All Chapters of Lady D Milik Sang Penguasa: Chapter 241 - Chapter 250

Meisya menghela napas panjang. “Tolong, Dok. Saya minta waktu. Saya belum siap. Kalau bisa... jangan sekarang. Tunggu sampai bayi ini lahir. Saya akan lakukan apa pun, asal sekarang jangan ganggu dulu.”"Anda pasti punya cara untuk membantu saya," lanjut Meisya dengan wajah memohon. Hening beberapa detik, lalu Dokter Nadya berkata dengan suara lembut, “Saya akan sampaikan ke pihak yang bersangkutan. Tapi, kamu tahu bahwa keputusan ini akan punya dampak hukum juga, kan?” Meisya mengangguk, meski lemah. "dua hari, tolonglah. Dua hari lagi. Aku akan sehat kembali, semalam saja aku sudah makan banyak makanan yang bergizi dan pagi-pagi sudah berjemur matahari supaya sehat.""Anda... Anda bisa menanyakannya kepada perawat, Dokter Nadya. Aku benar-benar berusaha untuk sehat." Dokter Nadya akhirnya mengangguk pelan, "baiklah, dua hari dan lihat apa yang bisa saya laporkan kepada Tuan Yama." Set

Dokter Nadya menatap layar komputernya tanpa berkedip. Di sana, tertera hasil tes darah awal dari Meisya, bagian dari prosedur rutin yang dilakukan sebelum jadwal pengambilan sampel untuk tes DNA prenatal. Normalnya, data itu akan langsung dikirim ke lab khusus untuk analisis hubungan biologis. Tapi hari itu, tangannya tak kunjung bergerak mengklik tombol kirim.Bayangan Sanjaya melintas di pikirannya. Senyuman tipisnya. Cara ia menatap. Ucapannya malam itu di restoran.“Aku cuma ingin pastikan Meisya baik-baik saja. Aku percaya sama kamu, Nadya.”Saat mereka selesai makan malam, di dalam mobil, Sanjaya memberikan ciuman di bibirnya yang disambut oleh Dokter Nadya dengan canggung."Kamu sungguh istimewa, aku ingin sekali membawamu ke ranjang lalu membuai dirimu sehingga kamu luluh dalam pelukanku, namun aku menghormatimu dan profesimu. Mari kita bertemu lagi sesudah kamu mengambil sample darah Meisya besok agar kamu tahu, aku tidak berniat memaksamu untuk melakukan apa pun yang tidak

Bukan Sanjaya lagi yang ia inginkan lagi. Ia ingin Yama. Ia ingin lebih dari sekadar dokter biasa. Ia ingin menjadi istri sah seorang penguasa. Meisya? Dia bisa melenyapkannya begitu saja. Sebelah tangannya mengenggam sebuah jarum suntik yang sudah terisi penuh. Dia menekannya sehingga cairan dalam suntikan itu keluar sedikit."Aku mau kamu, Sayang... Kalau kamu tidak suka kucing, maka aku bisa menjadi tikus...""Satu-satunya penghalang adalah Meisya... maka ia... harus dilenyapkan.""Meisya hilang dari peta," gumamnya lalu membaringkan dirinya ke atas ranjang dan mulai membuka pakaiannya sendiri.Di tangannya yang lain, dia memegang ponsel yang layarnya menunjukkan foto Yama."Aku akan menjadi tikus untukmu, Yama. Dan kamu... akan menjadi kudaku..."***Keesokkan paginya, Dokter Nadya mengenakan blouse pastel yang lebih lembut dari biasanya. Ia memilih riasan tipis namun mempertegas sorot matanya. Jas putihnya te

Nadya... pikirnya. Seketika matanya membelalak. Jika Nadya berkhianat, maka tidak ada lagi yang berpihak padanya. TOK TOK TOKPintu kamar terbuka sedikit dan seorang pelayan masuk mengantar makanan bersama dengan satu orang pengawal pria di belakangnya. "Nyonya, silakan makan dan bila sudah selesai, silakan menelepon melalui interkom yang berada di samping meja," ucap salah seorang pria yang terlihat seperti pengawal.Pelayan itu hendak melangkah pergi, tetapi Meisya dengan cepat menerobos pintu. Dua pengawal yang berada tidak jauh dari pintu segera mengejar lalu menahan kedua tangannya."Lepaskan!"“Aku ingin bicara dengan Yama! Kalian tidak bisa seenaknya—” “Sesuai perintahnya, Anda akan tinggal di sini sementara waktu. Segala kebutuhan akan dipenuhi. Tapi Anda tidak bisa pergi.” “APA MAKSUDNYA?! Panggil Yama! Dia

Ia mencoba bangkit, tapi tubuhnya diikat di dalam semacam kantong plastik tebal yang berlubang di bagian wajah—seperti kargo manusia. Gemetar, Sanjaya menatap sekeliling dan menyadari dirinya berada di dalam kontainer pengiriman. Di salah satu sudutnya, tertempel kertas besar: “PRIVATE SHIPMENT. NON-HAZARDOUS. TO: PORT OF TEMA, WEST AFRICA” Afrika? Matanya membelalak. Ia ingin berteriak, tapi pita suara seperti kehilangan kekuatan. Ia memukul dinding logam dengan sisa tenaga yang ada. Tak ada yang menjawab. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah dentuman pelan—tanda bahwa kontainer mulai diangkat crane, bersiap masuk kapal. Air matanya mengalir, entah karena rasa takut, dingin, atau kehancuran martabat. Ia tahu siapa yang melakukan ini. Hanya satu orang yang bisa melaku