Lahat ng Kabanata ng Mencintai Seorang Climber: Kabanata 221 - Kabanata 230

Pak Wardoyo mengalami sesak napas, dan dibawa kembali ke ruang ICU. Dia masih sadar tatkala bertemu istri dan anaknya yang diizinkan besuk secara bergiliran. Maryam tidak pernah mengira, bakal menikah di rumah sakit. Dia tidak terlalu memikirkan statusnya, dia anggap akad nikah di ruang opname itu hanya untuk menyenangkan hati bapaknya. Makanya Maryam tidak merasa punya kewajiban sebagai istri. Berhari-hari dia berdiam di ruang tunggu rumah sakit. Jika ingin ke kamar mandi, dia memilih pergi ke halaman parkir di samping rumah sakit. Di situ ada kamar mandi berbayar yang lebih tertutup. Dia bisa membersihkan tubuh dan berganti pakaian. Di ruang tunggu rumah sakit, di lantai tiga, di depan bangsal perawatan intensif itu, semua penunggu pasien berwajah muram, lelah, namun belum ingin menyerah. Seperti juga para petugas medis yang pantang menyerah untuk terus berusaha menyelamatkan pasien. Kondisi Pak Wardoyo terus menurun, makan tidak bisa lagi lewat mulut, melainkan lewat selang yang

Pria muda yang juga penunggu pasien di ruang ICU itu, bertanya pada Maryam, “Siapa yang sakit, Mbak?”“Bapak saya.”“Sakit apa?”“Ehm ... bapak saya jatuh, terus ada memar di kepalanya.” jawab Maryam.Maryam bingung jika ditanya oleh sesama penunggu pasien, tentang sakit bapaknya. Dia tidak mungkin mengatakan pada orang yang baru kenal, bahwa bapaknya dirawat di rumah sakit gara-gara ditikam oleh seseorang. Nanti bakal ada pertanyaan susulan seperti; siapa pelakunya, apa alasannya, kenapa sampai terjadi .... Makanya Maryam jawab saja kalau bapaknya jatuh. Biasanya orang-orang akan berasumsi bahwa pasien itu jatuh di kamar mandi, lalu mengalami stroke dan mendadak lumpuh.“Apakah bapaknya Mbak mengalami gegar otak?”“Kurang paham juga, karena dokter menyebutnya dengan istilah medis, saya nggak ngerti.”“Mbak Maryam sendirian nunggu di ruang ICU ini?”“Ehm ... dengan suami saya.” jawab Maryam, karena dia khawatir jika ada pria yang terus-menerus bertanya padanya, kalau tidak dijawab nan

Maryam kembali ke rumah ibunya, membantu memasak hidangan untuk kerabat yang datang. Walaupun mereka bilang tidak perlu repot-repot, bisa beli makanan, tapi emaknya Maryam merasa malu jika tidak menyediakan makan untuk para kerabat yang datang untuk menginap. Minimal ada nasi, sayur dan sambal.“Mak, apakah Emak mau ngadain tahlilan selama tujuh hari?” tanya Maryam.“Hanya hari pertama, hari ketiga, hari ketujuh, dan nanti empatpuluh harian.” jawab emaknya.“Dananya ada, Mak?”“Ada Nok, dari uang takziah para tetangga dan kerabat. Ya secukupnya uang saja. Yang datang mau tahlilan juga mengerti kalau kita lagi berduka cita, dan tujuan tahlilan untuk mendoakan almarhum. Soal suguhan, itu kan, tanda kita menghargai kehadiran tamu yang datang ke rumah kita untuk turut mendoakan almarhum.”“Tapi biasanya kalau tahlilan hari keempatpuluh, tradisinya tuan rumah suka ngasi berkat sama tamu yang datang. Bapak juga dulu kalau ikut tahlilan empatpuluh harian tetangga yang meninggal, suka pulang

Nanang berpesan pada Nurjanah, adik bungsunya, ketika si Nur akan berangkat mengantar tamu jalan-jalan. “Nur, jangan sepeserpun sira keluar duit! Mereka yang pengin jalan-jalan, biar mereka aja yang keluar duit buat ongkos!”Para tamu pergi jalan-jalan dengan menyewa sebuah angkot milik tetangga Juwariyah. Nanang ikut nego harga sewa angkot plus sopir selama beberapa jam. Ternyata para tamu tidak terlalu ngotot menawar harga.Beberapa jam kemudian Nurjanah dan para tamu itu pulang. Ternyata mereka belanja batik dan makanan. Nanang mengira tamunya itu sebenarnya bawa uang banyak, karena sudah berniat belanja di Cirebon, tapi sepertinya mereka ogah mengeluarkan biaya makan selama tinggal di rumah Juwariyah.Benak Nanang bicara sendiri, Kalau besok mereka belum mau balik, lihat saja, tak openi listrik di rumah ini sampai padam. Belum akan nyala kalau mereka belum pergi. Hehehe.Nanang masuk ke kamar emaknya yang sedang rehat sejenak, sembari menunggu waktu maghrib.Nanang berbisik, “Mak

Maryam mendapat panggilan untuk wawancara kerja dari sebuah madrasah. Maryam memang pernah melamar kerja ke madrasah tempat dirinya menimba ilmu di jenjang pendidikan Tsanawiyah dan Aliyah, yaitu setingkat SMP dan SMA. Waktu memasukkan surat lamaran, Maryam datang langsung ke madrasah itu, dia bertemu dengan ustazah yang dulu pernah mengajar dirinya. Ustazah itu bilang akan merekomendasikan Maryam supaya bisa diterima oleh pimpinan madrasah. Namun setelah mendapat panggilan untuk wawancara kerja, justru Maryam jadi bimbang.Marco sudah pernah berjanji untuk menjemputnya, dan nanti Maryam bakal tinggal di Bandung. Namun hingga lewat hari yang telah dijanjikan Marco untuk menjemput Maryam, ternyata Marco tidak datang ke Cirebon. Keesokan harinya, masih tak ada kabar tentang Marco. Maryam berpikir, seandainya ada kondisi terburuk yang menimpa dirinya, yaitu keluarga Marco menolak pernikahan antara dirinya dengan Marco, kemudian yang lebih buruk lagi, Bu Marianne menyuruh Marco menikahi s