Semua Bab Hasrat Tersembunyi Iparku: Bab 141 - Bab 150

Matthias tiba di parkiran gedung apartemen saat senja tiba. Dia keluar dari mobilnya dan berjalan masuk ke lobi sambil membawa keranjang berisi bebek yang dipesan Luciana. Tak hanya itu, dia juga membeli beberapa kebutuhan lainnya yang dirasa mungkin dibutuhkan wanita itu. Raut wajah lelah tercetak jelas di wajahnya karena dia sempat kelimpungan mencari peternakan bebek yang tentu saja cukup sulit ditemukan. Namun karena ini permintaan Luciana, dia menyanggupinya. Perasaannya mendadak gugup ketika masuk ke dalam lift. Pikiran tentang kemungkinan besar wanita itu hamil berkumpul di kepalanya. Bahkan tangannya sedikit gemetar saat memegang keranjang belanjakan. Ketika akhirnya lift berhenti dan terbuka, saat itulah Matthias langsung keluar. Lampu masih menyala, tapi tidak terdengar suara aktivitas. Matthias sadar, dia belum memberitahu Luciana soal kepulangannya. Jadi dia memilih untuk segera ke dapur dan menyiapkan makan malam, tapi ketika dia melangkah melewati ruang tengah, matan

"Jadi tadi kau pergi menemui ibumu, lalu hampir tertabrak… dengan mobil yang sama yang pernah menabrak kita? Dan ibumu yang menyelamatkanmu?"Suara Matthias berat, nyaris seperti desahan tertahan.Luciana mengangguk pelan. Kelopak matanya berkedip cepat sebelum akhirnya ia meraih tubuh pria itu, memeluknya erat. "Iya, Matthias. Ibu yang menyelamatkanku."Matthias terdiam. Tangannya mengepal, kepalanya sedikit menggeleng tak percaya, mendengar cerita Luciana soal kejadian yang tentu membuat wanita itu dalam bahaya. "Kau sadar itu sangat berbahaya? Bagaimana kalau saat itu ibumu tidak ada di sana? Lalu soal orang yang mencurigakan di bawah, kau sudah melaporkan ke manajemen?""Iya, sudah tadi. Mereka masih memeriksa dan akan memperketat penjagaan."Matthias memejamkan mata sesaat dan memijat pelipisnya. Dia tiba-tiba kembali teringat dengan pesan ancaman yang di ponsel Luciana. Setelah mendengar apa yang menimpa wanita itu, kali ini dia yakin, ada orang yang memang menargetkan Luciana,

"Ini kamarmu, Luci. Semoga kamu betah tinggal di sini."Genevieve membuka pintu kamar tamu sambil tersenyum ramah. Suaranya lembut, seolah ingin menenangkan. Dia mempersilakan Luciana untuk masuk dan melihat kamar yang akan ditempatinya beberapa hari nanti.Kamar itu cukup luas, lebih besar dari kamar di rumahnya dulu bersama Felix, meski tak semewah apartemen Matthias. Tirai putih tipis bergoyang pelan ditiup angin dari jendela, udara segar bercampur aroma bunga dari taman masuk memenuhi ruangan. Seprai rapi, bantal tertata, semuanya terlihat disiapkan dengan hati-hati.Luciana tersanjung. Kakinya melangkah masuk sambil menyeret koper kecil berisi pakaiannya. Dia tersenyum cerah. Tubuhnya berbalik cepat menghadap Genevieve."Terima kasih, Tante. Tempat ini nyaman, maaf jadi merepotkan.""Jangan khawatir. Tante tidak merasa direpotkan." Genevieve menepuk lengannya pelan. "Kalau ada apa-apa, jangan sungkan bilang ke Tante."Wanita paruh baya itu kemudian menggenggam lembut lengan Lucia

Sore itu, Luciana membantu tukang kebun menyiram tanaman. Walau tinggal sebagai tamu dan Genevieve tidak pernah memintanya melakukan pekerjaan rumah, Luciana tetap melakukannya. Bukan karena terpaksa, melainkan karena sudah terbiasa.Namun pikirannya masih dipenuhi beban berat akibat sindiran Arabella beberapa jam lalu. Sambil menyiram bunga, ia melamun, mencoba mencari jawaban. Mengapa Arabella terlihat membencinya? Padahal mereka tidak pernah punya masalah. Tapi jelas, pertemuan di rumah sakit dulu kembali mengusik.Victoria. Luciana mendesah pelan. Dia yakin ada andil wanita itu di balik perubahan sikap Arabella. Entah apa yang sudah dikatakan, tapi satu hal jelas, dia harus lebih berhati-hati.Dia menarik napas panjang dan berjalan menyiram tanaman lain. Mengusir pikiran dan rasa takutnya yang berlebihan, sampai tak lama kemudian, ponselnya tiba-tiba berdering. Dia menghentikan kegiatannya dan memeriksa karena khawatir ada panggilan dari kantor. Luciana memang tidak pergi ke kan

Pagi itu, sekitar jam sembilan, Luciana yang telah sarapan keluar dari kamarnya dalam pakaian rapi. Ada sesuatu yang harus dia lakukan di kantor. Genevieve yang sedang duduk bersandar di sofa ruang tengah, menoleh ketika melihat Luciana. Alisnya berkerut heran. "Kamu mau ke mana, Luci?"Luciana berhenti sebentar dan tersenyum. "Aku mau ke kantor, Tante. Ada sesuatu yang harus kulakukan. Matthias butuh bantuan.""Lho, bukannya dia melarangmu pergi, ya? Kalau ada apa-apa bagaimana?" tanya Genevieve yang kini mulai mengubah posisi duduknya menjadi tegap. Ada kekhawatiran dalam nada suaranya. Ragu untuk membiarkan Luciana pergi setelah apa yang terjadi sebelumnya. "Tidak apa-apa, Tante. Aku tidak akan lama. Lagi pula, aku hanya ke kantor. Matthias juga yang menyuruhku. Dia bilang aku bisa diantar sopir."Genevieve diam sesaat, lalu dia menghela napas. "Ya sudah, hati-hati. Jangan sendirian. Hubungi Tante kalau ada apa-apa.""Iya, kalau begitu, aku berangkat, Tante."Genevieve mengangguk