Meski takut, aku mencoba tenang dan menjawab dengan suara menantang. "Itu bukan urusanmu, Rigen. Kita hanya menikah kontrak," ucapku lirih, mengingatkan bahwa hubungan ini tidak seharusnya penuh dengan keterikatan seperti ini. Namun, kata-kataku justru menjadi pemicu yang membuatnya bergerak cepat. Dalam sekejap, rahangnya mengeras, dan sebelum aku sempat menarik napas, bibirnya sudah menabrak bibirku dengan kasar. Ciumannya tidak lembut, tidak penuh kasih—ini adalah tanda kepemilikan. “R-Rigen!” Aku terkejut, tanganku mendorong dadanya, berusaha menjauh, tapi tubuh Rigen seperti batu, tak bergeming sedikit pun. Bibirnya terus memburu bibirku, menekan, menuntut, menandai. Ia tidak memberiku kesempatan untuk bernapas, untuk berpikir, seolah ingin menghancurkan semua pertahananku. Aku merintih pelan di antara lumatan panasnya. Aku ingin melawan, mengingatkan bahwa pernikahan ini hanyalah kontrak, tapi bagaimana aku bisa bertahan saat ia terus menenggelamkanku dala
Terakhir Diperbarui : 2025-04-29 Baca selengkapnya