All Chapters of Suami Paksaku Ternyata Konglomerat : Chapter 31 - Chapter 40
51 Chapters
31 | Usaha Baru Hari Pertama
Berbeda dengan suasana suram yang menyelimuti anggota keluargaku ini, aku dan Abra justru menyambut pergantian hari dengan semangat baru yang menggebu. Sebelum adzan subuh berkumandang, aku dan Abra sudah bangun dari tidur lelap. Tanpa membuang banyak waktu, kami mandi pagi secara bergantian kemudian langsung berangkat menuju ruko tempat kami akan berjualan. Kemarin aku sudah menghubungi Devi agar berangkat begitu selesai sholat subuh. Namun, karena batang hidungnya belum tampak setelah kami tiba, aku pun memutuskan untuk melipir ke pasar terlebih dahulu. Banyak bahan baku yang harus segera kami beli agar tidak kesiangan."Kapan lagi 'kan menjadikan anak orang kaya nomor lima di Indonesia ini jadi kuli. Mungkin lain kali aku harus berterima kasih pada keluargaku karena telah mempertemukan kita," ucapku berceletuk di sepanjang jalanan pasar."Cih, lalu aku bagaimana? Apa yang harus aku syukuri?" tanya Abra setengah mendumel."Kamu harus
Read more
32 | Kerisauan Keluarga
Lima hari telah berlalu sejak Mas Damar terakhir kali datang ke rumah. Dan sejak hari itu, suasan rumah menjadi jauh lebih suram dari yang seharusnya. Perdebatan antara Jemima dan ibunya juga terdengar semakin intens setiap harinya. "Apa sih sebenarnya yang kamu lihat dari si Damar ini? Sudah lima hari berlalu tapi dia tidak juga kunjung datang membawa keluarganya. Mau sampai kapan dia membuat keluarga kita menunggu?!" bentak ibu tiriku hingga urat-urat biru di lehernya menonjol."Sabar, Bu!" ucap bapak mencoba menenangkan istri tersayangnya yang tampak gusar."Sabar! Sabar! Mau bersabar sampai kapan sih, Pak? Sampai perut Jemima kelihatan membesar, dan jadi pembicaraan dimana-mana?" Raung ibu tiriku menumpahkan segala emosinya."Ya, nggak gitu, Bu. Siapa tahu Nak Damar dan keluarganya baru akan datang besok," tukas bapak lagi, masih ber-positif thinking.Namun, bukannya merasa terhibur, ibu tiriku itu justru mendengus dengan dingin. "Ci
Read more
33 | Kerisauan Keluarga (2)
Hari-hari masih terus berjalan semestinya. Aku dan Abra dengan kesibukan kami mengurus jualan yang semakin ramai dan laris. Sementara itu, ketiga anggota keluargaku yang lain masih dengan kerisauan mereka karena Mas Damar yang tidak juga kunjung datang melamar Jemima."Alhamdulillah, pendapatan hari ini lebih banyak dari kemarin," ucapku dengan selukis senyum yang tidak berhenti merekah sejak tadi."Alhamdulillah," ucap Abra ikut serta."Bra, gimana menurut kamu kalau kita tambah menunya?" tanyaku meminta pendapat."Tambah dengan menu apa?" tanya Abra."Ayam bakar dan ikan bakar? Nanti kita juga tambah karyawan," tukasku dengan antusias."Boleh juga. Tapi kalau aku boleh sarankan, pelan-pelan aja dulu. Paling tidak kita lihat bagaimana perkembangan usaha ini mungkin sekitar sebulan ke depan," tukas Abra.Aku pun lantas menganggukkan kepala setuju. "Baiklah," ucapku lirih."Ngomong-ngomong, kenapa kamu masih saja
Read more
34 | Mengunjungi Rumah Mas Damar
