Semua Bab Diusir Suami, Dimanjakan Tuan Presdir: Bab 141 - Bab 150

"Lew, kamu itu bilang apa sih?!" Ibundanya bertanya dengan nada protes. "Aku tahu, aku sangat mengecewakan Ayah dan Bunda. Aku juga merasa nggak punya muka untuk tetap berada di depan kalian.""Lewis!""Bun, aku juga punya rasa malu. Kalian udah kasih yang terbaik untukku selama ini. Tapi aku ngecewain kalian sama perbuatanku. Aku sadar diri.""Lewis, nggak ada ceritanya kamu pergi dari Bandung! Kamu akan tetap disini sama Ralin dan Levi. Jangan pernah bawa cucu Bunda pergi!" Ibundanya memperingatkan."Tapi aku malu sama Ayah, Bun.""Bunda nggak mau dengar apapun! Kapan kamu akan menikahi ulang Ralin?""Apa Ayah dan Bunda bisa datang besok?"Hening sejenak. "Iya, Bunda akan datang besok.""Dengan Ayah kan?""Ya! Beri tahu kami alamat Ralin."Lewis tersenyum lega karena pada akhirnya orang tuanya mulai bersedia memaafkan dan mau melihat mereka menikahi Ralin tanpa ada settingan di dalamnya. "Bunda harap, ini bukan settingan lagi."Kepala Lewis menggeleng meski ibundanya tidak tahu, "

Tidak ada hadiah selamat atas pernikahannya dengan Ralin. Melihat kedua orang tuanya sudi datang melihat dirinya menikahi Ralin untuk kedua kalinya, memberinya restu, dan memaafkan kesalahannya perlahan-lahan, itu adalah kado yang tak ternilai harganya. Usaia acara pernikahan yang digelar sangat sederhana itu, kedua ayah mereka saling berbicara untuk lebih mengenal satu lama lain. Setidaknya mereka tahu sama lain tentang besannya. Tidak lupa ayahnya Ralin mengucapkan terima kasih dan maaf telah diperkenankan mendapat bantuan hukum dari tim advokat keluarga Hartadi. Mendengar hal itu ayahnya Lewis juga merasa menyesal karena memutus bantuan hukum itu ketika kasus adiknya Ralin akan selesai. "Tapi, saya semalam dapat kabar baik, Pak. Mendadak ada pengacara yang menawarkan bantuan hukum untuk adiknya Ralin. Saya tidak menghendaki adiknya Ralin bebas, saya tetap setuju dia dipenjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Hanya saja, saya mohon jangan terlalu lama. Karena orang tua

Menjalani hari sebagai pasangan suami istri yang normal, sunngguh membahagiakan.Ralin dan Lewis pernah menjalani hari-hari seperti ini namun itu tidak berlangsung lama. Pengkhianatan dari salah satu pasangan membuat mereka akhirnya menyerah dengan keadaan.Sekarang, mereka mencoba memulainya kembali dan berharap ini akan menjadi pernikahan yang terakhir dan selamanya. Meski restu tulus dari kedua orang tua mereka masih dalam upaya.Pagi itu, setelah mengantar Lewis ke mobil untuk pergi bekerja, ponsel Ralin berdering di atas meja. Kemudian asisten rumah tangga memberikannya.Setelah membaca nama penelfonnya, Ralin segera mengangkatnya sambil berjalan menaiki undakan teras rumah megah Lewis."Ya, Pak? Ada apa?""Hari ini pemberkasan terakhir adikmu. Semua proses hukum telah selesai."Ralin tersenyum senang, "Syukurlah.""Bilang sama Lewis. Bapak berterima kasih untuk bantuan pengacaranya. Bapak akui, tanpa bantuan dia, Bapak pasti kesulitan menyewa pengacara."Ralin memahami bagaiman

Tidak terasa, sudah satu minggu berlalu sejak Zaylin pergi. Namun komunikasi antara Ralin dan Zaylin tetap terhubung. Mereka hanya berbicara tentang masalah Levi, apa yang dilakukan Levi, bagaimana sekolahnya, dan segala hal yang berbau Levi. Tidak ada sedikit pun hal yang menyinggung tentang Lewis atau bagaimana rumah tangga baru mereka. Dengan begini, Ralin bisa menyimpulkan jika Zaylin benar-benar telah merelakan segalanya. Dia sudah berdamai dengan semuanya. Sedang Lewis, masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Tidak pernah pulang cepat karena sibuk sekali dengan urusan pabrik. Tantangan dari ayahnya selama tiga bulan itu bukan waktu yang panjang. "Bunda? Dari mana?" Tanya Ralin ketika ibunda Lewis datang dengan Luzia. Setelah mencium tangannya, kemudian Ralin mempersilahkan untuk duduk di ruang tengah."Gimana kabar kalian, Lin?" "Baik, Bunda. Bunda sama Dek Zia dari mana?""Dari rumah, langsung kesini karena mau bicara sesuatu sama kamu."Mendengar hal itu, Ralin sedikit

Ralin terduduk lemas di kamar mandi dan menangis sembari menatap alat tes kehamilan yang menunjukkan hasilnya yang ternyata ... "Negatif."Dia memejamkan mata dengan kuat lalu tersenyum getir. Air matanya terus luruh membasahi pipinya. Bayangan ayah mertuanya memojokkan dan menyindirnya habis-habisan membuat kepercayaan diri dan kesedihannya makin membumbung tinggi. Dia jauh lebih percaya dengan pikirannya yang tak berdasar ketimbang ucapan Lewis yang jauh lebih mengerti karakter ayahnya. Masih bersedih, kemudian pintu kamar mandi diketuk berulang kali oleh Levi."Ibu ... Ibu ... Ibu ... "Akhirnya Ralin harus menyudahi air matanya dan membuang hasil tes kehamilan itu ke dalam tong sampah yang ada di dalam kamar mandi. Dia mencuci muka lalu memasang senyum palsu di depan cermin. Kemudia membuka pintu kamar mandi. Benar saja Levi sedang berdiri dan menatap Ralin. "Ada apa, Levi?"Tidak menjawab, Levi kemudian memeluk Ralin begitu saja. Membuat kesedihan Ralin kembali menyambangi d