All Chapters of Pesona Istri yang Diremehkan: Chapter 11 - Chapter 20

Di sebuah rumah besar yang sedang dihiasi tenda mewah dengan dekorasi indah, ada seorang pemuda sedang berdiri tegap memperhatikan para pekerjanya, seorang perempuan setengah baya sekaligus kepercayaannya datang menghampiri dan membawa sebuah kertas."Semua sudah lengkap Pak, untuk katering, dekorasi, busana dan riasan pengantin, fotografi dan videografi, hiburan (musik, MC), venue, souvenir, hingga logistik seperti sistem suara dan pencahayaan semua sudah aman." Laporan itu membuat pemuda tersenyum."Bagus, pastikan acara besok berjalan lancar dan tak ada kekurangan," Wanita itu mengangguk cepat, dia kembali berjalan menuju mobilnya membelah jalanan raya dan berhenti ke sebuah butik ternama.Ya, Shera butik. Pemiliknya adalah ibunya sendiri, Arshaka turun dan masuk ke ruangan kerja sang ibu yang masih tampak cantik meski usianya tak lagi muda."Mama, sudah makan siang belum?""Ah kamu Ka, belum. Ini Mama mau selesaikan desain dulu, dikit lagi!" Shaka duduk di samping ibunya."Banyak

Rena melangkah keluar kamar, wajahnya cerah penuh semangat. "Terima kasih, Shiren, sudah mau bergabung dengan WO ini. Kalau nggak ada kamu, siapa lagi yang bisa kami andalkan jadi MUA handal pengganti almarhumah MUA lama?" ucapnya sambil tersenyum lebar.Sudah sebulan ini Shiren menempati posisi perias wajah di WO Arshaka, meski sampai sekarang belum pernah bertemu langsung dengan pemiliknya. Shiren membalas dengan suara pelan, tapi tulus, "Saya juga berterima kasih, Bu Rena. Kalian sudah percaya pada saya. InsyaAllah, saya akan kerja sebaik mungkin." Matanya menatap ke bawah sejenak, sebelum menengadah. Rena menatap perubahan pada Shiren dengan takjub. Sosoknya kini lebih ramping, wajahnya bersih bercahaya, seolah memantulkan keyakinan baru di dalam dirinya."Oh iya, nanti Pak Arshaka akan datang ke sini. Dia ingin bertemu kamu untuk pertama kalinya," tambah Rena. Shiren mengerutkan dahinya, bibirnya tersimpul rapat. Wajahnya tiba-tiba tampak cemberut, seperti ada beban di pikiran ya

Masakan ala Shiren sudah tersusun rapi di atas meja makan. Capcai berwarna-warni, ayam bakar dengan kulit yang mengilap, ikan tri kacang yang menggoda selera, dan tahu-tempe goreng kering menghiasi piring-piring itu. Dengan sigap, dia mengajak keluarga mantan suaminya duduk bersama. Lastri, Dika, dan Airin pun perlahan melangkah mendekat, raut wajah mereka tersirat penasaran. “Nak, masakan kamu kelihatannya enak-enak dan banyak banget juga. Pintar banget, ya,” puji Lastri sambil tersenyum hangat, matanya menatap penuh penghargaan. Shiren menunduk sedikit, wajahnya memerah. “Semoga ibu suka. Aku sengaja menyiapkan ini semua buat tamu yang datang jauh-jauh.” Lastri dan Dika segera mengambil piring dan nasi, aroma masakan membuat perut mereka ikut keroncongan. “Ini untuk Arfan, sudah aku siapkan juga,” Shiren menyodorkan mangkok kecil berisi MPASI dengan tekstur yang masih agak kasar, hati-hati tapi berharap. Airin memicingkan mata, mengernyit sambil menggeleng pelan. “Arfan ngg

Shiren berdiri di antara kerumunan peserta yang menunggu dengan napas tertahan. Matanya sesekali menatap ke arah panggung, dimana Pengumuman lomba makeup pengantin akan segera disampaikan. Detak jantungnya berdetak lebih cepat, campuran antara gugup dan harap yang membuncah di dada. Tangan kirinya meremas-remas kain gaun sederhana yang dikenakannya, berusaha menenangkan diri meski seluruh tubuhnya terasa tegang.Suara pembawa acara mulai terdengar, mengumumkan satu per satu nama pemenang dengan sorak sorai dari penonton yang bersorak. Shiren menelan ludah ketika nama-nama lain disebut, hampir putus asa. Namun, saat kata “Pemenang utama atas nama... Shiren Amirah!” mengalun di udara, seluruh tubuhnya seperti tersengat listrik. Matanya membelalak, bibirnya menganga tanpa suara.Raut wajahnya berubah dari tegang menjadi tak percaya, lalu perlahan berubah menjadi senyum lebar yang sulit ia tahan. Air mata haru mulai menggenang di sudut matanya, tapi ia berusaha menahannya. Perlahan, Shire

Niko tiba di rumah dengan langkah yang berat. Begitu pintu kamar diketuk, ia segera membanting sandal ke pojok ruangan, suara dentangnya mengisi keheningan malam. Dadanya naik turun cepat, wajahnya merah padam karena marah. "Akkhhh... brengsek! Gimana bisa dia tolak aku begitu saja!" geramnya sambil menjatuhkan kursi hingga terjungkal. Suara benturan barang di kamarnya tak luput dari perhatian Airin yang sedang melintas di halaman selesai dari warung, disusul Dika yang penasaran. "Dengar nggak sih? Ada apa di rumah Niko?" tanya Airin dengan alis berkerut. Tanpa pikir panjang, Dika menyusul masuk, menemui Niko yang masih gusar. "Niko! Kamu kenapa, sih? Kok ribut banget malam-malam?" tanya Dika sambil mengusap bahunya. Niko menghela napas panjang, matanya yang semula marah kini terlihat lelah."Nggak usah ikut campur, sudah bang sana pulang!" usirnya, Dika menggeleng. Lelaki itu pulang dengan kesal tapi Airin tetap berdiam diri di tempat, matanya celingukan melihat sang suami apakah