Livia, cleaning service cantik yang patah hati karena dikhianati calon suaminya, terpaksa menjual diri demi biaya operasi sang ayah. Takdir mempertemukannya dengan Gavin Lysandros, CEO tampan yang juga terluka karena perselingkuhan istrinya. Siapa sangka, pertemuan satu malam itu akan membawa dampak tak terduga. Saat Livia bekerja di perusahaan Gavin sebagai cleaning service, bisakah ia menyimpan rahasianya? Dan, apa yang terjadi saat identitas asli Livia terungkap?
Lihat lebih banyakGavin Lysandros, mematikan mesin mobilnya di garasi rumah mewahnya yang berada di kawasan elit Menteng. Jam tangan mahalnya menunjukkan pukul 10 malam. Seharusnya, saat ini ia masih berada di Singapura menghadiri rapat direksi. Tapi, kejutan ulang tahun untuk sang istri lebih penting dari apapun.
Dengan kue ulang tahun di tangannya, ia melangkah tanpa suara, memasuki rumah, menaiki tangga hingga ke lantai dua. Saat tiba di depan pintu kamar utama, ia mematung. Samar-samar terdengar desahan dari dalam. "Ah ... Daniel ... Kamu begitu gagah perkasa. Gavin tidak pernah bisa memuaskanku seperti ini." Suara Bella terdengar dengan jelas. Lima tahun menikah, Gavin memang terlalu sibuk dengan pekerjaannya. "Di ranjang pun dia payah ... loyo ... tidak bisa membuatku puas," lanjut Bella di sela-sela desahan. "Nyonya Bella memang butuh pria jantan seperti saya ...." Suara Daniel, sopir pribadi yang sudah ia percaya selama tiga tahun, membuat darah Gavin mendidih. "Mmhh ... ya ... Gavin terlalu lembut. Aku butuh yang kasar ... yang bisa mendominasi." Bella terdengar mendesah. "Aahhh ... begitu Daniel ... lebih keras, Sayang ... Ah ... Ah ...." BRAKK! Gavin menendang pintu kamar hingga terbuka. Kue ulang tahun di tangannya kini sudah terhempas ke lantai. Pemandangan di depannya membuat matanya gelap oleh amarah. Bella dan Daniel tersentak kaget, buru-buru menarik selimut menutupi tubuh polos mereka. "Ga-Gavin?" Wajah Bella pucat pasi. "Sayang ... ini tidak—" "DIAM!" Gavin mengaum, matanya menatap nyalang. "Jadi ini kelakuanmu dibelakangku? BERCINTA DENGAN SOPIR DI RANJANG KITA?!" Daniel bergerak panik. Tangannya gemetar ketakutan, buru-buru mengambil pakaiannya. "Ma-maaf, Pak ... saya—" "KELUAR!" Gavin menyambar vas bunga dan melemparnya ke arah Daniel. Vas itu pecah berkeping-keping di dinding. "KELUAR SEBELUM KUHABISI KAU!" Daniel langsung kabur dengan celana setengah terpasang. "Gavin ... dengarkan aku ...." Bella yang masih berbalut selimut mencoba meraih tangan suaminya. "Aku begini karena kesepian. Kamu selalu sibuk." "Kesepian?" Gavin tertawa dingin. "Kamu bilang aku loyo? Tidak bisa memuaskanmu?" Ia mencengkeram rahang Bella. "Katakan di depan wajahku, Bella. KATAKAN!" "Lepaskan!" Bella menjerit ketakutan. "Kau menyakitiku!" "Menyakitimu?" Gavin melepaskan cengkeramannya dengan kasar. "Bagaimana dengan hatiku yang kau hancurkan? Lima tahun, aku selalu setia padamu, berusaha pengobatan agar kau bisa segera hamil. Tapi, ternyata bukan anak yang kau butuhkan ... hanya NAFSU!" "Ya! Aku butuh nafsu! Aku butuh gairah!" Bella balas berteriak. "Kau terlalu sibuk dengan perusahaanmu! Bahkan saat kita bercinta, pikiranmu entah kemana!" Gavin terdiam. Matanya menyorot tajam penuh kebencian. "Kau ingin nafsu? Gairah?" Dia membuka dasi dengan gerakan kasar. "Baik. Malam ini aku akan mencari wanita yang bisa kuhancurkan seperti kau menghancurkan kepercayaanku." "Gavin! Kau mau kemana?" Bella mencoba mengejar, tapi Gavin sudah menuruni tangga dengan langkah menghentak. "Jika kau berselingkuh, aku juga akan melakukan hal yang sama!" Gavin berhenti sejenak tanpa menoleh. "Kau harus merasakan apa yang aku rasakan!" "Ti-tidak, Gavin! Kau tidak