Semua Bab Tergoda Pesona Ibu Mertua: Bab 321 - Bab 330

Pagi itu, di jalan menuju apartemen Dupont, tim kebersihan asli—tiga pria bernama Supri, Joko, dan Agus—sedang dalam perjalanan dengan mobil putih bertuliskan "CleanServ". Mereka bercanda seperti biasa, radio memainkan lagu dangdut pelan. Tiba-tiba, di tikungan dekat pasar, seorang pejalan kaki melompat ke tengah jalan—Rudi, anak buah Alex, berpakaian lusuh sengaja menyembunyikan identitasnya. Supri injak rem mendadak, mobil berhenti dengan bunyi decit."Kenapa orang itu tiba-tiba datang?!" teriak Supri, turun dari mobil.Rudi pura-pura kesakitan, memegang kaki sambil merintih, "Aduh, Pak! Kaki saya ketabrak!" Wajahnya penuh drama, tapi matanya licik.Joko dan Agus ikut turun, panik. "Kamu dari mana, tiba-tiba nyebrang!" bentak Joko."Saya tadi nyebrang tiba-tiba ada mobil padahal tadi gak ada, Pak! Tolong, saya harus ke dokter!" Rudi terus berakting, menarik perhatian warga sekitar yang mulai berkumpul.Tono, yang menunggu di dekat kios, ikut mendekat, pura-pura jadi saksi. "Saya li

Pagi itu, sekitar pukul sepuluh, suasana di rumah sakit mulai ramai dengan lalu lalang perawat dan dokter. Nayla dan Lila, yang sudah sedikit lebih segar setelah istirahat malam dengan bantuan obat penenang, akhirnya dijadwalkan untuk pemeriksaan psikiater.Dr. Maya, seorang psikiater berpengalaman berusia sekitar 40-an dengan senyum hangat dan mata penuh empati, datang ke ruang rawat inap mereka. Ia ditemani seorang asisten perawat untuk mencatat, memastikan proses berjalan nyaman tanpa tekanan.Pemeriksaan dilakukan secara terpisah agar masing-masing bisa bicara bebas, tapi keluarga diberi tahu sebelumnya agar tetap di luar ruangan untuk privasi.Pertama, dr. Maya memeriksa Nayla di kamarnya. Ia duduk di kursi samping ranjang, suaranya lembut seperti angin pagi."Halo, Nayla. Saya dr. Maya, akan memeriksa kesehatanmu. Aku ingin ngobrol-ngobrol sama kamu, santai aja ya kamu tetap rileks. Kamu bisa cerita sebanyak atau sesedikit yang kamu mau. Kalau capek, kita berhenti."Nayla mengan

Cahaya matahari pagi menyusup melalui tirai tipis kamar Erik, membangunkan keduanya dengan lembut. Erik bangun lebih dulu, meregangkan tubuh setelah malam penuh gairah, sementara Liana masih meringkuk di selimut hangat, mata setengah terpejam dengan senyum manja.Jam menunjukkan pukul enam pagi—mereka sengaja bangun lebih awal untuk menikmati momen bersama sebelum rutinitas kantor yang menyita waktu. Erik bangkit pelan, mandi cepat di kamar mandi marmer yang luas, air hangat menyegarkan tubuhnya yang masih lelah tapi bahagia.Saat keluar dengan handuk melingkar di pinggang, aroma sabun segar memenuhi ruangan, Liana langsung bangun dan melompat memeluknya dari belakang, tangannya melingkar erat di dada Erik, dagunya bersandar di bahu pria itu."Erik... Kamu wangi banget," gumam Liana manja, hidungnya menempel di leher Erik, membuat pria itu tersenyum geli."Sebaiknya kamu segera mandi, Sayang. Nanti aku antar ke rumahmu dulu, biar ganti baju sebelum ke kantor," kata Erik lembut, tangan

Nayla mengangguk, "Iya, Bang. Tenang aja. Mungkin nanti teman-temanku akan mengajak pergi bersama.""Tapi kamu lebih aman diantar Pak Herdi," tegas Raka.Siska menambahkan, "Benar, Nay. Sebaiknya diantar jemput sama Pak Herdi."Nayla mengangguk, "Yaudah, iya."Raka pamit pada ibu dan adiknya. Mrs. Sariani memeluk anaknya, "Hati-hati ya, Nak. Jaga diri baik-baik.""Iya, Bu. Ibu tenang saja. Ibu juga di sini baik-baik ya, jangan terlalu capek," balas Raka, mencium kening ibunya.Lalu Raka melirik Lila, "La, kamu tetap di rumah aja ya. Jika mau keluar, sebaiknya diantar Pak Herdi atau siapa saja."Liam menimpali, "Tenang aja, Ka. Nanti biar aku aja yang antar."Tom menambahkan, "Iya, nanti kalau Nayla atau Lila pergi, kita aja yang antar."Raka mengangguk setuju, "Aku percayakan sama kalian."Lila tersenyum, "Iya, Kak. Kan ada mereka. Nanti aku pergi sama Nayla atau diantar Liam."Sam juga ikut berkomentar, "Aku juga siap kok mengantar, sebelum nanti aku pulang ke Prancis."Lila menjabat

Sementara itu, di angkasa, pesawat Air France yang membawa Raka dan Mr. Henri meluncur stabil di ketinggian 35.000 kaki. Perjalanan dari Jakarta ke Paris memakan waktu sekitar 15 jam, dengan rute melewati Samudra Hindia, Timur Tengah, dan Eropa. Mereka duduk di kelas bisnis, kursi lebar yang bisa direbahkan jadi tempat tidur.Raka, yang pertama kali ke Prancis, memandang keluar jendela awan putih membentang seperti kapas."Yah, berapa lama lagi?" tanya Raka setelah makan malam pesawat: steak dengan saus anggur.Mr. Henri tersenyum, "Masih 12 jam lagi, Nak. Kita transit sebentar di Doha, tapi hanya sebentar. Gunakan waktu untuk istirahat ya nanti,"Mereka bercerita tentang bisnis: rencana ekspansi perusahaan Dupont ke Asia. "Kamu harus belajar bahasa lainnya lebih dalam, Raka. Nanti di Paris, aku perkenalkan ke mitra-mitra di seluruh dunia," kata Mr. Henri.Raka mengangguk, tapi pikirannya melayang ke Siska dan Nayla. "Kira-kira mereka sedang apa ya, Yah?" Pesawat bergoyang pelan kare