All Chapters of Suami Paksaku Ternyata Konglomerat : Chapter 11 - Chapter 20
51 Chapters
11. Tawaran Abra
Keesokan harinya, "Loh, Mil. Kamu nggak buka kios?" tanya bapak yang hari ini melihatku berbaring malas di sofa panjang ruang keluarga sambil menonton TV."Nggak. Malas!" jawabku sekenanya."Kalau begitu, berikan saja kuncinya pada Jemima. Biarkan dia yang urus kios kamu mulai sekarang," ujar bapak masih dengan wacananya untuk mengambil kios dariku."Nggak!" jawabku dengan tegas."Mil, ayolah. Jangan begitu," ucap bapak." ... "Aku tidak membuang-buang kata dan langsung mendiamkan bapak sambil terus fokus pada ponsel yang ada di tanganku. Aku mulai berpikir bahwa jika tidak ada lagi warga sekitar yang mau membeli sesuatu di kiosku, aku hanya perlu menjualnya secara online untuk meminimalisir kerugian. Awalnya aku berniat untuk tidak mempedulikan bapak sebentar, tetapi aku malah terlarut dalam berselancar di media sosial. Aku sampai tidak mengetahui kapan bapak pergi.Hal ini terus berlangsung hingga
Read more
12. Menjadi Beban Keluarga
"Kamu tunggu pembalasanku Jemima!" Aku bergumam dengan suara super pelan seraya mulai menilik isi kulkas.Bahkan tanpa iming-iming uang dari Abra tadi, aku memang sudah memupuk niat sejak kemarin bahwa aku akan ongkang-ongkang kaki saja di rumah mulai hari ini. Aku ingin melihat bagaimana frustrasinya bapak dan ibu tiriku itu ketika melihat aku yang tidak mau lagi campur tangan dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dan jika benar ada uang senilai 300 juta di dalam ATM yang diberikan oleh Abra, maka itu akan lebih baik. Aku bisa pamer pada mereka nanti.Sambil sesekali mendendangkan lagu, aku mengeluarkan sekantong cumi sepanjang telapak tangan dari dalam kulkas. Ada juga kangkung beserta segala sayur mayur lainnya. Hari ini aku berencana untuk membuat cumi bakar asam manis dan cah kangkung untuk suamiku itu.Setelah berkutat sekitar satu jam lebih lamanya di dapur, makanan sederhana buatanku akhirnya selesai juga. "Abra, ayo makan.
Read more
13. Awal Pemberontakan
"Mil, kamu serius dengan kata-kata kamu itu?" tanya bapak tidak percaya."Tentu saja!" jawabku dengan mantap. "Mil, bapak tahu kamu marah karena apa yang sudah kami lakukan padamu. Tapi tidak bisakah kamu mentolerir kami untuk kali ini saja? Yakinlah, Mil. Apa yang kami lakukan padamu itu, semuanya demi keluarga ini," tukas bapak. Nada suaranya terdengar begitu memelas penuh permohonan.Akan tetapi, sayang sekali. Hatiku tidak terketuk oleh semua narasi ini. Aku sudah cukup bertoleransi atas sikap sewenang-wenang bapak di sepanjang kehidupanku, dan aku tidak ingin terus berputar-putar dalam lingkaran setan."Nggak ah. Aku capek disuruh terus-terusan mentolerir sikap kalian semua. Sekarang gantian dong kalian yang harus mentolerir sikapku," pungkasku." ... "Ruang makan itu seketika jatuh dalam keheningan karena kata-kataku. Mereka bertiga pun lantas saling tatap penuh arti. Sekilas aku dapat melihat sorot meringis dari pancaran
Read more
14. Tentang Abra
