Aroma kopi segar menyusup masuk ke kamar, membuatku akhirnya bangkit dari ranjang. Aku masih mengenakan kemeja Rigen—kebesaran, panjangnya hampir menutupi pahaku. Namun, justru itu yang membuatnya terasa hangat, seperti pelukan yang belum benar-benar usai.Saat aku masuk ke dapur, pemandangan pertama yang kutangkap adalah punggung Rigen, berdiri di depan mesin kopi, rambutnya masih sedikit acak, kaus tipis menempel pada tubuhnya yang berkeringat tipis. Bahkan dalam kesederhanaan seperti ini, pria itu tetap terlihat berbahaya.“Aku kira kamu cuma bercanda soal kopi,” ucapku sambil bersandar di kusen pintu.Ia menoleh sebentar, lalu tersenyum miring. “Aku tidak pernah bercanda soal dua hal—kamu, dan kopi.”Menahan debar di dada, aku tertawa kecil, melangkah masuk dan duduk di kursi bar dekat meja. Di hadapanku, ada dua piring: roti panggang dengan telur setengah matang, dan potongan alpukat yang ditata rapi. Melihat betapa cantiknya hidangan itu, aku menatapnya, curiga. “Rigen? Kam
Last Updated : 2025-05-18 Read more