All Chapters of Istri Manis sang Pewaris: Chapter 41 - Chapter 50
197 Chapters
41. Video Dari Amarylis
Amarylis: Aku mau nunjukin sesuatu ke Mas Davin, tapi sebagai hadiahnya, aku mau liburan ke Swiss. Mas Davin yang bayarin.Davin: Sesuatunya apa dulu? Menarik atau nggak? Kalau nggak, ogah. Minta aja uangnya sama Papi.Amarylis: Papi nggak bakal ngizinin. Dia kan nggak punya duit, yang punya duit banyak itu Mas Davin.Amarylis: Pokoknya ini sesuatu yang sangat langka. Aku yakin Mas Davin pasti kaget.Davin: Apa, sih? Kamu sengaja bikin mas kamu ini penasaran, ya?Sejenak Davin mengalihkan pandangannya dari layar ponsel yang menampilkan chat room-nya dengan sang adik, ke arah jalanan yang ia lewati.Dari dalam mobil ini, Davin memandangi bangunan-bangunan kuno yang menawan dengan dinding-dinding batu klasik. Budaya dan sejarah mengalir begitu kental di ibu kota Italia ini. Davin merasa seperti terlempar ke dalam dunia lain berabad-abad yang lalu.Ponselnya kembali berdenting, membuat fokus Davin kembali teralihkan.Bibir tipis berwarna merah agak kecoklatannya mengukir senyuman kecil k
Read more
42. Meminta Hadiah
Memang, bukan sesuatu yang mudah mencari seseorang di antara ratusan orang yang berlalu lalang di bandara.Hanya bermodalkan foto di ponselnya, Davin dan Vincent mengamati wajah setiap laki-laki yang berpapasan dengan mereka, sambil mencocokannya dengan foto itu. Keduanya berpencar.Davin mencarinya di gate khusus check in penerbangan menuju kota Milan. Namun kursi tunggu di gate itu tampak sepi. Karena para penumpang sudah melakukan check in dan masuk ke boarding room.Sial. Kenapa Davin lupa tidak meminta nomor ponsel Eugenio pada wanita tadi?Davin mengusap wajah dengan kasar, napasnya sedikit tersengal karena terus berlari ke sana kemari hanya untuk menemukan sosok Eugenio.“Saya tidak menemukannya,” ujar Vincent saat keduanya tanpa sengaja berpapasan.“Kemungkinan besar dia sudah masuk boarding room.” Davin tertunduk lesu. Ia tak memiliki harapan untuk bertemu dengan pria tua itu. “Apa yang harus aku katakan pada istriku?” gumamnya kemudian
Read more
43. Kemarahan Davin
“Jingga, bagaimana project Vincent? Kamu sudah mulai mengerjakannya?”Jingga mengangguk seraya mengalihkan tatapannya dari kanvas di hadapannya, ke arah Kalil yang baru saja membuka pintu dan menghampirinya. “Saya baru mulai mengerjakannya hari ini.”Kalil mengangguk, ia memperhatikan sketsa di kanvas itu sejenak. “Baiklah… aku percaya padamu. Klien kita nggak pernah kecewa sama hasil karya kamu, Jingga,” ucapnya sambil melemparkan senyuman hangat pada wanita berusia 26 tahun itu.Melihat bagaimana antusiasnya Kalil dan betapa Kalil mempercayainya, Jingga jadi merasa bersalah. Sebab sampai saat ini Kalil belum tahu bahwa yang sebenarnya memesan lukisan ini adalah Davin. Suaminya.“Pak Kalil…,” panggil Jingga, yang membuat pria itu kembali memandanginya dengan sorot mata teduh.“Ada sesuatu yang mau kamu sampaikan?” tanya pria itu.Jingga masih m
Read more
44. Bertengkar
