All Chapters of Sekretaris Ceroboh Kesayangan Tuan Perfeksionis: Chapter 31 - Chapter 40

Meja besar dihiasi rangkaian bunga putih elegan, dengan lampu gantung kristal berkilauan di atasnya. Suasana sangat formal dan terkesan kaku. Alister duduk di samping ayahnya, Tirtakusuma, dan ibunya, Gayatri, menatap gelas air mineral tanpa minat. Di hadapannya, seorang pria dan wanita setengah baya dengan penampilan aristokrat duduk berseberangan. Mereka adalah Tuan dan Nyonya Ranjaya, keluarga terpandang yang memiliki bisnis properti besar. Di samping mereka, duduk seorang gadis muda berwajah cantik dan anggun bernama Adeline Ranjaya. Rambutnya hitam tergerai rapi, senyumnya sopan, matanya lembut benar-benar terlihat seperti putri yang tumbuh di lingkungan elite. “Alister, perkenalkan, ini Adeline,” kata ayahnya dengan nada menahan bangga. Adeline menunduk sedikit, penuh tata krama. “Senang bertemu langsung, Pak Alister. Saya sering dengar tentang prestasi Bapak di Ardiwijaya.” Alister mengangguk pelan. “Senang bertemu juga.” Tirtakusuma langsung memotong, tersenyum ke arah ke

Setelah Alister masuk ke kantornya, Harika masih terpaku di mejanya, mencoba merapikan file yang berantakan akibat kecerobohannya sendiri. Napasnya belum stabil sepenuhnya. Ia baru menenangkan diri ketika Fenny muncul sambil menenteng dua cup kopi. “Hei, Bu Sekretaris kebanggaan CEO!” sapa Fenny, menaruh satu cup di meja Harika. Harika menoleh dengan senyum setengah hati. “Fen, makasih banget.” Fenny mencondongkan badan. “Kamu kelihatan banget kacau pagi ini. Tumben nggak cerita apa-apa?” Harika menunduk, jari-jarinya meremas cup kopi itu. “Fen, kemarin aku dikasih tahu soal perjodohan Pak Alister.” Fenny terkejut. “Perjodohan? Sama siapa?” Harika menggeleng cepat. “Aku nggak tahu siapa wanitanya, tapi keluarganya mau menjodohkan beliau. Bapak Bos nggak kelihatan senang sih, cuma ya tetap aja.” Fenny menepuk pelan punggung tangan Harika. “Kamu gimana? Kamu kan ya suka dia.” Harika mencoba tertawa kecil meski matanya sayu. “Aku sekretarisnya, Fen. Bukan siapa-siapanya. Ya nggak

Harika masuk sambil membawa map dan tablet berusaha untuk menjaga ekspresi netral. Alister duduk di balik meja kerjanya yang besar tampak sibuk membolak-balik laporan, tapi matanya langsung menatap Harika saat gadis itu datang. "Ini rundown sementara untuk acara amal Sabtu nanti, Pak," ucap Harika, meletakkan map di mejanya. "Saya juga sudah hubungi vendor dekorasi, MC, dan daftar donatur tetap." Alister menatap map itu sekilas, tapi tidak menyentuhnya. "Kamu yang atur semuanya sendiri?" Harika mengangguk. "Tentu saja. Tim saya bantu juga untuk teknisnya." Alister mengangguk pelan. "Dress code formal?” "Ya, Pak. Saya sudah pesan jas Bapak dari desainer langganan Ibu Clara. Sesuai ukuran Bapak tahun lalu, tapi kalau ada perubahan…." Harika memandangnya, lalu ragu menambahkan, "Bisa saya ukur ulang?” Alister menaikkan satu alis, suaranya datar tapi nadanya sedikit menggoda, "Mau ngukur saya sendiri, Harika?" Harika langsung tersedak udara. "Eh! Maksud saya bisa minta penjahit dat

Suara Alister lembut, tapi tak terbantahkan.Mereka duduk di sofa yang menghadap jendela kaca besar, menampilkan cahaya kota Jakarta yang berkelip di kejauhan. Harika menyenderkan tubuhnya, tapi menjaga jarak profesional. Alister, di sisi lain, duduk dengan tangan bersilang di pangkuan, mata menatap kosong ke luar jendela."Tadi kamu terlihat sangat bersinar," katanya tiba-tiba.Harika menoleh cepat. "Maksudnya, Pak?""Di acara tadi. Kamu membuat semuanya terasa hidup, bahkan dengan semua kerepotan, kamu tetap memancarkan semangat." Ia menatapnya langsung. "Dan aku tidak bisa berhenti memperhatikanmu."Harika terdiam. Dadanya mulai berdetak lebih cepat, tapi ia memilih mengalihkan pandangan."Saya cuma menjalankan tugas, Pak."Alister tertawa pelan. "Harika, kamu tahu, kamu buruk sekali kalau sedang pura-pura tidak mengerti."Harika menunduk. "Saya tidak mengerti, Pak.""Dan kamu buruk sekali kalau sedang bohong."Suasana jadi hening. Hanya suara mesin pendingin ruangan dan lalu lint

Sore hari Harika sedang menuang air panas ke gelas dan seperti biasa terlalu penuh sampai air meluap."Panas! Panas! Aduh, duh, duh, duh!" jeritnya sambil loncat-loncat kecil.Januar yang kebetulan lewat langsung mengulurkan tisu. "Kamu butuh pengawas pribadi sepertinya."Harika tertawa malu-malu. "Atau pelatihan dasar menyeduh teh."Di sudut ruangan, Alister sedang berdiri sambil memeriksa ponselnya, tapi matanya jelas-jelas memperhatikan Harika. Ia melihat tawa Harika yang entah kenapa selalu terasa istimewa dan tawa itu bukan untuknya.Beberapa detik kemudian, ia langsung berjalan menghampiri mereka."Harika!" panggilnya tiba-tiba.Harika menoleh cepat, hampir menjatuhkan gelas. "Ya, Pak?""Mulai minggu depan, kamu ikut saya dalam semua pertemuan dengan investor. Termasuk konferensi pers dan kunjungan proyek di luar kota."Harika mengedip. "Eh? Tapi saya belum pernah....""Anggap ini bagian dari promosi informal. Saya ingin kamu belajar lebih banyak."Januar hanya tersenyum kecil,