boleh mencari wanita lain!" Bella berteriak di ambang pintu. Namun, Gavin tak memedulikan teriakan istrinya itu. Ia memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menembus malam Jakarta. Setengah jam kemudian, ia sudah duduk di sudut Platinum Bar, bar paling eksklusif di kawasan jakarta. Gelas ketiga wiski di tangannya masih belum bisa menghapus pemandangan menjijikkan di kamarnya. "Malam yang berat, Tuan Gavin?" Sebuah suara anggun menyapa. Madam Rose, mucikari terkenal di kalangan elit Jakarta, duduk di sebelahnya dengan senyum menggoda. "Aku butuh wanita malam ini." Gavin meneguk wiskinya. "Yang masih perawan. Yang bisa kuhancurkan!" "Kebetulan sekali, Tuan ...." Madam Rose mengeluarkan ponselnya, menunjukkan foto seorang gadis muda yang polos. "Saya punya barang baru. Masih murni. Dijamin bisa membuat Tuan melupakan masalah." Gavin menatap foto itu dengan mata berkabut alkohol. "Kirim ke kamar 1808 Grand Hyatt. Satu jam lagi." Madam Rose tersenyum penuh kemenangan. "Baik, Tuan. Tapi, tentu saja tidak murah." "Gampang! Aku akan bayar berapapun yang kau mau, asalkan benar dia masih perawan!" Satu jam kemudian .... Livia, gadis cantik bermata hazel, berdiri gemetar di depan pintu kamar sebuah hotel. Ia mengenakan gaun hitam pendek, pilihan Madam Rose. Riasan wajahnya tidak bisa menyembunyikan sorot ketakutan di matanya. "Masuk!" Suara berat itu membuatnya terlonjak. Gavin Lysandros, duduk di sofa dengan segelas wiski di tangan. Jasnya tersampir sembarangan, dua kancing teratas kemejanya terbuka. Matanya yang merah karena alkohol menatap Livia dengan tajam. "Berapa umurmu?" tanya Gavin dingin. "Du-dua puluh tiga, Tuan." Livia menjawab lirih. "Jangan panggil aku Tuan." Gavin meneguk wiskinya. "Apa kau benar-benar masih perawan?" Livia mengangguk pelan, tangannya meremas ujung gaunnya. "Mendekatlah." Dengan langkah ragu, Livia mendekat. Aroma parfum mahal bercampur wiski langsung menguar dari tubuh Gavin. Tanpa peringatan, pria itu menarik tangan Livia hingga jatuh ke pangkuannya. "Tu-tuan ...." Livia mencoba memberontak. "Kubilang jangan panggil aku Tuan!" Gavin mencengkeram dagunya. "Panggil aku, Gavin!" Mata mereka bertemu. Tanpa bicara, Gavin mendekatkan wajahnya, mencium Livia dengan kasar. Rasa wiski langsung memenuhi mulut Livia. "Mmhh ...." Livia mengerang tertahan saat bibir Gavin turun ke lehernya yang jenjang. Tangannya yang kuat meremas pinggul Livia. "Kau cantik." gumam Gavin di antara ciumannya. "Terlalu cantik untuk dijual." Air mata Livia mulai menetes. "Sa-saya butuh uang untuk—" "Sshh ...." Gavin menghentikan kata-katanya dengan ciuman lagi. "Aku tidak ingin dengar alasanmu. Malam ini ... kau milikku." Gavin mengangkat tubuh mungil Livia dengan mudah, membawanya ke ranjang king size. Gaun hitam itu segera terlepas, menyisakan tubuh polos yang gemetar. "Jangan takut." bisik Gavin, untuk pertama kalinya suaranya terdengar lebih lembut. Tangannya mengusap air mata di pipi Livia. "Aku akan pelan-pelan ...." "Ta-tapi, Tuan. Bisakah Anda memakai pengaman terlebih dahulu?" "Aku mandul. Kau tidak akan hamil!" Tanpa ba-bi-bu, Gavin langsung melancarkan aksinya. Tangan wanita berparas cantik itu meremas sprei dengan kuat saat ia merasakan sesuatu yang mendesak masuk ke area intinya. Gavin memperlakukannya dengan campuran kasar dan lembut yang membingungkan. Malam itu, di kamar 1808, Livia memberikan segalanya pada Gavin. Saat akhirnya selesai, Livia berbaring memunggungi Gavin, air matanya mengalir tanpa suara. Rasa sakit dan perih yang ia rasakan tidak seberapa dibanding rasa sesak di dadanya. Kesucian yang selama ini ia jaga, telah rusak oleh pria yang bahkan tidak ia kenal sama