All Chapters of Melahirkan Anak Presdir Posesif: Chapter 231 - Chapter 240

Tiga pria itu membeku di tempat duduk mereka. Gelas di tangan Ziyon jatuh dan pecah berantakan. Wanita-wanita yang menemani mereka segera menjauh. Jordy tampak kebingungan, sementara Michael tampak hendak berdiri namun tubuhnya lemas tak bertenaga. “A-apa ini? Ada kesalahan... Kami tidak melakukan apa pun!” seru Ziyon panik. Namun para petugas tidak memedulikannya. Satu per satu mereka diborgol tanpa diberi kesempatan untuk melarikan diri. Di luar bar, sebuah mobil hitam terparkir dengan tenang. Dari balik kaca jendela, Sebastian menyaksikan semuanya dengan dingin. Ramon duduk di kursi pengemudi, menoleh sejenak ke arah tuannya. "Semua berjalan sesuai rencana.” Sebastian mengangguk. “Bagus, pastikan mereka tidak bisa lolos." "Baik, Tuan." Mobil itu kemudian melaju pelan, meninggalkan tempat itu. Sementara di dalam bar, keributan masih berlangsung. Dan tiga pria yang pernah bersekongkol melakukan kejahatan kini tak bisa lagi lari dari bayang-bayang masa lalu. Hari pembalasan

"Selamat datang, Kakek." Clara membungkukkan sedikit tubuhnya, menyambut sosok tetua dari keluarga suaminya. Dia lantas memandang sosok asing yang datang bersama Maxime. Lantas mengangguk sopan. "Ayah, mengapa tidak memberi kabar kalau ingin datang?" Sania memprotes tindakan Maxime yang datang tiba-tiba. Pria muda yang datang bersama Maxime pun tak luput dari perhatian Sania. "Ayah, siapa dia?" tanya Sania terang-terangan. Berbeda dengan Clara yang memilih menyembunyikan rasa penasarannya dalam diam. Sania cenderung lebih suka berterus terang. Maxime memandang pria muda dengan kacamata berbingkai hitam itu sekilas, kemudian kembali fokus pada cucu menantunya. "Dia adalah Verro. Putera Damian, dia seorang pengacara," jawab Maxime. Ingatan Sania segera terlempar pada sosok Damian, asisten ayah mertuanya itu. Bila diperhatikan, pemuda itu memang mirip dengan Damian. "Ayah, apa yang terjadi pada Damian?" Selain asisten, Damian menjabat pengacara khusus keluarga Abraha

Wajah Sebastian menegang seketika. Tangannya memegang ponsel berubah mencengkeram. "Apa yang terjadi?" Suaranya terdengar menggelegar. Kerutan di alisnya semakin padat. "Pulanglah. Ada yang ingin aku bicarakan." Ketika suara di ujung sana berubah melemah, Sebastian seketika menghela. "Apa itu sangat penting?" "Ya, pulanglah cepat." "Baiklah kalau begitu." Kalau Clara sudah bilang begitu, maka Sebastian harus segera mewujudkannya. Entah mengapa Sebastian tidak bisa menolak keinginan Clara. Dia tahu usahanya untuk mendapatkan wanita itu dengan bersusah payah. Itu sebabnya, Sebastian tidak ingin membuatnya kecewa. Sebastian tidak ingin membuat keputusan Clara memilih dirinya menjadi sebuah kesalahan. Setelah panggilan ditutup, Sebastian segera kembali ke ruangan. Sebastian segera mengakhiri pertemuan dengan terpaksa. "Kita pulang sekarang, Ramon!" Melihat raut wajah gelap Sebastian, Ramon pun bertanya, "Apa terjadi sesuatu?" Langkah cepat Sebastian menjawab pertanyaan R

Clara terduduk seketika kala mendengar ucapan Sebastian. Kedua tangannya mencoba mempertahankan selimut yang menutupi bagian dadanya. Dia lantas menatap Sebastian yang tampak terlihat santai. "Apa? Kenapa begitu tiba-tiba?" tanya Clara yang tampak terkejut. Sebastian mendudukkan dirinya, menatap Clara dengan tatapan yang sulit diartikan. "Sayang, mereka orang tuamu, dan itu artinya orang tuaku juga. Aku rasa aku perlu memperbaiki hubungan kita dengan mereka." Clara terdiam, dia menggigit bibirnya kuat-kuat. Perasaannya berdebar tak menentu. Rencana Sebastian memang sangat mulia. Namun, entah mengapa dia merasa keberatan dengan rencana suaminya itu. "Sayang, aku merasa tidak yakin." Kecemasan terlihat di wajah Clara. Sebastian menghela, kemudian menangkup wajah istrinya, memberikan keyakinan. "Kenapa tidak? Serahkan semuanya padaku." Keesokan harinya, Sebastian datang ke kediaman keluarga Rein yang sederhana. Rumah yang dikelilingi pagar yang terbuat dari kayu itu tampak ber

Penolakan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya terhadap kedatangan kedua orang tua suaminya telah menyisakan perasaan bersalah yang mendalam dalam hati Clara. Dia merasa seolah menjadi jembatan yang retak di antara dua keluarga yang seharusnya bersatu dalam harmoni. Clara bisa membayangkan bagaimana wajah ibunya yang dingin dan sikap ayahnya yang kaku meski dia tak di sana. Dia tahu, sebesar apa pun alasan yang melatarbelakanginya, perasaan kecewa pasti telah menyelimuti hati mertuanya. Pagi ini, ketika sinar mentari baru saja menembus sela-sela tirai jendela, Sania, ibu mertua Clara, datang berkunjung ke kediamannya. Kedatangan itu bukan sesuatu yang direncanakan jauh hari, namun kunjuangan yang dilakukan setiap hari. Begitu Sania memasuki ruang tamu, Clara segera menghampirinya dengan langkah ringan namun penuh kegelisahan. “Mom, sudah datang?” ucap Clara pelan, lalu menggenggam tangan wanita paruh baya itu dengan tulus. Wajahnya menunduk, menahan air mata yang hampir luruh. T