Jingga mengalungkan lengan di leher Davin seraya memperhatikan ekspresi mengeras yang masih nampak di wajahnya. Banyak hal yang ingin ia tanyakan pada pria itu, tapi Jingga mencoba menahan diri.“Dave, bisa turunin aku?” gumam Jingga, “aku bisa berjalan sendiri.”Mata Davin yang menjorok ke dalam itu seketika menatap Jingga. “Jangan berpura-pura baik-baik saja.”Hanya itu yang terlontar dari mulut Davin dan berhasil membuat Jingga bungkam seribu bahasa. Amarah pria itu belum mereda, Jingga tahu itu dari nada suaranya.Davin membawa Jingga keluar dari rumah orang tuanya, lalu menyuruh sopir membuka pintu mobil.Davin lantas menurunkan Jingga di kursi depan tepat di samping kursi kemudi. “Ada yang tertinggal di dalam?” tanyanya seraya memasang sabuk pengaman untuk Jingga.Jingga sempat menahan napasnya sesaat ketika ia merasakan napas hangat Davin menerpa pipinya. “Hm. Tas aku ketinggalan di dapur.”“Aku ambil dulu.”Wajah Davin masih terlihat mengeras seakan tengah menyimpan emosi yang
Read more
45. Papa
Jingga membeku mendengar kata-kata yang—menurut Jingga—mustahil keluar dari mulut Davin. Namun pada kenyataannya pria itu mengatakannya dengan sangat jelas barusan."Aku merindukanmu," gumam Davin sekali lagi.Semilir angin sore dan suara deru mesin mobil yang melewati mereka membuat Jingga keluar dari keterdiamannya. Dan ia baru sadar pelukan Davin semakin terasa erat.Davin kemudian melepas pelukannya dan memutar tubuh Jingga. Tanpa memberi kesempatan pada Jingga untuk bernapas lega, pria itu kembali memeluknya, menenggelamkan wajah Jingga di dadanya yang bidang.“Bukan maksud aku menyalahkanmu, Jingga,” ucap Davin setelah cukup lama terdiam. “Selama ini aku pikir, kamu selalu diam karena kamu nggak suka bicara denganku dan itu membuatku sangat marah.”Jingga tertegun. Ternyata selama ini Davin salah paham dengan sikapnya.“Aku ingin mengobrol denganmu, aku ingin kamu menunjukkan ketertarikanmu padaku.” Davin menghela napas panjang. Karena hanya Jingga, wanita yang sama sekali tidak
Read more
46. Ingatan Tentang Malam Itu
“Selama aku pergi, kamu makan dengan baik?” Suara Davin terdengar teredam.“Iya. Aku juga makan cukup banyak.” Jingga menggigit bibir bawahnya, merasa gugup dengan posisi mereka yang tak berjarak sama sekali. Hembusan napas hangat Davin terasa menerpa pundaknya yang terbalut pakaian.“Bagus. Nanti aku akan cek berat badanmu.”“Sampai sejauh itu?” Jingga merasa tak habis pikir.“Hm. Aku harus memastikan istriku tumbuh dengan baik,” timpal Davin dalam gumaman.Jingga sedikit mengerutkan bibirnya. “Baiklah. Sebenarnya aku sudah cek, dan berat badanku naik nol koma enam kilo.”“Kenapa sedikit sekali?” Davin mengangkat wajahnya yang semula terbenam di pundak Jingga, matanya menatap Jingga dari samping.“Tapi aku sudah makan sebanyak yang aku mampu,” protes Jingga dengan cepat, “lagipula ini baru beberapa hari, kok. Belum satu bulan. Buat aku naik enam ratus gram dalam waktu sesingkat itu termasuk perkembangan yang bagus.”Mata Davin mengerjap saat melihat Jingga protes dengan bibir cemberu
Read more
47. Jingga Marah
Suasana di antara Jingga dan Davin pagi itu menjadi terasa canggung setelah apa yang mereka lakukan tadi malam. Jingga tak berani menatap Davin karena malu. Sementara Davin tampak salah tingkah.Semalam, setelah Davin secara tiba-tiba mengatakan bahwa ia mengingat sesuatu, Jingga lantas bertanya memangnya apa yang Davin ingat?Namun Davin tidak menjawab dengan jujur. Davin mengelak dan kembali mencium bibir Jingga. Davin belum siap, jika ia jujur mengenai apa yang ia lakukan ‘malam itu’, ia takut Jingga marah dan membencinya.Sekarang bukan waktu yang tepat, pikir Davin.Saat gairah Davin semakin memuncak dan ia ingin melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar berciuman, Jingga tiba-tiba menolak dengan halus.“Aku… belum siap. Maaf,” gumam Jingga saat itu, yang membuat Davin terpaksa menahan diri dan itu sungguh amat menyiksa. Meski demikian, Davin berusaha untuk memahami Jingga dan tak ingin memaksa. Ia akan menunggu.Setelah memastikan penampilannya sudah rapi, Jingga keluar kamar sa