Aku memang mengatakan pada diri sendiri agar tidak terlalu memikirkan asal-usul Abra. Akan tetapi, begitu aku berhadapan dengan pria yang berstatus sebagai suamiku ini, rasa penasaran itu kembali muncul ke permukaan."Kamu sebenarnya siapa?" tanyaku.Sekembalinya dari ATM, aku terus menatap tajam pada Abra yang sedang duduk bersandar di kepala tempat tidur. Mata pria itu tampak fokus menekuri laptop yang ada di pangkuannya. Dan akibat dari pertanyaanku itu, Abra perlahan mengangkat pandangannya ke arahku sambil mengangkat alis tinggi-tinggi."Kamu ingin tahu?" tanya Abra.Aku kemudian dengan cepat mengangguk sebagai tanggapan."Ada pepatah yang mengatakan bahwa keingintahuan membunuh kucing. Apa kamu yakin benar-benar ingin tahu?" tanya Abra sekali lagi. Kali ini matanya menyipit tajam menatap ke arahku.Aku pun tanpa sadar menelan ludah. Namun, rasa penasaran yang menggantung di hatiku lebih besar daripada rasa takut. Mungkin ka
Read more
15. Kesepakatan
"Kesepakatan seperti apa lagi sih?" tanyaku dengan ogah-ogahan."Kamu tahu Universitas X di kota sebelah?" Abra balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan yang telah aku ajukan lebih dulu.Aku tidak tahu ke mana topik pembicaraan ini akan dibawa. Apalagi karena Abra tiba-tiba menyebutkan soal Universitas X di kota sebelah tempatku berkuliah dulu. Namun, meskipun begitu, aku tetap menganggukkan kepala."Tahu. Kenapa?" tanyaku."Aku memiliki kos-kosan 23 pintu di sekitaran sana. Jadi aku ingin meminjam namamu dalam pengelolaannya. Aku mau tetap bersikap low profil. Aku tidak mau ketahuan oleh musuhku sebelum aku memiliki persiapan matang untuk menghadapinya," pungkas Abra dengan serius. Aku yang mendengar ucapannya spontan meneguk ludah."Tentang musuhmu, apakah masalah di antara kalian begitu serius?" tanyaku dengan sedikit was-was. Jantungku pun berdetak heboh di balik dada."Kalau tidak, aku tidak akan terluka seperti ini," jawab
Read more
16. Membuat Rencana
"Apa kamu tidak bisa membeli sepeda motor yang agak bagusan dikit?!" Aku berseru dengan keras dari boncengan motor Abra yang bisa dikatakan hampir seperti rongsokan. Seluruh badan motor itu begitu tipis karena hanya tinggal kerangka. Di sepanjang jalan aku terus dibuat khawatir kalau-kalau motor yang kami tunggangi ini akan terbelah karena tidak mampu menahan bobot kami berdua."Siapa yang tahu aku akan membonceng orang suatu saat nanti," timpal Abra turut berteriak karena suaranya dihanyutkan oleh angin."Tsk!" Aku mendecakkan lidah dengan tidak puas."Nanti deh aku beli yang baru," ucap Abra kemudian dengan entengnya. " ... "Aku tidak menimpali. Seluruh tubuhku tegang karena waspada. Jika sepeda motor ini menunjukkan gejala aneh, aku akan langsung melompat. Aku bahkan meminta pada Abra untuk berkendara dengan pelan, dan mengambil sisi pinggir jalan."Itu dia kos-kosannya," celetuk Abra.Dia menghentikan sep
Read more
17. Perdebatan Ibu dan Anak
Tok tok tok,Ayam baru saja selesai berkokok ketika pintu kamarku digedor dengan keras dari luar. Aku yang baru saja menyelesaikan sholat subuh hanya melirik dengan malas ke arah pintu."Kamilia! Bangun!" Suara ibu tiriku menggema dengan keras. Jelas sekali terdengar bahwa dia sedang marah.Tok tok tok,"Kamilia!"Aku yang lambat laun tidak tahan dengan keributan ini pun mau tidak mau beranjak membuka pintu untuknya."Ada apa sih pagi-pagi sudah ribut aja!" seruku seraya menunjukkan wajah tidak senang."Kamu masih tidak mau masak dan bersih-bersih rumah juga?!" hardik ibu tiriku itu sambil berkacak pinggang, dan matanya melotot marah."Tidak mau!" jawabku dengan santai."Kamu!" "Percuma saja sih marah-marah. Kenapa tidak menyuruh putrimu saja yang membantu ibunya tersayang memasak dan beres-beres rumah? Biar nanti kalau menikah, dia bisa menyenangkan suami dan mertuanya," ucapku sembari mencib
