiba itu kurang apa? Cantik, mandiri, berpendidikan, dan satu lagi sayang sama ibu kamu.”“Ya itulah kebodohanku.” Aku mengakui kebodohanku dalam hal ini.
Read more
Bab 12. Masih Adakah Kesempatan?
Setelah hari-hari itu, aku menjalani rutinitas ku seperti biasa. Ada jadwal tersendiri ketika aku ingin menemui Aksa. Kabar bahagia ku dapatkan setelah masa Iddah Adiba selesai. Ya, mantan istriku itu akhirnya dipinang oleh seorang lelaki yang bergelar seorang dokter juga , ia bernama Shaki Ramdhani. Aku turut bahagia mendengarnya, karena ia tak larut dalam luka yang ku ciptakan. Mungkin karena satu profesi dan satu tempat, jadi Adiba mudah akrab dengannya. Apapun itu aku ikut bahagia mendengarnya.Satu bulan kemudian aku datang ke acara pernikahan Adiba dan Shaki. Di tengah kerumunan orang-orang aku sesekali menatap ke arah kedua pengantin baru yang berdiri di atas panggung. Mereka tampak serasi bahagia. Baik mempelai wanita maupun laki-laki. Senyumnya benar-benar tulus, tiada kepura-puraan seperti yang saat itu aku lakukan saat menikahi Adiba. “Papa...” Tiba-tiba Aksa menghampiriku. Entah sejak kapan anak itu turun dari panggung. Mungkin karena aku terlalu larut dalam pemikiranku.
Read more
Bab 13. Duda Genit
Pov ThalitaAku menghela napas kasar, berkali-kali membuang pandangan ke arah lain, demi menghindari tatapan Mas Ravi. Inilah yang aku takutkan jika makan di restoran di mall di mana tempat Mas Ravi bekerja. Jika saja bukan karena paksaan Pak Yusuf selaku atasanku. Aku tentu akan menolak makan di sini. Karena dia akhirnya kami berada di sini. Restoran yang menyajikan makanan khas Jepang menjadi pilihan kami. Katanya mumpung baru gajian. Semua teman-temanku asyik menikmati makanan. Sementara aku merasa canggung, karena sejujurnya sedikit terpaksa. Tak jauh dari meja kami, ada Mas Ravi dan teman-temannya yang juga tengah makan bersama. Padahal selama ini aku berusaha untuk menghindari dirinya, sekalipun ia kerap mengirim pesan terus saja ku abaikan. Meski begitu tak jarang Mas Ravi kerap mengirimkan makan siang ke tempat kerjaku. Hal yang tentu mengundang perhatian teman-temanku. “Ta.. Ta....”Aku berjingkrak kaget saat Mela memanggil namaku.“Hey iya apa?” jawabku secara spontan bahk
Read more
Bab 14. Terjebak Hujan
Pada pukul lima sore aku baru keluar dari kantor. Dengan membawa tentengan ku letakkan di gantungan motor depan. Karena bujukan Mela akhirnya aku pun belanja di supermarket. Memang kebetulan persediaan bulanan di rumah sudah habis, aku pun ikutan kalap. “Duluan, Ta.” Teman-temanku berteriak sambil melambaikan tangannya, ada berkendara sendiri, ada yang dijemput kekasihnya, ada juga suaminya. Lalu aku? Apakah jika aku menikah dengan Mas Ravi. Aku akan diantar jemput olehnya, mengingat tempat kerja kami sangat dekat. “Astaghfirullah....” Spontan aku menyebut seraya mengusap dadaku, berusaha untuk sadar diri, jika apa yang aku pikirkan itu sama sekali tidak pantas. “Ada apa, Ta?” Pak Yusuf yang baru keluar dari kantor tampak terkejut melihatku. “Enggak apa-apa, Pak.”“Kirain ada apa? Kamu tampak terkejut gitu.”Aku terkekeh memasang helm kemudian naik ke motor. “Saya duluan ya, Pak." Pamitku sebelum menghidupkan motor.“Hati-hati, Ta."Aku mengangguk seraya berlalu meninggalkan area
