Begitu pintu ruang kerjaku tertutup rapat, aku menjatuhkan tubuh ke kursi dengan desahan panjang. Tumitku kulepas satu per satu, lalu kusembunyikan di bawah meja. Suasana ruanganku yang tenang dan lembut langsung memeluk tubuhku yang tegang.Rapat tadi berjalan profesional. Tapi energiku terkuras, bukan karena beban kerja—melainkan karena aku menahan rasa jengah hampir sepanjang pertemuan. Khalid bukan musuh, bukan juga seseorang yang menyebalkan secara terang-terangan. Tapi gaya bicaranya yang terlalu penuh pujian, terlalu personal, membuatku merasa seolah sedang ditakar bukan sebagai pemimpin bisnis, melainkan sebagai objek keinginan.Dan aku muak akan itu.Untungnya, Lucian tidak ada di ruangan tadi. Bayangkan jika dia duduk di pojok meja sambil menyaksikan Khalid dengan senyum licinnya menyanjungku satu kalimat demi satu kalimat. Bisa jadi rapat bisnis berubah menjadi arena perang dingin penuh ejekan terselubung.Aku mengusap wajah dengan kedua telapak tanganku. Masih ada rasa leg
Last Updated : 2025-05-17 Read more