All Chapters of Suami Paksaku Ternyata Konglomerat : Chapter 41 - Chapter 50
51 Chapters
41 | Damar POV | Amarah Bapak (2)
Damar POV,"Pak, maaf. Aku tahu aku salah!" pungkasku seraya menghampiri bapak dengan kaki berlutut. Kerasnya tamparan bapak juga telah membuat Kaca mata yang semula bertengger di atas cuping hidungku terpelanting hingga ke bawah meja makan."Dasar bodoh!" bentak bapak. Intonasi suaranya yang tinggi bahkan sampai bergema di seluruh rumah. "Maaf, Pak ... " bisikku lirih. Aku benar-benar ketakutan harus menghadapi amarah bapak ini. Aku bahkan tidak berani sekadar mengangkat wajah untuk melihat ekspresi seperti apa yang sedang bapak buat."Kalau kamu mau senang-senang dengan wanita, kenapa kamu tidak menggunakan kond*m? Kenapa wanita itu bisa sampai hamil? Apa kamu tidak punya otak!" seru bapak dengan nada yang terdengar semakin kesal. "Aku tahu aku salah, Pak!" ujarku mengulangi ucapan yang hanya bisa aku lontarkan seperti ini."Kalau sudah begini, lalu bagaimana? Apa yang kalian katakan pada keluarga Jemima?
Read more
42. Cinta Beda Kasta
"Sayang sekali hari ini kita tidak bisa menonton acara lamaran Jemima," bisikku lirih dengan penuh penyesalan. Setelah menimbang apakah kami akan menonton drama lamaran Jemima hari ini atau tetap berangkat bekerja, dengan suara bulat kami memutuskan untuk tetap bekerja."Uang masih lebih menggoda," tukas Abra.Aku pun langsung menganggukkan kepala sebagai bentuk persetujuan.Namun, berbeda dengan hari biasanya, kali ini kami sengaja berangkat sedikit lebih siang karena bahan masakan telah kami beli dalam jumlah cukup besar kemarin, jadi kami tidak harus berangkat pagi-pagi untuk ke pasar hari ini."Wah, Kamilia mau kemana sih pagi-pagi begini? Akhir-akhir ini kayaknya saya juga sering lihat Mbak Kamilia dan suami keluar rumah sejak pagi buta, dan pulangnya baru malam," tukas ibu Hawa yang memang selalu rese dan ingin tahu urusan orang lain itu. Mendengar perkataan penuh maksud ini, aku spontan menggulung mata ke atas. Sudah beg
Read more
43. Gara-Gara Lemak Perut
Sejak mulai mengenal Abra, aku merasakan hidupku menjadi terombang-ambing. Seringkali apa yang sudah aku rencanakan dengan mantap hancur berantakan begitu saja. Seperti misalnya hari ini.Di tengah perjalanan pulang, Abra tiba-tiba berceletuk. "Kapan rencananya kamu akan mulai make over diri. Katanya mau tampil lebih percaya diri, tapi belum ada pergerakan juga tuh?" ucapnya."Hah? Kamu bilang apa?" tanyaku.Ada sedikit rasa tidak pasti ketika mendengar ucapan Abra yang seperti ini, apalagi karena kami sedang berada di atas sepeda motor, dan suara deru angin yang berhembus kencang membuat pendengaranku agak tidak jelas."Apa kamu tidak berniat untuk menjadi wanita yang tinggi, putih, dan langsing kayak bihun itu? Habisnya aku merasa lemak di perutmu agak tebal," tukas Abra dengan suara yang sedikit lebih dikeraskan kali ini."Kamu bilang apa?!" pekikku seraya menepuk bahu Abra dengan keras.Dengan Abra yang mengatakan bahwa lemak
Read more
44. Usaha Menjadi Bihun
