Pagi itu, Rigen duduk di ruang makan besar dengan secangkir kopi yang masih mengepul. Tatapannya menyipit ke arah Ariella yang sibuk memotong roti, tak menoleh sama sekali padanya. “Kamu marah?” tanya Rigen akhirnya, suaranya rendah. Ariella tidak mengangkat kepala. “Tidak.” Jawaban singkat, datar. “Ariella.” Rigen menekankan nada suaranya, tapi tetap tidak ada respons selain dentingan sendok di piring. Ia mengembuskan napas kasar, lalu berdiri. “Kalau ada sesuatu yang mengganggumu, katakan langsung.” Baru kali ini Ariella menoleh, menatapnya dengan mata yang merah karena semalaman kurang tidur. Senyumnya tipis, getir. “Sudah kukatakan, aku baik-baik saja. Tidak perlu khawatir.” Ucapan itu terdengar sopan, tapi dingin. Membuat dada Rigen sesak tanpa ia sadari. Siang harinya, saat Rigen memeriksa beberapa dokumen di ruang kerja, Lily masuk begitu saja dengan langkah ringan. “Kamu terlihat muram akhir-akhir ini, Rigen,” ucapnya manis, sambil meletakkan secangkir teh di meja.
Last Updated : 2025-09-09 Read more