Read more
18. Menjalankan Rencana
"Aku selalu takut dibonceng pakai motor ini," keluhku seraya duduk dengan waspada di atas sepeda motor butut milik Abra."Aku tahu. Besok aku akan beli motor yang baru," ujar Abra sembari mengenakan helmnya."Alasan apa yang akan kamu gunakan kalau bapakku bertanya?" tanyaku lagi."Hutang!" jawab Abra dengan santai."Ah~" Aku pun tanpa sadar mengangguk sebagai tanda mengerti."Udah siap belum?" tanya Abra yang hendak memulai ancang-ancang untuk menarik gas."Udah," jawabku setelah menelan ludah dengan tidak nyaman.Tidak lama kemudian, sepeda motor butut milik Abra sudah meluncur di atas jalanan. Dan butuh waktu sekitar 30 menit berkendara dari rumah hingga kami tiba di kos-kosan itu. "Alhamdulillah. Fiuh~" gumamku seraya mengusap peluh tak kasat mata dari dahiku. Jantung yang sempat menegang pun kini mulai rileks ketika kami selamat sampai tujuan."Itu Pak Rahmat yang sebelumnya aku mintai tolong untu
Read more
19. Testpack Garis Dua di Tempat Sampah
"Kamu terlihat sangat bersemangat hari ini. Ada hal membahagiakan apa?" tanya Abra. Dia pasti penasaran karena aku terus berdendang dengan ceria sembari membersihkan setiap sudut kamar."Semalam aku bermimpi indah," jawabku. Ada senyum cemerlang yang terus menghiasi wajahku.Abra pun mendengus geli. "Ternyata gara-gara mimpi. Aku pikir uang 300 juta sudah membuatmu gila," celetuknya asal-asalan."Tidak gila, tapi hampir," balasku dengan bercanda. Kami lalu terkekeh pelan.Berbeda dengan harmoni yang terjadi di dalam kamar kami, suara misuh-misuh ibu tiriku terdengar sampai ke dalam kamar. Wanita paruh baya yang sebelumnya selalu berada di pihak putrinya itu mulai merasakan ketidakpuasan."Nak, ayolah bantuin ibu nyapu sekali-sekali. Terakhir kali lantai di rumah ini disapu dua hari yang lalu," pinta ibu tiriku dengan suara memohon pada putrinya.Aku yang masih terkikik bersama Abra spontan terdiam. Jari telunjuk pun aku dekatkan
Read more
20. Ternyata Begitu
"AARGGGGHH!""Lepaskan! Sakit!"Jemima terus menjerit karena genggaman tanganku pada rambutnya semakin menguat. Segala emosi yang beberapa hari ini telah aku pendam jauh di lubuk hati pun berusaha untuk aku salurkan pada rambut halus saudara tiriku ini."Dasar anak nakal. Lepaskan, nggak?!" seru ibu tiriku seraya berusaha melepaskan tanganku dari rambut putrinya.Namun, bukannya menurut dengan patuh, aku justru semakin mengencangkan genggaman tanganku."Aw! Dasar wanita gila! Lepaskan!" maki Jemima dengan galak. Kedua tangannya berusaha untuk balas meraih rambutku. Akan tetapi, aku dengan cepat memundurkan kepala untuk menggagalkan usahanya. Untungnya, kondisi badanku yang lebih tinggi darinya memberikan keuntungan dalam perkelahian ini."Pak, kenapa Bapak cuma bengong aja. Pisahin mereka dong!" seru ibu tiriku semakin gencar berusaha melepaskan tanganku dari rambut putrinya."Mil, lepaskan. Kasihan, Jemima!" t
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status