All Chapters of Lelaki Penakluk Nona Muda: Chapter 251 - Chapter 260

Seorang gadis cantik mencondongkan tubuhnya ke kiri. Berusaha melihat lebih jelas sosok seorang lelaki yang sedang asyik cuci mata pada kios souvenir di sekitar Menara Eiffel. Lelaki itu agak membungkuk dan menoleh ke kanan sehingga mempersulit pandangannya untuk mengenali wajah lelaki itu dengan lebih jelas.Gadis cantik itu mengukir senyuman lebar ketika lelaki itu berdiri tegap. Cepat-cepat ia mengayun langkah mendekati lelaki itu. Rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai lepas berkibar-kibar ditiup angin. Raut mukanya tampak semringah seperti baru saja menemukan barang berharganya yang telah lama hilang.“Zain Adelino? It’s you, right?” sapanya ramah pada sosok lelaki yang masih asyik mengamati cendera mata di kios itu.Merasa nama lengkapnya dipanggil, Zain menoleh. Sesaat ia menyipitkan mata, memandang sekilas pada gadis cantik yang berdiri di depannya. Keningnya yang berkerut menunjukkan bahwa ia sedang berusaha memanggil sepenggal memori, yang mun

GREP!Mendadak Sonny menarik lengan Gianna dan memaksa gadis itu bersembunyi di belakang rak, yang memajang aneka souvenir di dalam sebuah toko tempat mereka cuci mata.“Ada a—”“Ssst!”Pertanyaan Gianna terpotong oleh isyarat diam yang diberikan Sonny sambil menempelkan jari telunjuk pada bibirnya sendiri. Ia menekan kepala Gianna agar makin merunduk dan tidak menyembul ke permukaan rak teratas, yang tidak terlalu tinggi. Bahkan, hanya sedikit lebih tinggi dari ukuran meja makan.Gianna pun membisu dalam kebingungan. Merasakan cekalan Sonny cukup keras pada pergelangan tangan kirinya, Gianna menoleh. Jantungnya sekonyong-konyong menderu hebat kala menyaksikan jari-jari panjang Sonny membelit lengan dengan sangat erat, seolah-olah lelaki itu takut Gianna akan melarikan diri darinya.Gianna mengangkat wajah, melirik Sonny yang berlutut di sampingnya dalam jarak yang begitu dekat. Ia memandang Sonny tanpa kedip. Untuk pertama kalin

‘Ya Tuhan! Ini harganya di atas lima ratus miliar,’ jerit Amisha dalam hati ketika matanya menyapu penghuni cantik yang terbaring anggun di atas beludru merah nan empuk, dalam sebuah kotak kecil berwarna hitam yang disodorkan Zain kepadanya.Matanya mengerjap cepat berulang kali. Tak percaya dengan apa yang disaksikannya. Bahkan, ia juga mengucek mata untuk memastikan bahwa pandangannya tidak lamur.Netra uniknya beralih menatap bengong pada Zain yang memandangnya dengan senyuman menawan.“Tolong katakan bahwa ini bukan yang asli!” pinta Amisha, dengan nada memohon.Zain meraih tangan kanan Amisha dan menyembunyikan tangan mungil itu dalam genggaman kedua telapak tangan lebarnya.“Cintaku padamu asli dan tulus. Jadi, aku tak akan pernah memberikan sesuatu yang palsu kepadamu.” Zain membawa punggung tangan Amisha ke bibir, mengecupnya pelan.“Tapi, Sayang … itu terlalu mahal. Sementara aku tak pernah memberikan apa pun kepadamu,”

Huuuh! Haaah!Zain membuang gas beracun dari dalam dadanya yang membuat napasnya terasa sesak. Kemudian, ia memasok oksigen ke paru-parunya sebanyak mungkin. Ia berharap kesejukan aliran udara di Sungai Seine yang dihirupnya dapat mengurangi lara yang baru saja mendiami relung hatinya.Bailey, yang memperhatikan ekspresi wajah Zain dari kejauhan sambil terus mengobral kata dengan Yoshi dan Gianna, sedikit mengerutkan kening kala mata jelinya mendapati wajah Zain bermuram durja. Meskipun hanya sesaat, sudah cukup jelas bagi Bailey bahwa relasi bisnisnya itu tengah dirundung nestapa.“Maaf telah membuat Anda menunggu lama,” lirih Zain saat kembali ke tempat duduknya. Ia merasa tak enak hati karena telah memutus perbincangan penting mereka.“Tidak apa-apa,” tukas Bailey.Usianya yang sudah sangat matang menelurkan kebijaksanaan. Ia sangat memahami kondisi kejiwaan Zain saat itu. Namun, harus diakuinya bahwa Zain sangat pandai mengontrol emos

“Kenapa pemakamannya harus ditunda?” tanya Amisha heran.Sepanjang pengetahuannya, jasad yang sudah meninggal dunia harus segera dikebumikan. Begitu anjuran agama yang dianutnya.Amisha masih duduk di meja rias sambil memoles wajah dengan sapuan make up tipis. Di belakangnya, Zain berdiri seraya tangannya menari memasang dasi.“Entahlah. Sepertinya ada hal penting yang ingin dibicarakan sekretarisnya padaku sebelum proses pemakaman,” sahut Zain, menyambar jas yang dibentangkan di atas kasur.Amisha melirik Zain yang sedang memakai pakaian resmi itu dari pantulan cermin. Senyuman kekaguman terbit di wajahnya kala suaminya selesai berdandan. Tak lupa ia mengacungkan kedua jempol sebagai bentuk pujian.CUP!Zain menghadiahi Amisha sekilas kecupan ringan di pipi. Kedua tangannya bertengger di pundak Amisha. Ia menyejajarkan mukanya ke wajah Amisha, seakan-akan sedang memamerkan pada cermin betapa serasinya ketampanan dan kecantikan m