sekali. "Kau menangis?" Gavin bertanya dengan suara serak. Livia menggeleng pelan, tapi bahunya yang bergetar menunjukkan kebohongannya. Gavin menghela nafas panjang. Tangannya terulur, menarik Livia ke dalam pelukannya. "Maaf," bisiknya. "Aku terlalu kasar." "Tidak apa-apa." Livia menjawab lirih. "Ini ... ini memang sudah tugas saya." "Tugas?" Gavin tertawa getir. "Kau terlalu polos untuk pekerjaan ini." Mereka terdiam beberapa saat. Deru AC menjadi satu-satunya suara yang terdengar di kamar tersebut. "Di laci nakas ada amplop untukmu," ujar Gavin akhirnya. "Itu hanya bonus." Livia mengangguk pelan, masih dalam pelukan Gavin. "Setelah ini ...." Gavin melanjutkan, "carilah pekerjaan yang lebih baik. Kau ... kau pantas mendapatkan yang lebih baik dari ini." Tak lama kemudian, Gavin tertidur karena pengaruh alkohol. Livia perlahan melepaskan diri dari pelukannya. Dengan tangan gemetar, ia mengambil amplop dari laci nakas. Sepuluh juta. Livia segera memasukkan uang tersebut ke dalam tasnya. Air matanya menetes lagi saat mengambil gaunnya yang tercecer di lantai. Sambil menahan rasa sakit, ia berpakaian dan berjalan tertatih ke pintu. Sebelum keluar, Livia menoleh sekali lagi pada sosok Gavin yang tertidur. Baru saja tangannya meraih gagang pintu, suara Gavin kembali terdengar, "tunggu ... siapa namamu?Tetangga-tetangga di kompleks elite itu mulai berdatangan melihat keributan. Mereka berbisik-bisik sambil memotret dengan ponsel, membuat Pak Sugeng semakin malu dan marah."JANGAN FOTO! JANGAN FOTO!" teriaknya sambil mencoba menutupi wajahnya dengan tangan yang terborgol.Mobil polisi hitam terparkir dengan mesin menyala. Pak Sugeng didorong masuk ke kursi belakang dengan kasar karena dia masih memberontak."Saya akan membalas ini semua!" ancam Pak Sugeng dari dalam mobil sambil menatap tajam ke arah rumahnya yang kini sudah dikepung polisi. "Keluarga Lysandros akan merasakan akibatnya!"Bu Ami dimasukkan ke mobil polisi yang berbeda, masih terisak dan bergumam tidak jelas.Konvoi mobil polisi perlahan meninggalkan kompleks mewah tersebut, meninggalkan rumah megah keluarga Adiwibawa yang kini sepi dan dijaga ketat oleh petugas.©©©Di ruang tahanan, suasana pengap dan lembap menyambut kedatangan Pak Sugeng dan Bu Ami. Mereka dibawa melalui lorong-lorong sempit dengan cat dinding yang
"Budi mengaku bahwa dia disewa oleh seseorang untuk menabrak mobil Anda hingga terguling. Dia dibayar lima ratus juta rupiah untuk melakukan aksi tersebut," lanjut Komisaris Hadi dengan nada yang semakin serius."Siapa yang menyuruhnya?" tanya Gavin dengan rahang mengeras.Inspektur Rina membuka halaman berikutnya dari berkas yang dibawanya. "Pak Sugeng Adiwibawa, ayah dari Bella Adiwibawa."Suasana tiba-tiba sunyi senyap. Gavin merasakan darah di tubuhnya mendidih, sementara Livia sudah tidak bisa menahan tangis."Budi memberikan keterangan bahwa Pak Sugeng sangat marah karena putrinya dipenjara dan menganggap Anda dan keluarga sebagai penyebabnya," tambah Komisaris Hadi. "Dia merencanakan untuk ... untuk menghilangkan Anda sekeluarga."Tangan Gavin mengepal erat. "Bajingan! Dia hampir saja membunuh kami!""Tenang, Pak Gavin," kata Inspektur Rina dengan suara menenangkan. "Kami akan segera menangkap Pak Sugeng. Surat penangkapan sudah keluar dan tim kami sedang bergerak ke rumahnya s