Read more
48. Sayang
“Sial. Kenapa tidak diangkat?” berang Davin pada dirinya sendiri seraya menatap layar ponsel yang menampilkan nama ibunya. Tiga panggilannya sama sekali tak ada yang terangkat.Setelah mendengar penuturan Amarylis beberapa saat yang lalu, Davin tiba-tiba dikuasai amarah. Hanya mendengar Jingga ditampar saja sudah membuat Davin ingin mengobrak-abrik seisi ruangan kantornya untuk melampiaskan kemarahannya.Saat Davin masih berusaha menghubungi ibunya—untuk meminta penjelasan atas apa yang telah ibunya lakukan pada Jingga, tiba-tiba Davin mendapat pesan dari seseorang yang ia utus untuk mengikuti Jingga.Davin segera membuka pesan tersebut, yang berisi sebuah foto Jingga sedang keluar dari studio bersama Kalil.[“Bu Jingga dan laki-laki ini akan pergi makan siang bersama.”]Hati Davin seketika diliputi hawa panas yang entah datang dari mana. Sial. Mereka akan makan siang berdua?Davin mendengus kasar. Ia segera menghubungi informan itu.“Mereka makan siang di mana?” tanya Davin tanpa bas
Read more
49. Belum Luluh
“Dia kenapa hari ini? Sikapnya benar-benar aneh,” gumam Jingga pada dirinya sendiri seraya merapikan meja.Lalu, Jingga terdiam saat ia teringat dengan panggilan ‘sayang’ yang disematkan Davin untuknya ketika makan siang beberapa jam yang lalu.Tatapan Davin yang hangat, senyuman lembutnya, dan panggilan mesra itu sempat membuat Jingga terbuai. Ia merasa telah menjadi seorang istri yang dicintai dan diinginkan.Namun, dengan cepat Jingga menepis semua rasa itu. Bagaimanapun juga di dalam hidup Davin masih ada Chelsea, yang mungkin sangat sulit untuk dia hilangkan begitu saja.Lagipula, Jingga masih kesal pada Davin. Saat makan siang tadi ia lebih banyak mengobrol dengan Kalil dan mencuekkan suaminya itu.Kalau dulu, Jingga tak akan berani menunjukkan kekesalannya pada Davin. Namun sekarang Jingga sendiri heran kenapa ia bisa sampai seberani ini menampilkannya.Jingga menghela napas panjang. Lantas keluar dari ruangan kerjanya. Saat membuka pintu, ia terkejut karena Kalil sudah berdiri
Read more
50. Akan Selalu Ada Di Sisimu
Jingga menggeliat. Tapi mendadak ia tidak bebas bergerak, seperti ada sesuatu yang mengikatnya dari belakang.Sejenak Jingga tertegun. Ia juga mendengar dengkuran halus di belakangnya. Mata Jingga seketika terbuka, ia menunduk, lalu terbelalak begitu melihat tangan kekar seorang pria melingkari perutnya.Jingga panik, ketakutan. Ingatannya seketika terlempar ke masa lalu. Kepada malam yang membuat kehidupannya menjadi semakin hancur setelah seseorang merudapaksa dirinya.Malam itu, samar-samar Jingga mengingat, dalam keadaan setengah sadar, Jingga melihat tangan kekar seseorang memeluknya dari belakang—dengan posisi yang sama seperti pagi ini.Namun, malam itu kepala Jingga terlalu berat dan nyaris kehilangan kesadarannya. Sehingga Jingga tidak bisa memberontak ataupun berteriak saat orang itu mendesakkan dirinya ke dalam diri Jingga.Jingga menyingkirkan tangan Davin, ia bangkit duduk dengan wajah memucat. Ingatan buruk tentang masa lalu selalu menghantuinya, membuatnya ketakutan dan
Read more
PREV
1
...
34567
...
20
DMCA.com Protection Status