Semua Bab Pemilik Kitab Seribu Bayangan: Bab 161 - Bab 170

--- Jejak Tertinggal di Padang Jiwa Padang Jiwa bukan tempat biasa. Ia tidak tercantum dalam peta mana pun, dan bahkan para tetua pun hanya menyebutnya dengan bisik-bisik. Dikatakan bahwa tempat itu adalah sisa dari dunia antara dunia—tempat di mana jiwa-jiwa yang tersesat tertinggal, tempat kenangan membusuk namun tak bisa mati. Lian Tian menunggangi kuda bayangan perak—makhluk langka hasil ikatan antara roh dan energi langit. Ia ditemani Shen Ruya dan dua pengawal elit: Zhen Gui dan Mei Qian. Tujuan mereka: mencari Wu Xuan, seorang pertapa yang telah lama mengasingkan diri di Padang Jiwa karena trauma masa lalu… dan konon, ia satu-satunya saksi hidup yang pernah melihat Bayangan Asli dalam wujud manusia. > “Kita akan sampai dalam dua jam,” kata Zhen Gui sambil memandang kompas jiwa di tangannya. Jarumnya tak menunjuk utara, tapi berputar liar—tanda bahwa mereka sudah dekat. > “Aku tak menyuk

Markas Sementara – Gua Cahaya Tersembunyi, Selatan LingshiSetelah pertempuran di biara, Lian Tian dan kelompok kecilnya membawa Ruo Lin ke sebuah gua tersembunyi yang dahulu digunakan para penjaga segel purba. Dinding-dinding gua itu berlapis kristal bercahaya lembut, membentuk resonansi spiritual yang menenangkan jiwa.Ruo Lin belum sadar, tapi simbol segel di dadanya kian terang, kadang berdenyut seperti nadi kedua.> “Waktu kita sempit,” kata Shen Ruya sambil menyusun formasi pelindung di sekeliling altar tempat Ruo Lin dibaringkan. “Segel itu makin dalam menyatu… tapi jika diganggu, prosesnya bisa berbalik menjadi kutukan.”Lian Tian mengangguk, tapi wajahnya keruh.> “Aku mencium sesuatu yang janggal sejak malam terakhir. Seseorang di antara kita… membawa bau bayangan.”Yan Hou yang berdiri di sisi gua, memekik, “Maksudmu pengkhianat?! Tidak mungkin! Kita semua bersumpah di bawah mata formasi kebenaran.”> “Formasi kebenaran bisa dibengkokkan… jika yang menyusunnya adalah pemili

Dimensi Retakan Bayangan – Di Bawah Gunung Yimou Di tempat tergelap dari dunia, di mana api tidak menyala dan cahaya dianggap dosa, berdiri sebuah altar hitam dari tulang naga. Di sanalah Bayangan Asli menggiring tubuh seorang wanita — tubuh yang dulu pernah mencintai cahaya, tapi kemudian dikhianati. Tubuh itu perlahan hidup. Kulitnya pucat, tapi matanya berkilat kelam. Di lehernya tergantung liontin batu retak yang mirip milik Ruo Lin. > “Namamu adalah Mei Xuan, Pewaris Cahaya yang dulu mengingkari sumpahnya,” bisik Bayangan Asli. > “Dan aku kembali… untuk menagih janjiku.” “Kau akan menghadap anakmu, dan memilih: membunuhnya, atau kembali padaku sepenuhnya.” --- Wilayah Cahaya – Malam Hening Sebelum Badai Ruo Lin berdiri di tebing pegunungan. Angin malam membawa nyanyian roh, sementara di belakangnya, Lian Tian hanya memandang

Lian Tian terbangun dengan tubuh menggigil. Keringat dingin membasahi jubah dalamnya. Sekujur tubuhnya terasa seperti direndam air sungai di musim awal kematian. Tapi bukan itu yang membuatnya nyaris tak bisa bernapas—melainkan suara langkah yang mendahului kesadarannya.Langkah perempuan. Lembut. Tapi tidak menyentuh tanah.Ia duduk perlahan di dalam gua tempat ia bersemedi sejak Bayangan ke-35 berhasil ditundukkan seminggu lalu. Dinding batu hitam tampak retak. Api obor yang ditanamnya padam sejak kemarin. Tapi ia melihat cahaya merah lembut, berkedip-kedip dari dalam perut gua.Dan dari kegelapan itu, keluar sesosok siluet perempuan."Sudah waktunya," bisiknya. Suaranya menggema dari dalam kepala Lian Tian, bukan dari udara."Siapa kau?" desisnya. Tapi dadanya terasa berat. Seperti ada tangan halus namun penuh duri yang menekan napasnya."Aku bukan siapa-siapa," kata sosok itu. "Tapi kau memanggilku dengan

: Bayangan Kedua – Cermin Darah di Lembah Qi’anKabut turun lebih pekat dari biasanya di Lembah Qi’an. Bagaikan jaring putih raksasa, ia menggulung seluruh lembah dalam keheningan yang dingin dan purba. Suara jangkrik memekik sesekali, terpotong oleh desir angin yang menyelinap pelan di celah-celah tebing curam, seolah berusaha menyampaikan sesuatu dari dunia yang telah lama mati.Di tengah lembah yang sunyi, berdiri seorang lelaki muda berjubah hitam. Tubuhnya tegak dan matanya tertuju lurus ke depan. Di tangan kirinya tergenggam gulungan kain tua yang tampak rapuh dimakan usia. Lelaki itu adalah Mo Jing, murid terakhir dari aliran Bayangan Sunyi, sekte rahasia yang pernah ditakuti namun kini hanya tersisa dalam bisik-bisik dan bayang-bayang.Gulungan itu bukan sekadar peninggalan tua. Ia adalah potongan dari Kitab Seribu Bayangan, manuskrip sakral yang menyimpan teknik bayangan pamungkas: Bayang-Bayang Menembus Jiwa, sebuah ajaran yang tak sekadar mengajarkan seni bela diri, tapi me