"Damar!""Damar!""Keluar kamu!"Teriakan tidak sabar meluncur silih berganti dari bibir bapak dan juga ibu tiriku hanya sesaat setelah mereka memarkir sepeda motornya di depan rumah keluarga Mas Damar. Teriakan heboh mereka bahkan sampai menarik perhatian para tetangga yang ada di sekitar rumah itu."Psstt, ini ada apa?""Entahlah, aku juga baru keluar nih,""Mereka mencari siapa tuh? si Damar?""Sepertinya, iya!" "Wah, ada apa, ya?" Dengungan kepo para tetangga itu terdengar datang silih berganti karena melihat sikap bar-bar keluarga kami. "Damar!""Keluar kamu!" "Jangan jadi pengecut!" Teriakan ibu tiriku semakin menggelegar. Dia sama sekali tidak mempedulikan berpasang-pasang mata yang sedang menatap penasaran ke arahnya. Aku dan Abra bahkan sampai menyisihkan diri agar tidak ikut malu."Damar!""Keluar kamu!" Ibu tiriku berteriak
Read more
35 | Mengunjungi Rumah Mas Damar (2)
"Assalamualaikum,"Suara lirih Mas Damar yang datang dari luar rumah membungkam sementara mulut dua orang wanita paruh baya yang sedang bersitegang itu."Bu, ada tamu ya?" tanya Mas Damar.Sesaat setelah dia menjejakkan kaki di ambang pintu ruang tamu, tubuh pria itu tampak kaku. Matanya juga membelalak lebar melihat kehadiran kami."J ... Jemima?" sapa Mas Damar terbata-bata. "Apa yang kalian lakukan di sini?" tanyanya dengan gestur yang terlihat amat gugup."Anak kurang ajar. Kamu pikir dengan tidak menjawab telepon, kami akan membiarkan semua ini berlalu begitu saja? Kamu tidak menduga bahwa kami akan berani untuk datang ke rumahmu seperti ini 'kan?" raung ibu tiriku dengan berapi-api. Urat lehernya sampai terlihat menonjol."B ... Bukan begitu, Bu. Tolong tenang dulu," tukas Mas Damar dengan panik. Dengan langkah tergesa, dia lalu menyeret kakinya menghampiri ibu tiriku yang sudah terlihat semakin bersungut-sungut.
Read more
36. Ancaman Jemima
"Bukankah pekerjaan sangat penting untukmu? Bagaimana kalau aku membuat pekerjaan itu hilang darimu?"Ucapan dingin yang keluar dari bibir Jemima itu membuat tidak hanya Mas Damar, tetapi bahkan sudut mataku turut berkedut. "Apa maksudmu?" tanya Mas Damar.Jemima mengangkat bahu dengan acuh tak acuh. "Nama keluargaku sendiri sudah rusak. Jadi, aku sih tidak masalah kalau nama keluargaku dikotori sekali lagi, tapi bagaimana dengan kamu, Mas? Kamu ingat apa yang pernah kamu ceritakan padaku terkait bosmu di tempat kerja? Bagaimana kalau aku memberitahunya? Mungkin kamu akan langsung dicepat. Kalau sudah dipecat, apa lagi yang bisa dibanggakan oleh seorang pengangguran?" tutur Jemima panjang lebar." ... "Mas Damar terdiam tampak mengingat maksud dari ucapan yang dilontarkan oleh Jemima. Dan tidak lama setelah itu, wajahnya pun berubah pias. Aku tidak tahu senjata apa yang dimiliki oleh Jemima untuk melawan Mas Damar kali ini. Tetapi yang
Read more
37. Kesepakatan
"Tidak bisa!" Ibu Wati yang mendengar persyaratan yang diajukan oleh Jemima pun berteriak menolak gagasan itu."Mana ada suami yang mengikuti istri untuk tinggal di rumah orang tua sang istri. Dimana-mana, istrilah yang mengikuti kemana pun suami pergi," pungkas ibu Wati tidak terima.Jemima lantas mendecih pelan. "Tentu saja ada. Siapa bilang nggak ada? Lagipula tidak ada aturan baku soal itu," tukas Jemima dengan santai.Ibu Wati pun menggelengkan kepalanya dengan kencang. "Pokoknya tidak bisa. Kalau pun kalian benar-benar akan menikah, Damar harus tetap tinggal di rumah ini. Dan kamulah yang harus mengikutinya!" ucap ibu Wati bersikukuh."Tidak bisa! Mas Damar-lah yang harus ikut tinggal di rumah orang tuaku. Kalau tidak, aku tidak akan mau menikah dengannya. Sebagai gantinya, dia harus dipecat oleh kantor tempatnya bekerja!" ucap Jemima dengan tegas."Kamu ... ""Baiklah. Baiklah. Aku akan ikut tinggal di rumah oran
