Lahat ng Kabanata ng Dinikahi Pria yang Pernah Kucampakkan : Kabanata 51 - Kabanata 60

Ilona memejamkan matanya dan setetes cairan bening lolos dari matanya. Sebisa mungkin, wanita itu berusaha menahan desakan air mata di pelupuk matanya. Ia harus bisa menghargai keputusan Romeo. Walaupun itu berarti kesempatan untuk lepas dari Reinhard semakin sulit digapai. Ilona sudah mempersiapkan diri sejak lama untuk ini. Namun, pada kenyataannya semuanya memang sangat berat. Tidak apa-apa, lambat laun dirinya pasti bisa menerima semuanya dengan lapang dada. Ia merasa sangat mengkhianati Romeo. Tiba-tiba menikah tanpa memberitahu dan memutuskan hubungan dengan lelaki itu. Apalagi setelah melihat sendiri sorot kecewa yang Romeo tampilkan di rumah sakit tadi. Padahal sebelumnya lelaki itu masih sangat baik padanya. Ilona menundukkan kepalanya sembari mengusap perutnya. Meskipun hidupnya semakin rumit setelah mengetahui kehamilannya ini, ia tidak akan menyalahkan anak ini lagi. Karena kenyataannya, memang mereka sama-sama korban di sini. Wanita itu menghela napas pelan, berharap

Ilona spontan menghentikan langkahnya dan melambaikan tangan pada salah seorang pelayan yang berdiri beberapa meter darinya. “Sejak kapan dia ada di sini? Emm ... dan siapa yang mengizinkan dia masuk?” bisiknya pada pelayan itu. “Nona Merisa datang sekitar 30 menit yang lalu, Nyonya. Kalau untuk siapa yang mengizinkan saya sendiri tidak tahu, karena saya sedang berada di dapur saat Nona Merisa datang, maaf,” jawab pelayan itu dengan kepala menunduk, tak berani membalas tatapan Ilona sama sekali. Ilona menghela napas pelan. “Ya sudah tidak apa-apa, silakan lanjutkan pekerjaanmu,” balasnya sebelum melanjutkan langkah menuju ruang makan. Walaupun sebenarnya nafsu makannya mulai menguap entah ke mana. Namun, Ilona tidak bisa egois dan mementingkan egonya sendiri. Karena ia membawa satu nyawa lagi yang harus dilengkapi nutrisinya walaupun suasana hatinya sedang tidak baik. Dan keberadaan Merisa di sini tidak akan memengaruhi apa pun. Tanpa berniat menyapa seseorang yang sudah makan leb

“Untuk apa kamu menangis? Bukankah sejak awal kamu memang tidak menginginkan anak itu? Seharusnya kamu senang karena sekarang anak itu sudah tidak ada. Atau mungkin kamu sedang menangis bahagia sekarang?” sindir Reinhard sarkas. Lelaki itu kembali menutup pintu ruang perawatan Ilona, kemudian melangkah menuju sofa panjang yang tersedia di sudut ruangan. Tanpa memedulikan Ilona yang masih terisak, Reinhard langsung menyalakan laptopnya dan mulai berkutat dengan beberapa pekerjaan yang harus dirinya selesaikan.Kalimat sarkas yang Reinhard ucapkan membuat tangis Ilona semakin kuat. Sungguh, penyesalan itu nyata dan dirinya sedang merasakannya saat ini. Ilona merasa belum sempat mencurahkan kasih sayangnya pada calon anaknya itu. Bahkan, di awal dirinya sangat membenci anaknya hanya karena anak itu darah daging Reinhard juga. Ilona tidak menyangka anaknya pergi secepat ini, di saat usia kandungannya masih sangat kecil. Ia belum sempat merasakan pergerakan apa pun dari anaknya, apalagi

Ilona mengerang pelan sembari menyentuh kepalanya yang seperti baru saja dihantam batu besar. Perlahan-lahan manik matanya yang indah terbuka. Wanita itu terlonjak hebat saat mendapati Reinhard berada di sampingnya. “Kenapa kamu ada di sini?” tanya Ilona spontan. Wanita itu mengubah posisinya menjadi duduk. Jemarinya masih memijat pelipisnya yang berdenyut nyeri. Berharap pening yang cukup mengganggu ini bisa segera hilang. Ilona ingat kepalanya tiba-tiba pusing saat berada di depan pintu aneh itu. Untung saja ia belum menuruni undakan tangga itu. Bola matanya berpendar ke arah jam yang menggantung di dinding kamarnya. Pukul 18.00 WIB, itulah yang tertera di sana dan wanita itu benar-benar terkejut melihatnya.Seingatnya, ia mulai berjalan-jalan menelusuri setiap sudut rumah ini selepas makan siang. Itu berarti dirinya sudah pingsan selama berjam-jam. Seharusnya Ilona memang belum boleh berjalan-jalan terlalu jauh karena fisiknya yang belum kuat. “Harusnya aku yang bertanya padamu,

Atensi semua orang yang ada di ruangan itu langsung teralih saat mendengar suara pintu terbuka. Kecuali satu orang, yaitu Reinhard yang sedang mencekik leher Merisa di sudut ruangan. Tanpa memedulikan tatapan orang-orang yang ada di sana, Ilona langsung berlari mendekati Reinhard dan berusaha menarik lelaki itu. “Minggir! Jangan menghalangiku!” perintah Reinhard dengan suara menggelegar. Lelaki itu masih mencengkeram leher Merisa dan menyingkirkan tangan Ilona yang berusaha menghentikan aksinya. Air mata Ilona mulai bercucuran membasahi kedua pipinya. Melihat kondisi Merisa yang sudah sangat mengenaskan dengan luka lebam di mana-mana membuatnya semakin ingin menghentikan kegilaan Reinhard ini. Bukan seperti ini cara membuat Merisa mempertanggungjawabkan perbuatan yang wanita itu lakukan padanya. Ilona tidak bisa membayangkan apa saja yang telah Reinhard lakukan pada Merisa sebelum dirinya datang. Yang jelas, kondisi wanita itu benar-benar memprihatinkan