Hari-hari yang aku dan Abra lalui masih sama seperti biasanya, hanya ada sedikit perbedaan di jam pulang. Kami yang biasanya berangkat setelah subuh dan pulang setelah isya, kini membatasi jam kerja hingga sampai jam 3 sore saja. Untuk meringankan pekerjaan, aku juga menambah dua pekerja lagi. Mereka adalah ibu-ibu paruh baya yang memang sudah berpengalaman di dapur. Nama mereka adalah ibu Dewi dan juga ibu Humairah."Aku tidak mempunyai pengalaman dalam berolahraga, jadi apa yang harus aku lakukan untuk memulai nih?" tanyaku pada Abra di suatu sore yang cerah.Saat ini aku sudah mengenakan sepasang pakaian training, dan berdiri di tengah-tengah lapangan bersama Abra."Pertama-tama, kamu harus pemanasan dulu. Lari keliling lapangan ini sebanyak lima kali," tukas Abra."Hah?""Jangan banyak protes. Lari ini baik untuk kesehatan. Jangan cuma mikir kurusnya aja tapi kondisi organ dalam tidak jelas," tukas Abra. "Dengan berlari minimal 30 men
Read more
45. Pesanan Katering
"Widih, kamu kenapa jalannya begitu? Habis bertempur semalaman ya?" celetuk Jemima ketika melihatku keluar dari kamar dengan langkah sedikit mengangkang. Mendengar celetukan frontal wanita ini, aku segera melemparkan delikan sinis. "Jangan sembarangan ngomong kamu!" sentakku dengan kesal.Jemima mengangkat bahu dengan acuh tak acuh. "Santai aja kali. Kayak gitu tuh sudah biasa di antara suami istri. Tidak usah disembunyikan," ujarnya.Tanpa sadar aku pun menggertakkan gigi karena kesal. Sesekali aku juga melirik ke arah pintu kamar di belakangku. Aku sama sekali tidak mau Abra mendengar perkataan Jemima yang kurang ajar ini."Terserah kamu!" ucapku dengan niat ingin mengakhiri topik yang sangat tidak nyaman ini.Dengan langkah tertatih karena kakiku yang terasa berat, aku kemudian berjalan menuju kulkas yang tidak jauh. Pagi ini aku memutuskan untuk bolos bekerja. Tubuhku yang serasa remuk redam ini terlalu enggan untuk diajak bekerja ke
Read more
46. Damar POV | Pusing Tujuh Keliling
Damar POV,"Kamu bicara sendiri sama kakakmu sana. Jangan ibu terus yang disuruh ngomong. Ibu juga malu!" ujar ibu ketika aku memintanya untuk meminjam uang lagi pada kakakku itu."Yah, Bu. Aku juga malu!" tukasku terus memohon pada ibu.Meskipun aku dan sang kakak bersaudara kandung, tapi hubungan kami hampir tidak bisa disebut saudara. Aku dan kakakku yang bernama Januardi itu terpaut usia 5 tahun. Sejak kecil kami tidak pernah akur. Sikap pembeda bapak adalah pemicunya. Tidak peduli bagaimana nakalnya kakakku ini, bapak tidak pernah memarahinya. Dia senantiasa selalu menjadi favorit dalam keluarga. Berbeda sekali dengan aku yang meskipun berjuang keras dalam bidang akademik, tapi itu tidak pernah cukup untuk membuat bapak terkesan. Prestasi-prestasi yang aku peroleh di sekolah seolah tidak memiliki arti. Ketidakadilan yang mendera kami tidak hanya terbatas pada sikap bapak, tapi alam pun seolah turut serta. Aku yang setengah mati bel
Read more
47. Pernikahan Jemima
"Nanti kamu tinggal aja di belakang. Kalau-kalau ada makanan yang kurang agar bisa langsung segera ditangani,"Sudah tidak terhitung berapa kali kalimat pengingat ini dilontarkan oleh ibu tiriku. Apalagi di hari-hari menjelang pernikahan Jemima. Sekarang bahkan lebih parah. Sejak pagi buta dia sudah mengulang kalimat yang sama sampai aku bosan mendengarkan."Aku tahu. Ribut banget sih!" timpalku dengan sewot."Awas aja kamu. Jangan sampai berkeliaran. Orang-orang sini masih sensi sama kamu," tukas ibu tiriku memperingatkan sekali lagi."Iya! Iya!" tukasku dengan tidak sabar.Hari ini adalah hari pernikahan Jemima dan Mas Damar. Sejak subuh tadi, seisi rumah sudah heboh karenanya. Tentu saja aku juga tidak ketinggalan. Bahkan sebelum subuh, aku sudah mulai memberi komando pada para pekerjaku untuk memasak.Akhirnya setelah perdebatan alot dengan ketiga anggota keluargaku itu, mereka setuju untuk menggunakan jasaku. Itu pun karena