Read more
Bab 15. Hampir Celaka
“Beri aku kesempatan sekali lagi, Dek.”Dia menatapku penuh harap.Namun, aku tak mengindahkannya. Aku justru berdiri menghampiri tukang bengkel menanyakan motorku, karena aku merasa sudah menggigil kedinginan. Dan ternyata motorku lagi-lagi harus menginap. Ya memang motorku itu sudah lama, sudah seharusnya ganti. Aku berniat memesan ojek online. Namun, tiba-tiba Mas Ravi mencekal tanganku, lalu menariknya keluar dari dalam bengkel membawanya ke mobil miliknya. Aku sempat meronta, namun ia tetap memaksa membuat aku akhirnya masuk. “Aku tidak akan memaksamu untuk kembali menerima perasaanku dalam waktu dekat ini, Dek. Tetapi, aku mohon beri aku waktu untuk lebih dekat. Tolong biarkan tetap seperti ini. Jangan menghindar. Aku rasa sudah cukup bukan? waktu delapan tahun untuk kamu menyiksaku. Aku benar-benar tidak bisa mengabaikannya lagi.”“Tapi, Mas. Itu tidak mungkin bisa ku lakukan.”“Kenapa tidak bisa?”“Kita ini kan....”“Jangan bawa-bawa ikatan saudara dalam hubungan kita, Dek. S
Read more
Bab 16. Dia Berhasil Mengambil Hati Putriku
Aku tertegun duduk di kursi kerjaku, mengingat kembali ucapan yang ku lontarkan pada Mas Ravi. Apakah aku sangat keterlaluan? Aku masih ingat bagaimana raut wajahnya yang penuh kecemasan usai menolongku dari maut tadi. Kekhawatiran nampak jelas di wajahnya. Tapi, yang ku berikan justru ucapan pedas darinya. Bagaimana kalau setelah ini dia menyerah? Bagaimana jika ia merasa tersinggung? Menggelengkan kepalanya aku mengenyahkan kemungkinan hal itu. Memangnya kenapa? Bukankah jika ia menjauh itu lebih baik. Bukankah memang itu yang aku inginkan. “Pagi-pagi udah ngelamun aja, Ta."“Enggak kok, Mel.” Aku berkilah pada Mela. “Udah mau buka tuh. Komputer udah siap belum?”“Udah dong.”Ketika bank sudah mulai beroperasi aku melayani nasabah seperti biasanya. Meski beberapa kali wajah Mas Ravi berkelabat dalam otak meninggalkan rasa bersalah padaku. Aku tetap berusaha untuk profesional. Hingga pada pukul setengah sembilan aku mendengar ponsel yang tengah ku charger bergetar. Satu kali dua ka
Read more
Bab 17. Filosofi Kupu-kupu
POV Aravi‘Sudah tahu kekanak-kanakan ngapain kamu ngejar-ngejar aku. Sudah saja cari yang lebih dewasa. Berhentilah mengejar ku seperti orang yang konyol.’Aku terkekeh mengingat ucapan Lita tadi pagi. Konyol? Katanya aku terlihat konyol mengejarnya. Apakah memang seperti itu di matanya. Ku usap wajahku dengan gerakan kasar. Ku tarik napasnya dengan pelan berulang kali. Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku bersikap demikian. Apakah terlalu berlebihan sikapku? Aku hanya tidak ingin kembali kehilangannya. Kenapa dia masih meragukan perasaanku. Kenapa segala perlakuan lembutku tak ada yang bisa menyentuh hatinya? Apakah benar hatinya sudah mati? Aku berusaha konsentrasi mengerjakan pekerjaanku secepat mungkin. “Rav, makan yuk.” Redi tiba-tiba masuk ke ruangan ku lalu duduk di depan kursiku.“Duluan. Aku belum lapar.”“Ayolah, semalam bilang pengen makan soto depan bank itu loh.”Aku menghela napas lemah mendengar tempat kerja Lita disebut. “Malas.”“Loh biasanya semangat, kan ada p
Read more
