All Chapters of Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya: Chapter 141 - Chapter 150

Setelah puas bercakap-cakap, Evita dan Bu Lina akhirnya berpamitan pulang. Gavin mengantarkan mereka sampai ke depan pintu, memeluk keduanya dengan hangat."Hati-hati di jalan, Bu. Terima kasih sudah datang," kata Gavin sambil melambaikan tangan.Setelah mobil mereka menghilang di tikungan jalan, Gavin kembali masuk ke rumah. Rumah yang dulunya terasa besar dan sepi, kini terasa hangat dan penuh kehidupan. Ia naik ke lantai dua dengan langkah pelan, berusaha tidak menimbulkan suara.Di depan pintu kamar Livia, Gavin berhenti sejenak. Ia mendekatkan telinganya ke pintu, mendengarkan suara-suara di dalam. Tidak ada suara apa-pun, hanya ketenangan malam yang damai.Dengan hati-hati, Gavin membuka pintu kamar. Pemandangan yang ia lihat membuat hatinya mencair seketika. Livia tertidur pulas di tempat tidur dengan posisi miring, sementara Alaric tidur nyenyak di sampingnya dalam keranjang bayi kecil yang diletakkan di atas tempat tidur.Gavin melangkah masuk dengan langkah sepelan mungkin,

Gavin mengingat-ingat wajah Sandra yang sempat dilihatnya di rumah sakit. "Wanita itu berambut panjang, tingginya sedang, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. Kulitnya tidak terlalu putih, agak sawo matang, dan bibirnya sedikit tebal." Livia menahan napas, jantungnya berdebar kencang. Deskripsi yang diberikan Gavin sangat mirip dengan Sandra kakak tirinya. "Sedangkan Bu Rita," Gavin melanjutkan, "wanita berusia sekitar 50 tahun lebih, berambut pendek, bertubuh sedikit besar, dan lebih pendek dari wanita yang kutabrak itu." Wajah Livia semakin pucat. Semua ciri-ciri yang disebutkan Gavin persis seperti ibu tiri dan kakak tirinya. "Apakah wanita yang kamu tabrak mempunyai tahi lalat di dagu?" Gavin mengerutkan kening, berusaha mengingat-ingat wajah Sandra dengan lebih jelas. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba merekonstruksi memori tentang wanita yang pernah ditabraknya. "Ya," kata Gavin, matanya terbuka menatap Livia dengan penasaran. "Kalau tidak salah, wanita itu meman

Gavin bangkit dari duduknya, meraih jas yang tersampir di kursi kerjanya. Matanya melirik jam tangan—sudah hampir sore. Ia harus segera pergi untuk menjemput Livia. Sore ini mereka akan menemui Rita dan Sandra di rumah sakit, sebuah pertemuan yang entah bagaimana akan berakhir.Di rumahnya, Livia berdiri di depan cermin kamar, merapikan dress putih selutut yang membalut tubuhnya. Make up natural yang diaplikasikannya berhasil menyamarkan kelelahan pasca melahirkan dan merawat Alaric. Meskipun bentuk tubuhnya belum sepenuhnya kembali seperti dulu, ia tetap terlihat cantik dengan pancaran kebahagiaan seorang ibu baru.Livia keluar dari kamar, melangkah dengan anggun. Dika yang sedari tadi berdiri di depan kamar langsung mengangguk hormat saat melihat Livia."Apa Tuan Gavin sudah tiba?" tanya Livia sambil menyesuaikan posisi tasnya."Saya rasa Tuan Gavin belum tiba, Nyonya," jawab Dika sopan.Livia mengangguk kemudian melangkah menuju kamar Suster Dessy untuk melihat Alaric. Pintu kamar

"Evan pergi?" Livia terperanjat. Meskipun dulu Evan pernah menghianatinya dengan menikahi Sandra, ia tidak menyangka pria itu akan sebegitu tidak bertanggung jawabnya."Iya," Sandra mengangguk lemah. "Sekarang dia malah menghilang. Sekarang kami benar-benar tidak punya apa-apa, Livia."Livia merasakan hatinya tersentuh. Meskipun mereka pernah menyakitinya, ia tidak tega melihat mereka dalam kesusahan."Kalian bisa tinggal di rumahku," kata Livia spontan. "Aku akan tinggal bersama ibu kandungku, jadi satu kamar akan kosong."Rita dan Sandra menatap Livia dengan mata berbinar, tidak percaya dengan kebaikan hati manusia yang pernah mereka sakiti."Livia, apa kamu serius?" tanya Rita dengan suara bergetar."Iya. Kalian bisa tinggal bersama Elena dan Aruna. Mereka baik-baik, kok."Sandra menangis lagi, kali ini karena terharu. "Livia, kamu terlalu baik. Kami tidak pantas mendapat kebaikan darimu.""Sudahlah," Livia menggeleng. "Yang penting kalian punya tempat tinggal yang layak.""Oh, ya.

Gavin dan Livia keluar dari kamar menuju ruang tamu. Evita masuk dengan elegansi khas seorang wanita sukses—blazer hitam dengan aksen emas, sepatu hak tinggi yang mengetuk lantai dengan irama percaya diri, dan tas bermerek terkenal di lengannya. Di belakangnya, dua orang pria berseragam khas sopir pribadi berjalan dengan postur tegap."Tolong angkat barang-barang Nona Livia dan masukkan ke dalam mobil," perintah Evita dengan suara yang tegas namun tidak arogan. "Baik, Nyonya," kedua pria tersebut menjawab serentak dan langsung bergegas mengangkat empat koper dan barang lainnya dengan hati-hati.Suster Dessy juga membawa dua koper berukuran sedang yang berisi pakaian dan perlengkapan Alaric, mulai dari popok, susu formula, hingga mainan-mainan kecil untuk si bayi."Hai, cucu kesayanganku," Evita menghampiri dengan senyum hangat yang kontras dengan kesan dinginnya tadi, "sini biar nenek gendong." Matanya berbinar melihat wajah Alaric yang mulai mengerjap-ngerjapkan mata.Livia langsung