:-(
Malam itu di kamar hotel di Tokyo, Lewis berdiri di balkon, memandangi lampu-lampu kota dengan perasaan kalut dan skeptis. Tidak ada senyum di bibirnya.Pikirannya terus berkelana bagaimana mendapatkan investor baru dan kepercayaan mereka. Bahkan dia baru saja menyetujui kesepakatan dengan direksi untuk merumahkan beberapa karyawan demi keberlangsungan pabrik saat krisis.Luis kemudian menepuk pundak kembarannya. Dia baru melakukan panggilan zoom dengan beberapa direksi terkait investor yang memutuskan untuk angkat kaki.“Kita lalui ini sama-sama, Dek.” Suara Luis tetap optimis.Wajahnya tetap ambisius bisa mendapatkan investor sesuai harapan.“Iya, Mas. Makasih udah bantu aku setelah kekacauan yang aku lakukan.”“Itu bukan salahmu aja. Tapi salahku juga yang nggak jeli membaca strategi Alicia.”Lewis menunduk dengan menumpukan tangannya di atas pembatas balkon.“Istirahat lah. Besok kita masih harus ke China. Semoga ada kabar baik.”Lewis mengangguk lalu membuka ponselnya dan melihat
Pagi itu, suasana rumah masih diselimuti embun tipis.Burung-burung di taman belakang berkicau lembut, namun hati Lewis terasa berat. Ia berdiri di depan koper besar yang telah rapi, mengenakan jaket hitam dan kemeja putih bersih. Sorot matanya menyimpan banyak hal.Tanggung jawab, beban, dan tekad.Ralin datang dari dapur membawa termos berisi teh hangat. Levi, yang masih mengenakan piyama dinosaurus, berlari kecil menghampiri ayahnya.“Ayah mau pergi lagi?” tanyanya polos, sambil memeluk kaki Lewis.Lewis berjongkok, merangkul Levi dengan erat. “Ayah kerja, Lev. Harus berjuang supaya rumah kita, pabrik kita, semuanya tetap berdiri.”“Levi ikut?” tanyanya lagi.Lewis tersenyum, menahan gejolak di dadanya. “Nanti. Kalau semua sudah beres, Ayah janji ajak Levi naik pesawat lagi, ya?”Levi mengangguk dengan polos. Tapi Ralin tahu, janji itu diselipkan rasa cemas yang mendalam.Ralin berdiri beberapa langkah di belakang, tangannya menggenggam mug teh erat-erat. Matanya sudah berkaca-kaca
Suara riuh terdengar. Beberapa saling pandang tak percaya.Karena akhirnya, perempuan yang menjadi dalang sekaligus yang paling dibenci dengan gaya sok-nya itu, pergi dari pabrik Hartadi.Namun dengan meninggalkan pekerjaan rumah untuk pabrik Hartadi yang tidak main-main banyaknya. Semua proyek besutan Alicia dikabarkan Sebagian besar adalah fiktif dan masuk dalam jaringan Saka Leaf secara illegal.Lewis mengangkat tangannya. “Kami punya bukti. Jejak digital. Rekaman transaksi. Termasuk sabotase data marketing dan distribusi kita. Dia bukan hanya pengkhianat, dia perusak.”Ia menatap Andre dan ayahnya. “Kita akan gelar konferensi pers besok pagi ini. Aku ingin semua orang tahu siapa yang mencoba menjatuhkan kita … dan bahwa kita tidak akan menyerah.”Pagi itu, langit Bandung tampak kelabu. Suasana pabrik utama Hartadi Group mulai kembali menggeliat, namun krisis belum benar-benar berlalu. Di ruang kerja pribadi, Lubis Hartadi, cucu dari pendiri sekaligus ayah Lewis, datang lebih awal d
Setelah keheningan panjang menyelimuti kamar, Lewis perlahan bangkit dari kursinya. Ia mengusap wajahnya yang basah oleh keringat dan amarah yang tertahan. Napasnya masih berat, tapi kini ada percikan tekad di matanya.Ia menoleh pada Zaylin yang duduk di dekat jendela, memandangi langit Bali yang mulai redup sambil memangku Levi.“Zaylin,” ucap Lewis, suaranya rendah, “Boleh aku minta tolong?”Zaylin menoleh dan mengangguk. “Tolong jaga Levi bentar. Aku mau bicara berdua sama istriku.”Zaylin menoleh, lalu mengangguk mengerti. “Tentu,” katanya singkat.Ia berdiri, lalu menyentuh lengan Ralin sejenak, memberi dorongan diam-diam. Setelah itu, ia melangkah keluar, membujuk Levi untuk menikmati makanan yang lezat di restaurant hotel bintang lima ini.Ketika pintu kamar tertutup, Lewis dan Ralin saling menatap. Tak ada kemarahan di antara mereka, hanya dua orang yang saling terluka, tapi masih memilih bertahan.Lewis mendekat, lalu menunduk di hadapan Ralin.Ia menarik napas panjang, denga
Setelah tombol video aktif, Alicia menyeringai tipis, matanya menyapu tubuh Lewis yang tergeletak tak sepenuhnya sadar di ranjang hotel.Kepala Lewis sedikit berpaling, tapi tubuhnya tetap tak bergerak, benar-benar kehilangan kesadaran penuh.Setelah melepas semua kancing kemeja Lewis lalu membuat Lewis bertelanjang dada, senyum Alicia melebar. Dia duduk di perut Lewis dengan memperlihatkan rok pendeknya yang tersingkap. Paha mulusnya terpampang.Tangannya mengusap dada bidang Lewis begitu sensual dan menggoda sambil menggigit bibirnya sendiri. Ada fantasi yang selama ini tertahan karena Lewis terlalu sulit untuk disentuh.“Kamu benar-benar idamanku, Lewis. Di kamarku, nggak ada lagi yang bisa mengganggu kita. Aku bebas memilikimu.”Alicia mundur lalu membuka ikat pinggang Lewis. Membuangnya ke lantai dengan senyum bahagia. Membuka pengaitnya dan menurunkan resleting.“Lewis, kamu benar-benar luar biasa di mataku. Aku kira ini murni karena pekerjaan, tapi pesonamu bikin aku mabuk.”Ali
Malam itu, di kamar hotel, Ralin duduk di sisi ranjang sambil memandangi layar ponselnya. Napasnya pendek-pendek.Pesan dari David baru saja masuk, lengkap dengan lampiran file dan voice note yang begitu jelas, tanpa bisa dibantah lagi.[Ini semua data pergerakan Alicia sejak masuk ke Hartadi Group, Nyonya. Termasuk bukti bahwa dia menggunakan identitas palsu, surat rekomendasi fiktif, dan keterlibatannya dalam sabotase lini produksi beberapa bulan lalu. Aku juga baru tahu, dia sempat punya hubungan kerja dengan rival bisnis Hartadi. Semua ada di sana.][Jadi Alicia bekerja untuk pabrik competitor?][Tepat sekali, Nyonya.]Tidak puas, kemudian Ralin menghubungi David.Suara di seberang terdengar hangat, sedikit terkejut namun ramah.“Iya, Nyonya.”Bukan karena apa, melainkan David terkadang masih memikirkan Ralin. Wanita yang pernah ia peluk dengan penuh cinta tapi harus diambil kembali oleh Lewis.Debaran itu terkadang masih ada. Namun dia tahu ini tidak seharusnya. Dan David berusaha