Read more
48. Damar POV | Kenapa Dia Datang
"Nanti kamu tinggal aja di belakang. Kalau-kalau ada makanan yang kurang agar bisa langsung segera ditangani,"Sudah tidak terhitung berapa kali kalimat pengingat ini dilontarkan oleh ibu tiriku. Apalagi di hari-hari menjelang pernikahan Jemima. Sekarang bahkan lebih parah. Sejak pagi buta dia sudah mengulang kalimat yang sama sampai aku bosan mendengarkan."Aku tahu. Ribut banget sih!" timpalku dengan sewot."Awas aja kamu. Jangan sampai berkeliaran. Orang-orang sini masih sensi sama kamu," tukas ibu tiriku memperingatkan sekali lagi."Iya! Iya!" tukasku dengan tidak sabar.Hari ini adalah hari pernikahan Jemima dan Mas Damar. Sejak subuh tadi, seisi rumah sudah heboh karenanya. Tentu saja aku juga tidak ketinggalan. Bahkan sebelum subuh, aku sudah mulai memberi komando pada para pekerjaku untuk memasak.Akhirnya setelah perdebatan alot dengan ketiga anggota keluargaku itu, mereka setuju untuk menggunakan jasaku. Itu pun karena
Read more
49. Tentang Januar
"Kamu benar-benar mengenal kakaknya Mas Damar?" tanyaku dengan sedikit keterkejutan."Iya!" jawab Abra singkat."Wah, betapa sempitnya dunia ini," ucapku kemudian. "Ngomong-ngomong, bagaimana kamu bisa mengenalnya?" tanyaku dengan nada sedikit terlalu antusias." ... "Abra tidak langsung menjawab, dia hanya menatapku dengan kening berkerut. Mungkin juga dia tengah menimbang apakah akan memberitahuku atau tidak."Kalau kamu tidak mau memberitahu, aku juga tidak akan memaksa," ucapku dengan cepat. Aku tidak mau Abra beranggapan bahwa aku ini wanita ceriwis yang terlalu ingin ikut campur dengan urusannya." ... "Abra tidak menanggapi. Dia masih tetap diam dengan sorot mata menyipit tajam ke arahku. Situasi ini membuatku merasa canggung dan kikuk."J ... Jangan melihatku seperti itu," ujarku dengan terbata. Dipandang seperti ini membuatku gugup. Sorot mata itu terlalu tajam hingga membuatku merasa tatapa
Read more
50. Seatap Dengan Mantan
Berbeda dengan suasana hatiku yang ceria karena mengetahui satu lagi fakta soal Abra, suasana yang meliputi pengantin baru di keluarga ini tampak lebih suram. Sama sekali tidak ada rona bahagia yang seharusnya dimiliki oleh pasangan pengantin baru."Wah, senang ya. Sekarang rumah ini jadi makin ramai. Meja makannya sampai nggak muat nih," celetukku memecah kesunyian yang menyelimuti anggota keluargaku malam ini.Meja makan di rumah kami yang seharusnya hanya muat untuk empat orang itu kini ketambahan satu penghuni baru lagi. Tidak heran jika meja makan ini semakin terasa sempit dan penuh sesak."Iya, kamu dan suami kamu tuh yang menuh-menuhin tempat," balas Jemima dengan sewot.Bukannya marah, aku justru memiliki hasrat untuk ingin terus menggoda pasangan pengantin baru ini."Aku tahu kalau aku dan suamiku yang menuh-menuhin tempat. Oleh karena itu, aku ingin mengucapkan terima kasih pada semuanya karena telah membuat hal ini terjadi. Aku
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status