Bab 18. Setelah Tiada Baru Terasa
POV ThalitaSiang hari ketika jam makan siang aku menyempatkan diri untuk pergi ke supermarket. Hira meminta dibelikan coklat sebagai syarat agar mau masuk sekolah. Bersama dengan Mela aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam Mall. Ketika baru membuka pintu lobi, aku tertegun melihat keberadaan Mas Ravi yang tengah berada di salah satu brand roti terkenal. Entah kenapa kali ini aku berharap ia akan menyapa. Namun, lagi-lagi aku harus menelan rasa kecewa saat ia mengabaikan kehadiranku. Bahkan ketika berpapasan denganku ia memiringkan tubuhnya tak ingin bersentuhan denganku. Ada apa? Kenapa aku merasa sakit hati dengan sifatnya tersebut. Tak sadar aku menunduk menahan rasa pedih yang aku rasa. Bahkan ketika Mela melemparkan pertanyaan aku hanya diam saja. Aku menyeret Mela turun ke supermarket, meski begitu pikiranku terus saja tertuju pada perubahan Mas Ravi, belum lagi rengekan Hira yang meminta untuk bertemu.“Kau ada masalah apa sih sama Pak Ravi, Ta?” tanya Mela.“Gak ada apa-apa.”
Read more
Bab 19. Kamu Cemburu?
“Kata siapa?” Aku mendorong mangkuk sop milikku ke tengah meja lalu menarik teh hangat mendekat. Ku sesap pelan minumanku itu.“Kata Redy.”“Oh iya.” Aku tersenyum tipis mengambil jas yang sejak kemarin aku bawa yang aku letakkan di totebag. “Aku mau mengembalikan jas ini. Makasih ya, Mas.”Dia menerimanya, namun matanya tak lepas memandang ke arahku. “Oh cuma mau mengembalikan jas saja. Aku pikir ada apa,” sahutnya lirih. Nadanya terdengar jika ia merasa kecewa. Aku menoleh ke arahnya, terlihat ia mulai menikmati semangkok sop miliknya. “Aku mau minta maaf soal ucapanku yang waktu itu.”“Yang mana?” tanyanya balik. Aku menggigit bibir bawahku. “Yang itu loh...”“Yang mana? Ucapanmu itu kan banyak.”“Mungkin yang udah buat Mas sakit hati atau tersinggung.”Dia mengangguk pelan tersenyum tipis. “Lupakan saja. Aku mengerti. Jadi, nyari aku cuma buat ngomong ini doang.”“Ya emang mau ngomong apalagi?”Dia menghela napas kesal. “Aku pikir kamu mau bicara tentang kelanjutan hubungan kit
Read more
Bab 20. Jawaban Dari Sebuah Do'a
POV Thalita Aku menceritakan niat Mas Ravi pada ibu dan kakakku. Bagaimanapun aku tidak bisa memberi keputusan seorang diri, meski yang menjalani rumah tangga itu nanti aku sendiri.“Yang mau menjalani rumah tangga itu kamu, jadi ibu serahkan keputusan itu padamu. Pesan ibu libatkanlah Allah dalam keputusanmu. Mintalah petunjuk pada-Nya agar kamu tidak salah memilih. Saran ibu sholat istikharah sampai kamu mendapatkan sebuah jawaban.” “Apa yang ibu katakan itu benar, Lita. Bagi Mas yang penting kamu bahagia. Selama Ibunya Ravi sudah memberikan kalian restu, itu tidak akan menjadi masalah.”Aku menghela napas lega ketika mengingat pesan ibu dan juga kakakku. Terhitung sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengan Mas Ravi usai pembicaraan kami tempo hari. Terakhir kali saat itu ia mengantarkan aku pulang sambil menemui Hira. Mas Ravi juga mengatakan ada kunjungan keluar kota pada Hira, hingga akhirnya putriku tidak lagi merengek padanya. “Ibu apa Paman Ravi masih lama di sana?” tany
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status