Di ruang kerjanya yang mewah Gavin duduk di depan layar komputer dengan ekspresi puas. Grafik saham perusahaannya terus menunjukkan tren naik yang signifikan. Angka-angka hijau berkelap-kelip di layar monitor, menandakan pemulihan yang luar biasa bahkan melampaui kondisi sebelum krisis."Luar biasa," gumam Gavin sambil melemaskan pundaknya yang tegang. "Bantuan Bu Evita benar-benar membuat keajaiban."TOK TOK TOKSuara ketukan pintu yang lembut membuat Gavin mendongak. Sosok elegan Evita muncul di ambang pintu dengan senyum hangat yang menyembunyikan sesuatu di balik matanya yang tajam."Boleh masuk, Gavin?" tanya Evita dengan suara lembut dan penuh wibawa."Tentu saja, Bu. Silakan masuk." Gavin bangkit dari kursinya dan mempersilakan mertuanya duduk di sofa.Evita berjalan dengan langkah anggun, duduk di sofa. "Bagaimana kondisi perusahaan sekarang?" tanya Evita sambil menyilangkan kakinya dengan elegan."Alhamdulillah sangat baik, bahkan melebihi ekspektasi," jawab Gavin sambil dudu
"Mobil saya sengaja ditabrak mobil lain beberapa kali hingga terguling," kata Gavin dengan nada rendah, matanya menatap kosong ke taman. "Saya masih ingat jelas, mobil itu menabrak dari samping dua kali, kemudian dari belakang dengan kecepatan tinggi sampai mobil kami terbalik."Daniel menarik napas dalam-dalam, wajahnya mengeras. "Saya sangat yakin kalau itu orang suruhan keluarga Bella," desisnya dengan rahang mengeras."Kemungkinan besar," angguk Gavin. "Timing-nya terlalu pas. Tepat setelah Bella dipenjara, tiba-tiba saya mengalami 'kecelakaan' seperti itu.""Mereka sudah kelewat batas! Untung saja Anda dan Livia selamat, kalau sampai ... Saya tidak akan pernah memaafkan mereka.""Maka dari itu saya sudah minta pengacara untuk menindaklanjuti ini," kata Gavin sambil mengepalkan tangannya. "Tidak boleh ada yang lolos. Livia dan Alaric harus aman."©©©Tidak lama kemudian, suara klakson mobil berbunyi. Sekuriti membukakan pintu gerbang untuk seorang pria yang berada di dalam mobil
Tiga hari berlalu dengan cepat. Pagi itu, sinar matahari menyusup masuk melalui jendela kamar rawat VVIP, menerangi wajah damai Livia yang tengah menyusui Alaric. Suasana hangat itu terpancar dari kedekatan ibu dan anak yang baru saja bersatu kembali."Sudah siap pulang, sayang?" tanya Gavin sambil mengelus rambut Livia dengan lembut.Livia mengangguk sambil tersenyum, meski masih terlihat sedikit lelah. "Sudah tidak sabar ingin membawa Alaric ke rumah."Evita yang duduk di kursi samping tempat tidur langsung berdiri dengan antusias. "Ayo, biar Mama yang gendong Alaric," katanya sambil mengulurkan tangan, matanya berbinar-binar menatap cucunya.Dengan hati-hati, Livia menyerahkan Alaric ke pelukan Evita. Wajah Evita langsung berseri-seri, seolah semua kepedihan bertahun-tahun hilang seketika saat memeluk cucu pertamanya."Lihat betapa tampannya cucu Mama," gumam Evita sambil mencium pipi mungil Alaric. "Mirip sekali dengan Gavin, tapi matanya persis seperti kamu waktu kecil."Gavin te
Evita menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk membuka luka lama yang sudah bertahun-tahun ia pendam."Malam itu," mulai Evita sambil terisak, "aku dan seorang pria memutuskan untuk kawin lari. Aku sangat mencintai dia, walaupun ibuku menentang keras karena dia hanyalah seorang sopir. Ibuku ingin aku menikah dengan pria yang sederajat, dari keluarga kaya, tapi rasa cintaku sangat besar padanya. Aku tidak peduli dengan status sosial."Livia mendengarkan dengan seksama, tangannya mencengkeram lengan kursi dengan erat."Kami pergi ke sebuah perkampungan terpencil dan menikah secara sederhana. Tak lama kemudian aku hamil, dan melahirkan seorang putri yang sangat cantik." Evita menatap Livia dengan mata berkaca-kaca. "Walaupun hidup kami pas-pasan dan aku harus beradaptasi dengan kehidupan yang berubah 180 derajat—dari mewah menjadi sederhana—tapi itu bukanlah menjadi penghalang. Secara batin aku sangat bahagia memiliki pria itu dan bayi kecilku."Suara Evita semakin be
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen