Semua Bab MEMATAHKAN SUMPAH IBU: Bab 11 - Bab 20
39 Bab
Menghilang
Tahun demi tahun berlalu begitu cepat. Sampai sekarang, aku tak tahu apa yang waktu itu terjadi di rumahku ketika aku menerima hadiah lomba Perayaan Agustusan di Lapangan. Ibu tak menceritakannya padaku, aku pun enggan bertanya pada Ibu. Sudah menjadi semacam peraturan tak tertulis bahwa aku tidak boleh banyak bertanya pada Ibu, apalagi pada Ayah. Menerima apa pun yang mereka berikan tanpa perlu banyak meminta apalagi mengeluh.Selentingan beredar kabar bahwa Tante Rahma akan berangkat ke luar negeri untuk bekerja. Aku tak tahu benar atau tidaknya. Namun satu tahun kemudian—ketika aku naik ke kelas tiga—aku baru menyadari bahwa Galang sudah tidak bersekolah di tempat yang sama denganku lagi.Kabar kudengar dari pembicaraan ibu-ibu yang mengantar anaknya ke sekolah, bahwa Bu Haji telah mendaftarkan Tante Rahma ke penyalur TKW tempatnya dulu bekerja. Itulah mengapa dia disebut ‘Bu Haji’—karena dia pernah bekerja di sebuah negeri tempat di mana orang-orang biasa melakukan ibadah haji, so
Baca selengkapnya
Motor Baru Ayah
Aku terhenyak ketika—di sore hari yang tenang—telingaku harus menangkap suara klakson mobil di depan rumah. Aku menyibak gorden jendela kamarku dan mendapati dua orang lelaki tengah berusaha menurunkan sebuah sepeda motor baru dari atas mobil bak terbuka. Aku beranjak keluar dari kamar dan menemukan Ibu tengah duduk di ruang tamu dengan wajah masam.“Ayah jadi beli motor baru?” tanyaku.“Iya. Bukan beli. Tapi kredit,” jawab Ibu ketus.Kuharap Ayah membeli sepeda motor matic, agar sekalian bisa kupakai belajar. Teman-teman seusiaku memang rata-rata sedang belajar mengemudi sepeda motor. Terlepas dari fakta aku yang tidak bisa mengendarai sepeda biasa, katanya motor matic lebih mudah untuk dikuasai dibandingkan motor manual yang harus memindah-mindahkan persneling.Aku berjalan keluar, ingin ikut melihat seperti apa sepeda motor yang dibeli Ayah. Aku sudah sangat yakin bahwa Ayah pasti membeli motor matic, selain karena sekarang memang sedang musim-musimnya model sepeda motor seperti it
Baca selengkapnya
Uban
Entah Ibu dapat info dari mana bahwa Ayah sempat jalan-jalan bersama Galang dengan sepeda motor barunya. Tapi menurutku wanita memang pandai sekali dalam mencari tahu tentang segala hal yang berhubungan dengan orang-orang yang dicintainya.“Ayahmu itu keterlaluan banget! Masa aku yang sudah susah ngirit-ngirit demi cicilan motornya dia, eh dia malah enak-enakan jalan-jalan sama anaknya si janda sialan itu! Keterlaluan!”Suatu pagi Ibu meluahkan isi hatinya pada Kak Abel ketika kami sedang memasak bersama. Tidak seperti Kak Yumna dulu yang bekerja di Ibu Kota, kakak keduaku itu memilih bekerja di sebuah perusahaan besar di kota kami. Sehingga ia bisa leluasa pulang ke rumah tiap dua minggu sekali.Ini yang aku suka. Setiap kali Kak Abel pulang, Ibu selalu bercerita perihal isi hatinya. Kak Abel bisa bersikap lebih baik dalam menanggapi cerita Ibu dibandingkan dengan aku. Jika Kak Abel berbicara, pasti Ibu mau mendengarkan. Berbeda jauh denganku, apabila aku yang bicara menanggapi cerit
Baca selengkapnya
Balon
Aku memang tidak berhasil mendapat beasiswa di sebuah SMA di Ibu Kota seperti Kak Abel. Namun aku masih cukup beruntung bisa diterima di SMA terbaik di kotaku tanpa tes.Sabtu siang, kami semua siswa baru diminta berkumpul di sekolah itu untuk membahas tentang berbagai perlengkapan Masa Orientasi Siswa (MOS) yang harus kami bawa di hari Senin esoknya. Kami dibagi ke dalam kelas-kelas. Aku masuk ke kelasku. Namun karena aku tidak begitu pandai bergaul, ditambah sedikit sekali siswa dari MTsku yang diterima di sekolah ini, maka aku duduk sendiri di bangku paling depan, tapi itu bukan masalah bagiku, toh aku sudah biasa sendirian.Pembahasan tentang perlengkapan untuk MOS di hari Senin usai. Aku harus membawa tas dari karung goni, topi penyihir, piramida Mesir, pisang satu sisir, balon terbang, makanan ruang angkasa, dan masih banyak lagi barang-barang dengan nama aneh yang harus kubawa. Aku bersiap pulang, berjalan sendirian menuju Halte Bus.Ini akan menjadi kali pertama aku naik bus s
Baca selengkapnya
Balada Bacang
Aku masuk ke kelasku untuk menyimpan tas. Salah satu panitia OSIS menyambutku ramah, ia membimbingku masuk kelas lalu mengarahkan padaku meja yang masih kosong. Meja itu dekat jendela, berkapasitas untuk dua orang. Sebuah tas telah tersimpan di sisi satunya, menandakan sudah ada orang yang menempatinya. Aku mengisi sisi sebelahnya.“Kak, ini balonnya di ke manain, ya?” tanyaku.“Ah, kamu telat! Balonnya udah pada diterbangin tadi pas pembukaan. Ya udah, itu kamu simpen aja. Langsung ke Lapangan aja.” Panitia OSIS itu memberi arahan padaku. Aku mengikatkan balon terbang itu pada salah satu kaki mejaku.Nasib! Nasib! Sudah mahal-mahal beli balon, gak kepake pulak gara-gara terlambat!Selama upacara aku terus memikirkan hal ini. Kejadian ini menarik. Andai tadi aku langsung naik ojek dan tak perlu beli balon, mungkin aku tidak akan terlambat tapi aku tetap tidak bisa menerbangkan balon, karena memang aku tidak membawa balon terbang. Namun karena tadi aku beli balon dulu, aku jadi terlamb
Baca selengkapnya
Cinta Pertama
Bukankah dia termasuk salah satu kawan dari Riyan, lelaki yang dua hari lalu mengenalkan namanya padaku lalu langsung kabur?Aku kembali menoleh ke belakang. Benar. Bahkan lelaki itu kini sedang memperhatikanku dengan saksama. Tangannya mencoba menarik seseorang yang tengah asyik berlakon tinju. Ya Tuhan, itu lelaki dengan wajah seteduh Andrew White dan senyum semanis Derby Romero yang memperkenalkan dirinya padaku dua hari lalu. Aku segera menarik pandanganku. Entah kenapa ada rasa berdebar di dalam dadaku.“Assalamu’alaikum...,”Tak lama kemudian terdengar seorang lelaki mengucap salam di sampingku. Aku memalingkan wajah menghadap ke arah suara. Itu anak laki-laki yang tadi tak sengaja beradu tatap denganku. Eh, bukan, yang memberi salam justru.... Ya ampun..., dia lelaki berwajah seteduh Andrew White dengan senyum semanis Derby Romero yang dua hari lalu memperkenalkan dirinya lalu langsung kabur!“Lagi ngapain? Panas, ya?” lelaki itu segera mengambil tempat kosong (yang dipakai unt
Baca selengkapnya
Dia Pergi
Lembut semilir angin membelai wajah yang terus kutundukkan selama upacara bendera. Bunga-bunga berserta daun-daun flamboyan jatuh berguguran di sekitar tempatku berdiri. Mereka jatuh pasrah, tak melawan, apa lagi membenci angin yang memisahkan mereka dari sang pohon induk. Mereka seolah mengejekku, yang masih saja larut dalam kesedihan sejak semalam.Kemarin malam, Riyan berkata bahwa ia telah pindah sekolah, dan itu akan jadi pesan terakhirnya untukku. Aku yang selama ini menjadikannya sebagai duniaku, tiba-tiba merasa hilang arah. Ingin rasanya aku meminta pada Ayah untuk pindah sekolah saja, tapi aku tahu itu tak mungkin. Bahkan aku belum genap satu semester bersekolah di sana.Pagi hari, aku terbangun dengan air mata yang masih terus mengalir. Lama aku menatap langit-langit kamarku. Rasa hampa kembali merajai, aku sungguh tak dapat menyembunyikan kesedihanku. Aku membayangkan lorong-lorong kelas yang begitu sepi tanpa kehadirannya. Sekarang tidak akan ada lagi lelaki dengan senyum
Baca selengkapnya
Mati Rasa
Sejak aku tahu bahwa Riyan membaca pesanku, entah kenapa aku jadi tidak begitu semangat lagi untuk bersekolah. Aku seperti kehilangan separuh nyawaku, tapi di satu sisi aku merasa lucu dengan diriku sendiri. Semangat belajarku jadi menurun drastis. Aku seperti kehilangan arah. Tidak tahu apa yang harus kuperbuat untuk masa depan, bahkan untuk masa kini.Disebut apakah perasaan ini? Apa benar ini yang namanya mati rasa? Aku tak lagi memiliki energi untuk tertawa dengan lelucon receh yang dilontarkan temanku. Aku juga tak lagi bersedih atas sesuatu yang hilang dariku. Aku tak lagi merasa takut akan kemarahan ibuku. Aku tak lagi peduli dengan pengabaian dari ayahku. Jika selama ini aku selalu pura-pura bersikap dingin menghadapi orang tuaku, maka sekarang, aku merasakan ‘dingin’ yang sesungguhnya tanpa perlu pura-pura.Ini lucu. Di satu sisi aku sudah tidak tertarik pada dunia. Namun di sisi lain aku juga tidak berminat untuk mengakhiri hidupku. Aku merasa seperti seakan jiwaku hidup di
Baca selengkapnya
Fakta Kakak Pertama
“Ih, kok kayak pernah lihat? Kamu punya kakak ya? Kok rasanya kayak mirip siapa gitu?” tanya Kak Hana, tantenya Nabila.Sepulang sekolah kami langsung menuju rumah Nabila. Di sana kami bertemu dengan Kak Hana, tantenya. Wanita itu memiliki aura yang seketika membuatku merasa nyaman bersamanya. Paras wajahnya terlihat biasa saja, tapi ada keteduhan dalam sorot matanya. Senyumnya memancarkan ketulusan, sentuhannya lembut menenangkan. Kuharap, aku bisa berlama-lama dengannya. Eh, apa tadi dia bilang? Dia merasa mengenalku? Aku punya kakak?“Saya punya dua orang kakak, Dok,” jawabku.Aku bingung harus memanggilnya apa. Ingin memanggil ‘tante’ seperti yang dilakukan Nabila tapi aku bukan keponakannya. Ingin memanggil ‘kakak’ takut dianggap tak menghormati profesinya. Namun di sisi lain aku tak tahu panggilan yang tepat untuk seorang psikolog.Kak Hana tertawa, “panggil kakak aja, jangan sungkan,” jawabnya. Seakan ia bisa membaca keraguan di dalam diriku.“Eh, iya, Kak,” jawabku kikuk.“Jad
Baca selengkapnya
Trauma Menulis
“Maksud kamu apa, Nay?” Ibu mengulang pertanyaannya.“Kak Yumna itu merebut pacar orang, Bu. Kak Marwan dulunya sudah mau tunangan sama temennya Kak Yumna. Dan kata temen-temen yang dulu sekampus sama Kak Marwan, Kak Marwan itu bukan orang yang baik,” paparku.“Wah, bener berarti firasatku. Jangan-jangan anakku dimanfaatin lagi sama suaminya.”Ibu menggulung lengan dasternya lalu mengambil ponselnya.“Coba, kau hubungkan ke kakakmu!” Ibu menyerahkan ponselnya padaku.Aku coba menyambungkannya, tapi tidak dapat terhubung seperti dulu.“Gak aktif, Bu.” Aku mengembalikan ponsel Ibu.“Hah? Kok bisa gak aktif lagi? Masa iya HPnya rusak lagi? Wah, pasti ada yang gak beres ini!” Wajah Ibu tampak semakin kusut.“Coba kau sambungkan ke Marwan.” Ibu kembali menyerahkan ponselnya padaku.Aku coba menyambungkannya pada Kak Marwan, dan berhasil. Tak lama kemudian, suara berat seorang lelaki menyambutnya dari seberang sana. Aku menyerahkannya pada Ibu.“Eh, Marwan! Kau apakan anakku si Yumna? Kenap
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status