Read more
38. Kesepakatan (2)
"Ya sudah kalau begitu. Apalagi yang harus aku katakan?" kata Mas Damar dengan lesu."Bagus, jadi kita sudah sepakat?""Dengan terpaksa!" timpal Mas Damar."Kalau begitu, kami akan langsung permisi pulang dulu," pungkas Jemima seraya bangkit dari tempat duduknya. "Ayo, Pak, Bu. Kita pulang," ajak Jemima.Tanpa membuang banyak waktu, bapak dan ibu tiriku turut beranjak. Dan aku serta Abra pun dengan cepat mengikuti."Aku tunggu kedatanganmu dan keluarga paling lambat lusa ya, Mas!" ucap Jemima seraya berjalan menuju pintu ruang tamu."Kami permisi dulu. Assalamualaikum!" ucap bapak berpamitan dengan sopan."Waalaikumsalam!" timpal Mas Damar dan ibunya dengan nada ogah-ogahan.Langit telah berubah gelap ketika kami keluar dari rumah orang tua Mas Damar. Kumpulan para tetangga yang semula berjubel ketika kami datang pun, kini tidak lagi terlihat. Barangkali mereka sudah kembali ke rumah masing-masing karena azan Ma
Read more
39. Gugup
"Dasar Jemima kurang ajar. Mulutnya seperti tidak pernah dididik saja!" gerutuku setibanya di dalam kamar."Apa lagi sih yang dilakukan saudara tirimu itu sampai membuatmu marah-marah begitu?" tanya Abra yang hendak masuk ke dalam kamar mandi.Melihat Abra yang hanya mengenakan celana pendek, tanpa baju dengan sebuah handuk biru tersampir di bahunya membuatku kembali teringat dengan bisikan laknat Jemima barusan."Nggak ada apa-apa!" jawabku cepat cenderung ketus sembari menggelengkan kepala dengan kencang untuk menutupi gugup yang dirasakan oleh hati. Namun, reaksi agak keras yang aku berikan ini justru membuat Abra otomatis mengernyitkan keningnya dengan curiga. "Aku nggak percaya. Pasti ada apa-apanya!" tukas Abra saksi.Ketidakpercayaan Abra ini membuatku spontan mendecakkan lidah. "Kalau dibilang nggak ada apa-apa tuh, berarti nggak ada apa-apa. Pun kalau aku ada masalah dengan Jemima juga, aku pasti bisa mengatasinya sendiri. Selam
Read more
40. Damar POV | Amarah Bapak
Damar POV,Aku berjalan mondar-mandir seperti setrika panas karena risau sepeninggalan Jemima beserta keluarganya. Permintaan Jemima dan batas waktu yang diberikan olehnya telah sukses membuat kepalaku pusing tujuh keliling."Bu, apa yang harus aku lakukan? Bagaimana cara memberitahu bapak kalau aku akan melamar Jemima paling lambat lusa? Dimana harus mendapatkan uang tambahan 20 juta dalam waktu yang begitu singkat?" tanyaku meminta pendapat pada ibu.Ibu yang sedang memijat kedua sisi pelipisnya pun sontak mengirimkan delikan sinis padaku. "Damar! Damar! Kok bisa sih anak orang sampai hamil begitu? Memang kamu tidak tahu teknologi yang namanya kond*m kah?" tukas ibu dengan nada tidak habis pikir.Mendengar perkataan ibu, isi kepalaku semakin semerawut. "Duh, Bu. Ini bukan saatnya menyalahkanku. Tapi yang terpenting adalah bagaimana solusinya sekarang?!" Seruku mengabaikan perkataan ibu. Intonasi suaraku bahkan melonjak tinggi karena tidak sabar.
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status